14. Tidak Sengaja Kesepian

705 79 2
                                    

Jam sembilan pagi itu, Ruina dan Alen hendak menjalani perkuliahannya. Merasa sudah sangat sehat, Rui sudah mulai bisa tersenyum kembali. Padahal, kejadian dalam badai itu hampir saja merenggut nyawanya.

Sepanjang koridor kampus, mata Rui memencar seperti mencari seseorang. Tak ada tanda dari seorang Deon di kampus maupun di kedai roti tempat Deon bekerja. Tak sengaja, Rui memang mencarinya. Ia masih belum ingat apa sebenarnya yang ia peluk waktu malam itu. Dan sekaligus, Rui ingin berterima kasih untuk yang kesekian kali pada pria itu.

"Bantal guling? Bisa jadi sih. Alen kan yang rawat gue, bisa jadi dia yang gue peluk," batinnya.

Ben Abraham terlihat berjalan di koridor tanpa Deon. Alen memanggilnya tiba-tiba membuat Rui segera menoleh ke arah Ben di ujung sana. Ben melambaikan tangannya pada mereka berdua dan berjalan menghampiri tempat Alen dan Ruina berdiri.

"Oh Alen?"

"Rui, cepat terima kasih," bisik Alen memaksa Rui untuk berterima kasih pada Ben.

"Em, nama lo Ben kan? By the way, terima kasih udah nolongin gue waktu di kantor polisi."

"It's Ok."

Alen mengernyitkan dahinya. Matanya memencar mencari sosok Deon yang biasanya terlihat selalu berjalan berdampingan dengan Ben, sahabatnya.

"By the way, di mana Deon? Tumben lo gak sama dia?" tanya Alen.

"Gue kira Deon bakalan bilang sama lo. Asrama dia di sebelah lo kan?"

Rui mengernyit heran, karena Ben menekan pertanyaannya serasa untuk Ruina.

"Maksud lo?"

"Deon cuti tiga hari. Dia pergi ke Saint Petersburg. Gue dengar sih Pak Geri ada di sana sekarang. Jadi, Deon bakalan nginep di sana buat beberapa hari. Katanya sih gitu," tutur Ben menjelaskan kenapa mereka tak bisa melihat Deon bersama dirinya pagi itu.

"Oh gitu. Gue kira Deon sakit. Ya udah Ben, kita duluan ya."

Sepanjang jalan, Rui terus tertunduk memikirkan Deon. Ia bahkan belum berterima kasih, tapi pria itu sudah terlanjur pergi.

"Lo punya waktu besok atau lusa buat berterima kasih Rui. Sekarang, ayo masuk kelas."

Senja mulai terlihat di lantai lima asramanya. Rui masih setia melamun di jendela kamar asramanya. Sesekali ia menatap jendela Deon yang masih tertutup rapat. Rui sungguh bosan kala itu. Biasanya, jam-jam seperti ini jadwalnya untuk mendengar petikan gitar Deon. Menurutnya, itu adalah hiburan gratis saat ia sedang begitu bosan dengan kota Moskow. Namun hari itu, kesunyian memang benar-benar telah ia rasakan.

"Hem, sepi juga ya."

Tak sadar, mungkin Rui memang sedikit merindukan keberadaannya. Segela ejekan yang pernah Rui ucap di depan Deon, percakapan lewat jendela dan menaiki bus pura-pura tak saling mengenal, Rui diam-diam malah mengingat itu semua.

"Ih gak ah, apa yang lagi gue pikirin?" Ia segera menutup rapat jendelanya setelah sadar bahwa ia memang tengah memikirkan pria itu.

Ingin ke rumah Ezlan, malam hampir menghampiri. Rui membuka pintu asramanya, melihat sekitaran koridor asrama sudah sepi. Mungkin beberapa orang sudah tidur. Terlihat susu yang tergeletak di depan pintu asrama Deon. Pengantar susu itu mungkin tak tahu jika penghuni pintu 202 sedang pergi. Seketika ia teringat waktu Deon memberikan enam botol susu padanya.

DI BALIK JENDELA MOSCOW Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang