Suatu rombongan berjumlah sebelas orang berkuda berpacu cepat meninggalkan debu yang mengepul di udara. Dilihat dari seragam yang dikenakan, sebelas orang berkuda itu bisa dikenali asalnya. Mereka adalah prajurit dan seorang Panglima Kerajaan Karang Setra. Tampak penunggang kuda paling depan adalah Panglima Bayan Sudira. Salah seorang prajurit yang berkuda di belakang Panglima Bayan Sudira, menuntun seekor kuda hitam legam.
Rombongan prajurit Karang Setra itu jelas menuju Kerajaan Jiwanala yang terletak di pesisir pantai sebelah timur. Tampaknya mereka telah menempuh perjalanan begitu jauh. Ini terlihat dari wajah-wajah yang letih dan pakaian berdebu. Kuda yang mereka tunggangi pun mendengus-dengus kelelahan.
"Hooop... !" Panglima Bayan Sudira tiba-tiba mengangkat tangan sambil menghentikan laju kudanya.
Sepuluh orang prajurit yang mengikutinya serentak berhenti. Pandangan Panglima Bayan Sudira tidak lepas ke arah jalan di depannya. Tampak sebuah pohon yang cukup besar roboh melintang menghalangi jalan.
"Hm...," gumam Panglima Bayan Sudira pelan.
Pohon besar itu seperti baru saja tumbang. Daun-daunnya masih lebat dan hijau. Walaupun tampaknya masih begitu kokoh, tapi tumbangnya sampai ke akar. Pohon sebesar itu memang bisa saja roboh kalau terjadi badai yang sangat dahsyat. Tapi sekitarnya tampak tenang, dan tidak ada tanda- tanda bekas terlanda badai. Pohon-pohon lain di sekitarnya tampak masih kokoh berdiri.
Panglima Bayan Sudira jadi curiga melihat keadaan yang ganjil ini. Diisyaratkan pada prajuritnya untuk waspada. Panglima Karang Setra itu segera melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Perlahan-lahan dihampiri pohon yang tumbang menghadang jalan itu.
Belum juga sampai ke pohon itu, mendadak sebatang tombak meluncur deras ke arahnya. Panglima Bayan Sudira melentingkan tubuhnya ke belakang, sehingga tombak itu hanya menancap tanah. Padahal dia tadi berdiri di situ. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar memekakkan telinga, seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin Jelas kalau suara itu dibarengi penyaluran tenaga dalam yang cukup tinggi. Semakin lama suara itu semakin menyakitkan telinga. Para prajurit yang berjumlah sepuluh orang, mulai merasakan akibatnya.
"Hih! "
Panglima Bayan Sudira menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Pada saat yang sama, tiga prajurit yang berada di belakangnya sudah menggelepar sambil berteriak-teriak. Dari mulut, hidung, dan telinga mereka keluar darah. Pengaruh suara tawa itu sangat luar biasa.
"Yaaah.. . !"
Tiba-tiba saja Panglima Bayan Sudira memekik keras sambil memutar tubuhnya cepat. Kedua tangannya direntangkan ke samping. Suara teriakannya demikian keras dan menggelegar. Bersamaan dengan itu bertiup angin kencang bagai terjadi badai topan. Panglima Bayan Sudira mengerahkan aji 'Bayu Badai' satu ajian yang sangat dahsyat.
Ajian itu memang sangat ampuh dan dahsyat. Buktinya suara tawa itu mendadak berhenti. Seketika Panglima Bayan Sudira juga menghentikan ajiannya. Dia tidak ingin para prajuritnya terlempar akibat hempasan badai yang diciptakannya.
Para prajurit Karang Setra yang tadi bergelimpangan, mulai dapat bangkit kembali. Napas mereka tersengal dengan tubuh lunglai dan darah masih mengucur dari hidung. Panglima Bayan Sudira berdiri tegak sambil memasang mata tajam untuk mengawasi sekitarnya. Pendengarannya dipasang tajam. Tapi suasana begitu hening, bahkan angin pun seolah-olah enggan bertiup.
"Waspadalah kalian," ujar Panglima Bayan Sudira memperingatkan.
Sepuluh orang prajurit Karang Setra itu mencabut pedangnya masing-masing. Mereka bergerak mendekati panglimanya, dan berhenti di belakang laki-laki setengah baya itu.
"Siapa kau? Keluar...!" teriak Panglima Bayan Sudira keras. Sepi. Tak terdengar suara sedikit pun. Panglima Bayan Sudira memerintahkan para prajuritnya untuk mengambil kuda. Dua orang prajurit bergegas menghampiri kuda mereka yang tetap tenang merumput, seperti tidak menghiraukan kejadian yang tengah berlangsung terhadap majikannya.
"Awas...!" seru Panglima Bayan Sudira tiba-tiba.
Saat itu dua batang tombak melesat cepat bagai kilat ke arah dua prajurit yang tengah menghampiri kuda-kudanya. Dua orang prajurit itu terperangah sesaat. Kemudian, dengan gerakan cepat, dikibaskan pedangnya untuk menangkis tombak itu.
Trang! Trang! "Akh...! "
Dua orang prajurit itu terpekik hampir bersamaan. Pedang mereka terlempar jauh begitu menangkis lemparan tombak tadi. Panglima Bayan Sudira segera melompat ke depan prajurit yang terhuyung ke belakang beberapa langkah seraya memegangi tangannya.
"Gusti...," salah seorang prajurit merintih lirih.
"Kenapa tanganmu?" tanya Panglima Bayan Sudira.
"Orang itu berilmu sangat tinggi. Tangan hamba seperti mati rasa," sahut prajurit itu.
"Hm...," Panglima Bayan Sudira mengerutkan alisnya. Sebentar diperiksanya tangan kedua prajurit itu. Tidak ada yang terluka, hanya aliran darahnya terasa begitu cepat. Itu pertanda kalau baru saja menerima hentakan tenaga dalam yang cukup tinggi tingkatannya. Seorang prajurit lain menghampiri. Diserahkan pedang temannya yang tadi terlempar.
Panglima Bayan Sudira memberi isyarat pada para prajuritnya untuk naik ke punggung kudanya masing-masing. Prajurit yang berjumlah sepuluh orang itu bergegas melompat naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja berada di atas punggung kuda, tiba-tiba terdengar kembali suara tawa terbahak-bahak. Bahkan kini disusul dengan munculnya seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun.
Pemuda itu berdiri tegak di atas pohon yang tumbang menghalangi jalan. Di tangannya tergenggam sebatang tombak panjang berwarna merah, sama dengan warna pakaian yang dikenakannya. Ujung atas tombak itu berbentuk bulan sabit berwarna kuning keemasan. Sungguh berbeda dengan tombak-tombak pada umumnya.
"Masih ingat denganku, Bayan Sudira?" dingin dan datar suara pemuda itu.
"Kumbang Merah...," desis Panglima Bayan Sudira.
"Ha ha ha...!"
"Hebat! Kau sekarang jadi panglima, Bayan Sudira. Tapi saying, prajuritmu kurang tangguh untuk sebuah kerajaan besar seperti Karang Setra," kata Kumbang Merah sinis.
"Terima kasih. Tapi mereka sudah mampu menangkis seranganmu," jawab panglima Bayan Sudira tidak kalah sinisnya.
"Ha ha ha...! Kalau aku mau, hanya sekedipan mata saja mereka sudah mati!"
Panglima Bayan Sudira merentangkan tangannya mencegah prajuritnya yang tak tahan mendengar ejekan itu. Sepuluh orang prajurit Karang Setra itu tidak jadi bergerak. Meskipun mereka sudah turun kembali dari punggung kudanya, tapi belum ada yang menarik pedangnya kembali keluar.
"Kumbang Merah, apa maksudmu menghadang perjalananku?" tanya Panglima Bayan Sudira lantang.
"Aku hanya ingin memperingatkanmu, Bayan Sudira Perjalananmu ke Jiwanala hanya sia-sia saja. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sana!" sahut Kumbang Merah juga lantang.
"Bukan urusanmu, Kumbang Merah!"
"Urusanku juga jika kau bersikeras tetap ingin ke Jiwanala."
"He...! Kenapa kau melarangku ke sana?"
Kumbang Merah tidak menjawab, tapi hanya melompat turun dari pohon tumbang yang dipijaknya. Gerakannya sungguh ringan dan indah. Sepasang kakinya menjejak tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Jelas kalau tingkat kepandaiannya sukar diukur.
"Hebat! Rupanya kau mengalami kemajuan yang sangat pesat, Kumbang Merah," puji Panglima Bayan Sudira.
"Sepuluh tahun aku mempersiapkan diri. Dan semua itu hanya untukmu, Bayan Sudira! "
Setelah berkata demikian, Kumbang Merah melompat cepat bagaikan seekor macan menerkam mangsanya. Begitu cepat terjangannya, sehingga membuat Panglima Bayan Sudira sempat terperangah.
Namun dengan cepat pula Panglima Karang Setra itu menggeser kakinya ke kanan sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Hait! "
Kumbang Merah mengibaskan tongkatnya menyampok tangan Panglima BayanSudira, namun luput. Ternyata Panglima Bayan Sudira lebih cepat menarik tangannya kembali. Dan belum lagi Kumbang Merah bisa menarik pulang tombaknya, Panglima Bayan Sudira telah lebih dulu mengirimkan satu tendangan kilat menggunakan kaki kanannya.
"Hegh...! "
Tendangan cepat dan tidak terduga itu mendarat tepat di pinggang Kumbang Merah, dan membuatnya mengeluh pendek. Kumbang Merah bergegas menarik kakinya mundur beberapa langkah. Bibirnya meringis menahan sakit, akibat tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Dan pada saat itu, Panglima Bayan Sudira sudah kembali mengirimkan pukulan beberapa kali dengan cepat.
"Hiya! Hiyaaa...!"
"Hap! Yaaat...!"
Kumbang Merah berkelit mengegoskan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, menghindari pukulan beruntun yang dilepaskan laki-laki pemimpin seluruh prajurit Karang Setra itu. Pada saat pukulan panglima itu terhenti sebentar, dengan cepat ditusukkan tombaknya. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan Kumbang Merah untuk balas menyerang.
KAMU SEDANG MEMBACA
24. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Pusaka Leluhur
AçãoSerial ke 24. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.