Prolog

525 47 1
                                    

Hypnosis Microphone © King Records
Cover © Picrew
Story © RefiAdhy & LavendulaMinty
.
.
.
Samatoki masih tidak mempercayai pemandangan di hadapannya. Kakinya terhuyung, menggoyahkan pijakannya. Riou dengan sigap memapah tubuh lemah Samatoki dari belakang, meski dirinya sendiri kesulitan menerima kenyataan yang terpampang di kamar kecil untuk dua orang itu. Mereka seharusnya datang lebih cepat, seharusnya lebih peka terhadap apa yang terjadi di rumah kecil yang diberikan Samatoki untuk adiknya, Jyuto.

"Tunggulah di sini," perintah Riou tenang, tangannya melepas tubuh gemetar Samatoki yang kini bersender di dinding. Mata pria berambut putih itu masih terpaku lurus ke depan.

Dahi Riou berkerut, ia benci dihadapkan pemandangan seperti ini. Dilihat saja ia sudah tahu, tapi demi kepuasan pribadiーdan sedikit harapan kecil yang keras kepala menunjukkan keberadaannyaーlengan Riou memeluk tubuh Jyuto dan mengangkatnya lebih tinggiーlebih tinggi dari posisi sebelumnya.

"Jyuto?"

Tidak ada jawaban.

"Oegh! Ohok!"

Riou sontak menoleh dan melihat Samatoki memuntahkan isi perutnya di lantai dekat pintu. Dadanya naik turun berupaya memompa oksigen ke paru-paru, berebut giliran dengan kontraksi diafragmanya. Apa Samatoki jijik? Riou menunduk, melihat noda cairan urin yang kini menempel pada kimononya. Reaksi yang wajar, tapi mungkin Riou saja yang sudah imun terhadap segala hal kotor di dunia ini. Darah, feses, urin...semuanya sama saja.

"Kenapa...kau melakukan ini, Jyuto?"

Getaran suara Samatoki membuat Riou memeluk tubuh Jyuto lebih erat. Ia juga ingin bertanya hal yang sama. Tapi apa gunanya?

"Padahal aku sudah merelakanmu menikah dengan perempuan itu dan mencoreng nama baik keluarga kita!"

"Jiroko juga ada di sini, Samatoki. Jaga mulutmu."

Samatoki menutupi wajah dengan telapak tangannya. Otaknya tidak bisa memproses semua ini. Ia tidak mau mempercayai adiknyaーsatu-satunya adiknya, mengambil keputusan bodoh hanya karena cintanya pada seorang perempuan biasa. Tanpa status, tanpa kekayaan, tanpa masa depan. Ia tahu sejak awal ia tidak seharusnya memberi restu.

Riou membaringkan tubuh Jyuto di samping kasur Jiroko yang tersenyumーentah bagaimana perempuan itu bisa tersenyum di saat seperti ini. Riou merobek lengan kimono dalamannya, dan meletakkannya di atas wajah Jiroko. Matanya tidak bisa mengacuhkan memar dan cakaran di leher perempuan itu.

Sungguh terlambat, dirinya dan Samatoki.

"Riou..."

Riou mengangguk, memberitahu bahwa ia mendengarkan.

"Tolong...Jyuto...kumohon..."

"..."

Telapak tangan Riou membelai dahi Jyuto lembut, sebelum menutup kelopak mata pria itu. Andai ia bisa, pasti Riou akan melakukannya. Tapi dia bukan Tuhan apalagi Dewa. Ia tidak bisa mengembalikan mereka yang mati.

"Jyuto sudah tiada, Samatoki."

BRAK!

Dinding kertas kamar seketika ringsek dihantam pukulan Samatoki. Pria itu masih menunduk, masih merana, masih tidak menerima kenyataan.

"SIAL!"

Riou menahan dahinya dengan telapak tangan. Sesak yang sedari tadi menghantui menelannya bulat-bulat. Bukan Samatoki saja yang bersedih di sini. Jyuto adalah teman yang sama berharganyaーseberharga Jiroko bagi keluarganya. Akan ada lebih dari satu keluarga yang berkabung akan kematian dua suami istri ini. Akan banyak hati yang patahー

ZRRRRRRRRRSSSSHHHHHH!

Riou melirik celah jendela yang terbuka sedikit. Hujan deras turun di luar sana, seakan ikut meratapi hilangnya dua pasangan insan yang mencintai satu sama lain terlampau hebat, mereka memutuskan mengakhiri hidup bersama. Riou melirik ke belakang, Samatoki tengah membaca secarik kertas yang tadi berada tidak jauh dari posisi mayat Jyuto menggantung. Sambil mengusap air matanya, Riou menghampiri Samatoki.

"!"

Tanpa peringatan, Samatoki ambruk di pelukan Riou. Tangan kirinya meremas kertas di tangannya penuh dendam. Tangan lainnya mencabik permukaan kimono Riouーsebuah metafor luka tak berdarah yang mendera bertubi-tubi namun tidak dapat dielakkan.

Dengan tenang Riou mengambil kertas tersebut dan mulai membaca di tengah jeritan nestapa Samatoki yang robek dari tenggorokannya, mengiringi hujan musim panas yang tidak tahu ampun.

"Tanpa Jiroko, aku tidak bisa. Tunggu aku di surga."

# # #
.
.
.

Next : Dear 1, Memory

Dear J : from Jiroko to Jyuto, from Jyuto to JiroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang