BAGIAN 4

987 38 0
                                    

"Sebenarnya ini bukan kesalahan siapa-siapa, Gusti. Tapi kesalahan hamba. Malam itu hamba terpaksa memerintahkan beberapa prajurit penjaga Balai Sema Agung untuk meronda keliling istana. Hanya tinggal empat orang prajurit saja yang tersisa di Balai Sema Agung. Hamba memang mengurangi penjagaan di sekitar istana, karena selama ini keadaan selalu aman tanpa adanya gangguan sedikit pun...," Panglima Bayan Sudira menghentikan ceritanya.
"Teruskan," pinta Rangga.
"Kebijaksanaan ini hamba keluarkan karena sebagian prajurit sedang dikirim ke Kadipaten Sindang Lawu. Hamba berpendapat, keamanan istana sudah cukup. Dengan demikian penjagaan hamba kurangi, dan dipusatkan pada tapal batas yang berhubungan langsung dengan Kadipaten Sindang Lawu," lanjut Panglima Bayan Sudira.
"Hm.... Apa yang terjadi di Kadipaten Sindang Lawu?" tanya Rangga.
"Hanya kekacauan kecil saja, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Kekacauan kecil? Dan kau kirim sebagian prajurit ke sana sehingga mengurangi penjagaan di istana! Itu yang dinamakan kekacauan kecil...?!" Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mengerti terhadap sikap panglimanya ini.
"Ampun, Gusti. Sebenarnya kekacauan itu tidaklah berat untuk ditangani kalau saja...."
"Apa?" desak Rangga.
"Kalau saja tidak ditunggangi dua orang yang berilmu sangat tinggi," lanjut Panglima Bayan Sudira.
"Siapa mereka?"
"Sepasang Naga Hitam."
"Sepasang Naga Hitam...," gumam Rangga pelan.
"Gusti sudah bertemu dengan salah seorang dari mereka."
Rangga menatap tajam pada Panglima Bayan Sudira.
"Wanita yang bernama Andini dan hampir mempermalukan hamba tadi adalah salah seorang dari Sepasang Naga Hitam," jelas Panglima Bayan Sudira.
"O...!" Rangga agak terkejut juga mendengarnya.
"Para pengikutnya berhasil ditumpas. Hamba tidak menyangka kalau mereka mengikuti ke mana hamba pergi. Hanya tinggal mereka berdua saja, tapi...," lagi-lagi Panglima Bayan Sudira berhenti sebelum kalimatnya selesai.
"Tapi kenapa?" desak Rangga.
"Mereka ternyata mengetahui tentang pusaka itu, dan menginginkannya, Gusti."
"Ahhh...!" kembali Rangga terkejut dan mendesah panjang.
"Bukan hanya mereka, bahkan beberapa tokoh hitam juga sudah mendengarnya. Mereka kini berusaha untuk mendapatkan pusaka itu. Hamba tidak tahu, dari mana mereka dengar, dan untuk apa menginginkan pusaka itu, Gusti."
Rangga terdiam dan mendesah panjang beberapa kali. Kini persoalannya memang menjadi semakin serius. Pusaka leluhur Karang Setra tidak boleh jatuh ke tangan orang yang sesat. Jelas, hal itu bisa membuat kehancuran bagi seluruh rakyat Karang Setra, bahkan bisa meluas lebih jauh lagi. Orang yang menguasai pusaka itu akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan menguasai seluruh dunia persilatan. Itu pun kalau memang benar pusaka leluhur Karang Setra memiliki kesaktian yang luar biasa. Sedangkan selama ini belum terbukti kesaktian itu.
Rangga bangkit berdiri dan melangkah menuju ke sebuah sungai kecil yang tidak jauh dari tempat itu. Sungai tersebut berair jernih dan tidak begitu dalam, sehingga bagian dasarnya jelas terlihat. Rangga jongkok di tepi sungai dan membasuh wajahnya dengan air yang sejuk itu. Sebentar dipandangi wajahnya di permukaan air sungai itu, kemudian bangkit berdiri dan berbalik.
Panglima Bayan Sudira masih tetap duduk bersila di tempatnya. Rangga melangkah menghampirinya, dan menepuk pundak panglima itu.
"Berdirilah," ucap Rangga lembut.
"Hamba, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira seraya memberi sembah, lalu bangkit berdiri.
"Kau tentu membawa kuda," kata Rangga.
"Benar, Gusti. Tapi kuda-kuda itu mungkin masih berada di tepi hutan," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Hm..," Rangga bergumam dan melangkah perlahan-lahan. Panglima Bayan Sudira mengikutnya dari belakang. Tangan Rangga memberi isyarat agar Panglima Bayan Sudira berjalan di sampingnya. Laki-laki hampir setengah baya itu mensejajarkan langkahnya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kau bawa pakaian ganti, Paman?" tanya Rangga sambil tetap melangkah.
"Bawa, Gusti," sahut Panglima Bayan Sudira.
"Tapi semuanya ada di punggung kuda. Bahkan hamba juga membawa kuda Dewa Bayu."
"Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak kabur dan kau bisa mengganti pakaian dengan yang biasa. Rasanya pakaianmu terlalu menyolok."
"Hamba, Gusti."
"Satu lagi. Sebaiknya kau tidak memanggilku Gusti. Panggil saja aku Rangga, " pinta Rangga.
"Gusti... !" Panglima Bayan Sudira terkejut.
"Gerakan kita tidak akan bebas kalau kau tetap memanggilku seperti itu. Dan lagi pakaianmu terlalu menyolok kalau kau seorang panglima perang Kerajaan Karang Setra."
"Hamba, Gusti," ucap Panglima Bayan Sudira mengerti.
"Aku tetap akan memanggilmu paman. Dan kau harus memanggilku Rangga saja, tanpa ada sebutan lain."
"Baik, Gusti..., eh, Rangga."
"Bagus! Sebaiknya kita cepat-cepat ke tepi hutan. Mudah-mudahan kuda-kudamu masih ada di sana.
"Baik, Rangga." Panglima Bayan Sudira mulai membiasakan diri memanggil junjungannya dengan nama kecil saja.
Rangga tersenyum senang. Tapi di balik semua itu hatinya tidak tenteram. Apa yang telah dikatakan panglimanya itu membuat kepalanya terasa akan pecah. Kini perhatiannya harus dikhususkan pada pusaka Karang Setra yang hilang. Dan sementara itu sudah banyak tokoh rimba persilatan yang mengetahuinya. Pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Dan ini memang tidak boleh terjadi!
***

24. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Pusaka LeluhurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang