6. Tetangga Kamar Sebelah

1K 111 9
                                    

-o0o-

Buku adalah jendela dunia, katanya. Tapi menurut hidupku, jendela adalah buku dunia saat ini.

-o0o-

Udara semakin dingin. Rui tak luput untuk selalu menggunakan topi hangatnya ke manapun. Ia mengkuti langkah Deon untuk sampai ke halte walaupun sambil cemberut. Dari belakang, Rui mengumpat, mendumal juga sesekali tangannya gatal untuk memukul pria yang berjalan santai di depannya. Usianya 20 tahun, namun ia sudah banyak dipindahkan dari berbagai kampus dan tingkahnya masih saja kekanakan. Mungkin karena kekuasaan juga materi yang membuat Rui gelap mata terhadap kehidupan dunia. Apapun keinginan selalu dituruti membuat Pak Ardi tertampar dalam hal pendidikan Rui. Ia sengaja mengirimkan Rui untuk belajar bersikap dengan orang.

Tak banyak pembicaraan yang mereka lakukan untuk saling mengenal pertama kali. Deon memang cowok yang simpel. Ia tersenyum hanya sekedarnya saja. Itu kenapa ia lebih suka tinggal di negeri orang, karena kebanyakan orang hidup dengan dirinya masing-masing. Deon suka ketenangan, ia begitu telaten dalam hal apapun. Wajahnya tampan, membuat kaum hawa beberapa kali meminta foto karena menyangka Deon keturunan Korea. Kalian tahu kan, beberapa tahun belakang industri hiburan Korea Selatan memang digandrungi banyak remaja di seluruh dunia.

"Berhenti bilang 'tukang roti' di depan saya." Ucapan Deon yang tiba-tiba sambil menunggu bus datang membuat Rui terheran.

"Lo bisa ngomong juga? Gue kira gagu! Kenyataan kali, lo kan tukang roti."

Deon menatap Rui tajam, membuat Rui membuang pandangannya dengan malas.

"Visualnya lumayan, tapi dia jutek. Gue benci cowok jutek, sok cool, sok ganteng kayak dia," batin Rui terus mengumpat pria dengan tinggi 183 di sampingnya.

Sesekali mata Deon melirik Rui yang terus memasang wajah kesal padanya. Bus akhirnya datang. Mereka memasuki Bus yang terlihat masih lenggang. Bus akan penuh jika di jam kerja atau jam mahasiswa untuk pergi ke kampus. Deon duduk di kursi paling belakang. Earphone ia keluarkan dan mulai memasang pada kedua telinganya. Matanya menutup mendengar alunan lagu yang didengar. Rui memperhatikannya diam-diam. Sesekali ia menatapnya pekat memastikan bahwa ia benar-benar manusia bukan robot. Masalahnya Deon sangat aneh dan terlihat bahwa ia adalah cowok introvert, dan Rui sangat benci dengan cowok introvert. Susah diajak bicara, menyebalkan, juga membosankan.

Mereka sampai pada asrama. Rui mendapati gelang merah yang membuatnya penasaran beberapa hari ini. Gelang itu terlihat melingkar di pergelangan tangan Deon hingga membuatnya memicing heran.

"Jangan-jangan .... "

"Kenapa? Gak masuk?"

Eskpresi Deon masih terbilang datar, namun yang Rui dengar hingga saat itu adalah bahasa formal yang ia gunakan membuat Rui geli sendiri.

"Lo duluan aja." Rui gugup kala ia melihat gelang merah itu.

"Masa dia sih, yang setiap malam petikan gitarnya gue dengerin," batin Rui menatap fokus lengan Deon.

Rui melotot ketika ia melihat Deon memasuki kamar asrama sebelah kamar yang ia tempati.

"Tunggu!"

Deon menghentikan langkahnya.

"201, 202?" Rui menatap nomor yang tertera di setiap pintu.

"Ada apa?"

"Ruang 202? Itu lo?" tanya Ruina dengan rasa penasaran yang tinggi.

Deon mengangguk datar, sementara Rui melotot keheranan. Asrama yang terlihat seperti apartemen itu memang tak ada aturan khusus untuk laki-laki ataupun perempuan. Asrama tersebut, kebanyakan adalah orang Asia yang memang mendapat beasiswa sekaligus tinggal gratis di asrama selama tahun perkuliahan berlangsung.

DI BALIK JENDELA MOSCOW Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang