BAGIAN 3

984 38 1
                                    

Sudah lebih sepuluh jurus, tapi pertarungan Panglima Bayan Sudira lawan Andini masih juga berlangsung. Meskipun menggunakan pedang, tapi Panglima Bayan Sudira belum mampu menjatuhkan wanita itu. Bahkan sudah beberapa kali pukulan dan tendangan Andini mendarat di tubuhnya. Sejak pertama, memang telah dapat diketahui kalau tingkat kepandaian Panglima Bayan Sudira di bawah Andini.

Tidak heran kalau pertempuran benar-benar dikuasai wanita cantik itu. Sebenarnya Panglima Bayan Sudira sadar, kalau dirinya tidak akan mungkin bisa mengalahkan Andini. Tapi, mati adalah pilihannya daripada jatuh ke tangan wanita cabul itu. Panglima Bayan Sudira tahu, apa yang akan terjadi nanti pada dirinya jika sampai jatuh ke tangan Andini dalam keadaan hidup. Dan ini yang tidak diinginkan.
"Lepas...!"
Tiba-tiba saja Andini berteriak keras seraya mengibaskan tangannya ketika Panglima Bayan Sudira membabatkan pedangnya ke arah pinggang.  Sampokan tangan kiri Andini demikian cepat, dan tepat menghantam pergelangan tangan kanan Panglima Bayan Sudira.
"Akh!" Panglima Bayan Sudira memekik tertahan.
Seketika itu juga pedang dalam genggamannya terlempar. Belum lagi dapat menguasai keadaan dirinya, satu tendangan keras mendarat di perut Panglima Bayan Sudira. Panglima itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk menahan rasa mual akibat tendangan itu. Kembali satu pukulan keras menghantam tengkuknya, dan membuatnya jatuh tersuruk mencium tanah.
"Bangun, Panglima!" bentak Andini bertolak pinggang di depan Panglima Bayan Sudira.
Laki-laki berusia hampir empat puluh tahun itu mengangkat kepalanya. Dari mulutnya keluar darah segar. Sepasang kaki indah berada tepat di depan hidungnya. Panglima Bayan Sudira menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghilangkan rasa pening yang menyerang kepalanya. Dan begitu rasa pening berkurang, dengan cepat disampoknya sepasang kaki itu.
"Hait..!"
Namun Andini yang rupanya sudah menyadari akan datangnya serangan itu, dengan cepat melompat sambil mengirimkan satu tendangan keras ke wajah Panglima Bayan Sudira.
"Akh...!" Panglima Bayan Sudira memekik keras.
Seketika itu juga kepalanya terdongak ke belakang, dan tubuhnya bergulingan beberapa kali. Belum lagi tubuhnya berhenti bergulingan, kembali dirasakan satu hantaman keras mendarat di punggung. Hantaman itu membuat Panglima Bayan Sudira merasakan tulang punggungnya patah, dan hanya mampu memekik keras melengking.
Panglima dari Kerajaan Karang Setra itu benar-benar tidak berdaya lagi. Darah semakin banyak keluar dari mulut dan pelipisnya. Sukar sekali untuk menggerakkan tubuhnya kembali. Tulang-tulangnya terasa remuk, hancur berantakan. Andini berdiri tegak, tepat di depan wajah Panglima Bayan Sudira yang menelentang tanpa daya lagi.

"Bunuhlah aku, keparat! " geram Panglima Bayan Sudira sambil menyemburkan ludahnya. Tapi yang keluar berupa gumpalan darah.
"Kau terlalu keras kepala, Panglima. Tapi aku suka laki-laki keras sepertimu," ujar Andini seraya tersenyum.
"Phuih!" lagi-lagi Panglima Bayan Sudira menyemburkan ludahnya
Andini malah semakin lebar tersenyum. Sebentar diliriknya Andika yang berdiri tegak di depan sepuluh orang prajurit. Wanita itu kemudian berlutut di samping laki-laki yang sudah tidak berdaya lagi. Dengan lembut disekanya darah yang mengotori sekitar mulut Panglima Bayan Sudira. Tapi panglima itu memalingkan mukanya.
"Kasihan sekali. Kalau saja hatimu lunak sedikit saja, tidak akan sampai begini," ucap Andini berdecak.
"Aku tidak perlu belas kasihanmu!" rungut Panglima Bayan Sudira.
Andini tertawa mengikik. Dia menoleh pada kakaknya yang masih berdiri tegak di depan sepuluh orang prajurit Karang Setra Saat itu Andika juga menoleh ke arahnya.
"Untuk siapa mereka, Kakang?" tanya Andini.
"Untukmu," sahut Andika seraya tertawa lebar.
"Sial! Aku sudah cukup dengan pemimpinnya saja!" rungut Andini memberengut manja.
"Tidak kurang? Mereka masih muda-muda Andini."
"Aku tidak peduli!"
"Baiklah kalau itu keinginanmu," kata Andika yang mengerti maksud adiknya.
Setelah berkata demikian, Andika berteriak keras. Tubuhnya seketika melesat cepat sambil mencabut pedangnya yang bergagang hitam berbentuk tanduk kerbau. Mata pedang itu juga hitam legam, dan berkeluk-keluk bagai ular. Terjangan Andika demikian cepat dan tak terduga sama sekali, sehingga membuat sepuluh orang prajurit itu terperangah. Belum sempat mereka menyadari apa yang bakal terjadi, tiba-tiba saja terdengar jeritan menyayat saling susul.
Kemudian, beberapa tubuh ambruk bergelimpangan dengan tubuh berlumur darah!
Beberapa prajurit yang masih hidup. langsung melompat ke belakang dan segera mencabut pedangnya. Tapi serangan Andika sungguh luar biasa. Dengan sekali tebas saja, pedang-pedang mereka terpenggal.
Dan belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, Andika sudah kembali mengibaskan pedangnya sambil berteriak keras.
"Aaa... !"
Jeritan melengking kembali terdengar menyayat. Ternyata tiga orang prajurit telah menggelepar dengan leher hampir buntung. Pada saat yang tepat, dua orang prajurit berhasil melompat ke punggung kuda, dan bergegas menggebahnya. Kuda itu meringkik, lalu melompat cepat dan terus berlari kencang.
"Setan...!" rutuk Andika melihat dua orang prajurit itu lolos.
"Tidak perlu dikejar, Kakang!" seru Andini mencegah kakaknya yang akan mengejar.
Andika tidak jadi mengejar kedua prajurit yang lolos itu. Dia berbalik menatap adiknya yang tetap duduk seenaknya di samping tubuh Panglima Bayan Sudira. Laki-laki hampir separuh baya itu hanya mampu mengumpat. Dia memang sudah tidak berdaya lagi karena jalan darahnya sudah tertotok. Tubuhnya sukar untuk digerakkan kecuali bagian leher saja yang masih bisa digerakkan.
"Iblis! Kalian benar-benar iblis !" geram Panglima Bayan Sudira mengumpat.
"Ha ha ha...!" Andini hanya tertawa saja.
Andika melangkah menghampiri adiknya. Sebentar dipandangi wajah Panglima Bayan Sudira. Sisa-sisa darah masih melekat di sekitar wajah laki-laki dari Karang Setra itu Tatapan matanya tajam penuh kebencian.
"Kau bisa bersenang-senang, Andini,” ledek Andika seraya menatap adiknya.
"Kau juga bisa kalau mau, Kakang," sahut Andini kalem.
"Kerajaan Jiwanala tidak jauh lagi dari sini. Tidak sampai setengah hari perjalanan. Gadis-gadisnya terkenal cantik- cantik, Kakang.”
"Tapi kita ke sana bukan karena itu, Andini."
"Memang. Tapi, apa salahnya sedikit bersenang-senang? Kau akan menyesal jika tidak menikmati kesempatan yang baik ini, Kakang. Carilah gadis Jiwanala yang tercantik. Kau akan kutunggu di sini.  Percayalah, kita akan bersenang- senang bersama. Aku akan sabar menunggumu," bujuk Andini lembut
"Baiklah. Hanya untuk sekali ini saja, Andini. Ingat pesan Ki Sapta Bayu. Kita harus mendapatkan benda itu."
"Aku tahu, Kakang. Cepatlah sebelum aku kehilangan gairah."
"He he he...!" Andika terkekeh.
Andini menyambit pemuda itu dengan segenggam rumput yang dicabutnya. Tapi Andika sudah keburu melompat dan berlari cepat ke arah Kerajaan Jiwanala.
Andini tersenyum dan menoleh memandang Panglima Bayan Sudira.
"Hanya sebentar, Panglima. Kakang Andika sangat pandai memilih pasangannya,” ucap Andini lembut.
"Huh!" dengus Panglima Bayan Sudira muak.
Andini tertawa kecil. Direbahkan tubuhnya di samping laki-laki itu. Tangannya merentang ke dada dan memeluknya penuh gairah. Wanita itu tidak sabar lagi. Diciuminya wajah dan leher Panglima Bayan Sudira. Kalau saja tubuh Panglima Bayan Sudira tidak tertotok, ingin rasanya merobek dan mencincang tubuh wanita ini. Perutnya jadi mual mendapatkan ciuman yang begitu beruntun.
Napas Andini mulai tersengat Gejolak gairahnya kontan timbul tak tertahankan lagi. Jari-jari tangannya yang lentik dan halus, mulai menggerayangi tubuh laki-laki itu. Panglima Bayan Sudira berusaha menggeliat memberontak, tapi hanya mengumpat dalam hati. Seluruh tubuhnya sukar untuk digerakkan lagi. Sementara Andini semakin liar saja. Napasnya memburu hangat menerpa wajah Panglima Bayan Sudira.
"Iblis! Kubunuh kau, Andini!" bentak Panglima Bayan Sudira geram.
"Diamlah, Panglima. Hanya sebentar, tidak enak lho, menunggu tanpa berbuat sesuatu! Tenanglah..., kau akan senang," desah Andini dengan napas tersengal.
"Setan! Iblis...! Keparat...!" Panglima Bayan Sudira memaki-maki melampiaskan kemarahan dan kejijikannya.
Tapi Andini tidak peduli dengan makian itu, bahkan malah semakin bergairah saja. Dilepaskan totokan pada tubuh Panglima Bayan Sudira. Kecuali kedua tangan dan kakinya yang tetap lumpuh. Andini memang pandai dalam memilih jalan darah, sehingga bisa leluasa melumpuhkan bagian-bagian tubuh seseorang yang diinginkannya.
Panglima Bayan Sudira berusaha menggeliatkan tubuhnya. Tapi setiap kali digerakkan tubuhnya, malah membuat Andini semakin bergairah. Kemarahan Panglima Bayan Sudira tidak bisa lagi ditakar. Dia benar-benar marah dengan kecerdikan wanita cabul ini.
Panglima Bayan Sudira tidak kuasa lagi menggerakkan tubuhnya, dan hanya diam saja dengan kepala menengadah ke belakang.
"Setan...!" desis Panglima Bayan Sudira menggeram marah.
"Hi hi hi...!" Andini malah tertawa mengikik.

24. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Pusaka LeluhurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang