Bukan main terkejutnya Iblis Mawar Jingga ketika ujung senjatanya menyentuh telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun Rangga tidak menggenggam, tapi Iblis Mawar Jingga tidak mampu melepaskan senjatanya dari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hih."
Iblis Mawar Jingga berusaha melepaskan senjatanya. Tapi tetap saja ujung senjata berbentuk bunga mawar Itu melekat erat di telapak tangan Rangga. Bahkan kini terse limut cahaya biru yang berkilat membentuk bulatan. Iblis Mawar Jingga mengerahkan tenaga dalamnya untuk menarik senjatanya kembali. Namun betapa terkejutnya begitu menyadari kalau tenaga dalamnya tersedot deras.
"Gila! Ilmu apa yang dipakainya...?!" dengus Iblis Mawar Jingga terperangah.
Sementara sinar biru terus bergerak merayap menggulung tongkat Iblis Mawar Jingga. Semakin lama semakin terasa kalau tenaga wanita itu kian tersedot. Iblis Mawar Jingga berusaha menahan aliran tenaganya. Namun semakin berusaha, semakin kuat tenaganya tersedot.
"Huh! Harus kugunakan aji 'Guntur Geni'," dengus IblisMawar Jingga dalam hati.
Di saat cahaya biru mulai menggulung tangannya, Iblis Mawar Jingga mengerahkan aji 'Guntur Geni'. Satu ajian yang sangat diandalkan. Saat itu juga Rangga merasakan adanya satu aliran ilmu kesaktian yang dikeluarkan Iblis Mawar Jingga.
“Hm..., dia mulai mengerahkan ajian lain. Baik, akan kuhadapi dengan aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir,” gumam Rangga dalam hati.
“Aji 'Guntur Geni'! Yeaaah...” teriak Iblis Mawar Jingga keras.
“Shaaa...!” Rangga langsung meningkatkan aji 'Cakra Buana Sukma' pada tahap terakhir.
“Aaa...!” Iblis Mawar Jingga menjerit melengking tinggi. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dan darah keluar dari mulut maupun hidung. Bahkan juga dari mata dan telinganya. Semakin lama getaran tubuh wanita tua itu semakin keras dan menggelegar bagai tersengat ribuan kala berbisa. Iblis Mawar Jingga menjerit-jerit keras. Tubuhnya menggeliat menggelepar kuat. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Bahkan dari pori-pori kulit tubuhnya pun merembes darah segar.
Sementara itu Rangga mulai melepaskan telapak tangannya dari tongkat Iblis Mawar Jingga. Perlahan-lahan dia melangkah mundur dua tindak, namun dari kedua tangannya tetap memancar cahaya biru yang semakin menyelubungi wanita tua itu. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti itu mengangkat tangannya, dan memegang tangkai pedangnya.
"Hiyaaa... !”
Sambil berteriak melengking, Rangga mencabut pedangnya dan langsung me lompat seraya mengibaskan pedangnya ke leher Iblis Mawar Jingga.
“Aaa...!” "Hup!”
Rangga kembali melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Cahaya biru lenyap seketika begitu ditarik kembali ajiannya. Dengan gerakan cepat dan manis, Pedang Rajawali Sakti kembali masuk ke dalam warangkanya di balik punggung. Rangga berdiri tegak menatap tajam Iblis Mawar Jingga.
Perempuan itu tampak berdiri tegak tak bergerak-gerak. Sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah, dan kepalanya menggelinding terpisah dari leher. Darah langsung menyembur keluar dari leher yang buntung. Sedikit pun wanita tua itu tidak bergerak, dan langsung tewas seketika.
Rangga menarik napas panjang. Dia berbalik dan berkerut keningnya melihat Patih Raksajunta langsung menjatuhkan diri berlutut di depannya. Laki-laki tua itu memberi hormat sambil merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
“Paman Patih, apa yang kau lakukan?" tanya Rangga keheranan akan sikap Patih Raksajunta.
“Ampun, Gusti. Ampunkan hamba yang tak melayani Gusti dengan baik,” ucap Patih Raksajunta.
"Ah, sudahlah! Berdirilah, Paman,” desah Rangga mulai mengerti.
"Hamba, Gusti."
Patih Raksajunta bangkit kembali, namun tubuhnya masih agak membungkuk bersikap penuh rasa hormat. Rangga tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dihampiri dan ditepuknya pundak Patih Raksajunta penuh rasa persahabatan. Meskipun seorang raja, tapi pada saat seperti ini Rangga tidak mau dirinya dianggap raja. Dia lebih senang menjadi orang kebanyakan, menjadi pendekar yang selalu dibutuhkan untuk memerangi kejahatan.
"Meskipun telah tahu siapa aku sebenarnya, tapi kuminta kau tetap menganggapku Rangga, Paman. Rangga yang dulu, bukan Rangga sebagai Raja Karang Setra," jelas Rangga lembut namun bernada penuh wibawa.
"Ampun, Gusti Prabu," ucap Patih Raksajunta.
"Ah..., sudahlah, Paman. Panggil saja aku Rangga. Aku tidak suka dengan sebutan Gusti.”
“Tapi....”
"Di sini aku bukan raja, aku seorang pendekar. Kau harus bisa membedakan itu, Paman," Rangga mencoba meminta pengertian.
"Hamba, Gusti...."
"Rangga! Panggil aku Rangga...!" tegas Rangga.
Patih Raksajunta mengangkat kepalanya menatap bola mata pemuda di depannya. Kemudian kepalanya terangguk, meskipun dari sinar matanya terasa begitu berat memanggil Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan namanya saja.
"Bagus. Memang seharusnya kau memanggilku Rangga. Bukan Gusti," kata Rangga tersenyum.
"Maafkan jika hamba berlaku...."
"Sudah. Aku tidak ingin melihatmu berlaku sungkan begini!" potong Rangga cepat.
"Baiklah, Gus..., eh Rangga."
"Nah..., begini kan lebih enak."
Patih Raksajunta mengembangkan senyum yang dipaksakan. Benar-benar tidak dimengerti sikap pemuda itu. Seorang raja besar yang memiliki ilmu tinggi, tapi tidak suka dihormati seperti lazimnya seorang raja. Bahkan lebih senang dipanggil namanya saja. Memang sukar bagi Patih Raksajunta yang sudah tahu siapa Rangga sebenarnya. Tapi dia harus memahami keinginan Pendekar Rajawali Sakti ini, meskipun dalam hatinya memberontak.
“Paman, ada yang ingin kutanyakan padamu," kata Rangga pelan setelah cukup lama terdiam.
"Apa yang akan kau tanyakan, Rangga?" tanya Patih Raksajunta sambil mencoba membiasakan diri.
"Tentang Pusaka Karang Setra," sahut Rangga, tetap pelan suaranya.
Patih Raksajunta tertunduk begitu mendengar Pusaka Karang Setra disebut. Sepertinya tidak ingin membicarakan tentang pusaka itu. Lama dia terdiam, sementara Rangga melangkah menghampiri kudanya yang berada di bawah pohon kamboja. Patih Raksajunta masih juga diam dengan kepala tertunduk dalam.
Dari sudut matanya diperhatikan gerak-gerik Pendekar Rajawali Sakti yang melangkah menghampirinya sambil menuntun kuda hitam yang tinggi tegap.
“Kau tahu tentang pusaka itu, Paman?" tanya Rangga setelah berada di depan Patih Raksajunta kembali.
"Hhh... !" Patih Raksajunta menarik napas panjang dan berat.
Rangga melangkah perlahan-lahan sambil menuntun kudanya. Di sampingnya berjalan Patih Raksajunta yang juga menuntun kudanya sendiri. Bibir mereka sama-sama terkatup rapat. Tidak ada yang membuka suara lebih dahulu. Sedangkan kepala Pendekar Rajawali Sakti itu masih dipenuhi misteri hilangnya pusaka Kerajaan Karang Setra. Belum juga dimengerti, mengapa tokoh-tokoh rimba persilatan menginginkan pusaka itu? Pusaka yang hanya berbentuk segitiga besar dengan beberapa lingkaran di dalamnya. Benda itu memang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra.
“Ceritakan tentang pusaka itu, Paman," pinta Rangga setelah begitu lama terdiam.
"Hhh! Mungkin aku bukan orang yang tepat, Rangga,” sahut Patih Raksajunta mendesah panjang.
"Paman, aku tahu kau dulu berasal dari Karang Setra. Bahkan mempunyai jabatan yang cukup penting pada saat Karang Setra masih menjadi sebuah kadipaten," desak Rangga.
"Kau tahu itu...?" Patih Raksajunta terkejut heran.
“Paman Bayan Sudira yang mengatakannya. Bahkan kau masih ada hubungan saudara dengannya. Benar begitu?"
“Ya, memang," desah Patih Raksajunta membenarkan.
"Nah! Tentunya kau mengetahui tentang pusaka itu, bukan?” tanya Rangga semakin mendesak.
“Yaaah..., " Patih Raksajunta mendesah panjang.
“Ceritakan, Paman. Aku sendiri belum mengetahui tentang pusaka itu, meskipun pernah melihatnya. Tapi aku hanya menganggap itu hanya sebuah lambang, tidak lebih.”
"Sebenarnya aku hanya tahu sedikit tentang pusaka keramat itu, Rangga,” pelan suara Patih Raksajunta.
"Ceritakan, Paman,” pinta Rangga
Patih Raksajunta terdiam beberapa saat. Mungkin sedang mengintat-ingat, atau juga sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menceritakan perihal pusaka keramat yang menjadi lambang kebesaran Kerajaan Karang Setra. Dan kini pusaka itu menjadi rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan setelah hilang dari tempatnya.
"Sebenarnya pusaka itu sudah ada sebelum Kadipaten Karang Setra didirikan leluhurmu, Rangga. Aku sendiri tidak tahu siapa yang membuatnya, dan mengapa dijadikan lambang bagi Karang Setra. Hanya...,” Patih Raksajunta berhenti bercerita.
“Teruskan Paman," pinta Rangga.
“Aku pernah melihat Gusti Adipati atau ayahmu menggunakan pusaka itu sebagai perisai ketika beliau diserang tokoh sakti dari golongan hitam. Tokoh sakti itu ingin merebut Gusti Permaisuri, yaitu ibumu sendiri, Rangga. Mungkin saat itu kau masih berusia empat bulan dalam kandungannya," lanjut Patih Raksajunta.
“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya.
“Bukan hanya aku saja yang menyaksikan, tapi banyak pembesar Karang Setra juga ikut menyaksikannya, termasuk tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Dan sejak kejadian itu banyak tokoh rimba persilatan mengincar pusaka itu. Karena selain dapat digunakan sebagai perisai ampuh untuk menahan segala macam gempuran ajian kesaktian, juga sangat hebat dalam menghadapi segala macam jenis senjata pusaka. Pusaka keramat itu bukan saja bisa digunakan sebagai perisai, bahkan juga bisa digunakan untuk senjata lempar yang sangat ampuh. Selain bisa meningkatkan tenaga dalamnya.”
"Hebat..!" desis Rangga tanpa sadar.
"Memang dahsyat sekali, Rangga. Pusaka Karang Setra akan menjadi senjata sekaligus perisai yang tidak tertandingi, dan sangat berbahaya jika sampai jatuh ke tangan tokoh berwatak jahat."
“Kalau memang demikian, pusaka itu harus kuselamatkan sebelum jatuh ke tangan orang macam itu!” tekad Rangga bergumam.
"Memang seharusnya pusaka itu menjadi milikmu, Rangga. Karena kau satu-satunya pewaris yang masih hidup,” sambung Patih Raksajunta.
“Paman, di mana kira-kira pusaka itu berada sekarang?” tanya Rangga setengah bergumam.
“Itulah yang menjadi permasalahannya, Rangga. Sudah bukan rahasia lagi kalau pusaka itu berada di Puri Teratai Emas.”
“Puri Teratai Emas...?” Rangga terbelalak mendengar nama yang disebutkan Patih Raksajunta.
KAMU SEDANG MEMBACA
24. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Pusaka Leluhur
AksiyonSerial ke 24. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.