Clara berlari menyeret kakinya menyusuri lorong rumah sakit. Lantai sebelas, bangsal melati kamar nomor empat belas. Clara mengulang-ulang kalimat itu sembari mencoba menemukan dimana letaknya. Clara nampak sangat berantakan dan terburu-buru. Perban yang melingkar ditangannya terurai dan darah dikeningnya menetes meski tidak deras. Ibunya, satu-satunya keluarga yang dia miliki sekarang berada disana. Semua karena ulah Clara yang keterlaluan, seharusnya dia tidak perlu mencari tahu siapa ayahnya.Brakk
Clara membanting pintu kamar. Dia diam sejenak melihat ibunya yang terbaring masih tidak sadarkan diri. Clara mendekat dan duduk disebelah ranjang ibunya kemudian menangis. Jika saja Clara tidak bersikeras untuk mengejar pria tua yang dia sebut ayah itu, sekarang ibunya tidak akan berada disini. Clara menangis tanpa suara, dia memukul-mukul dadanya yang terasa sangat sesak.
Seharusnya ibunya tidak perlu menyelamatkannya. Seharusnya tadi ibunya membiarkan saja saat bus itu akan menabrak Clara. Seharusnya Clara yang berbaring disini sekarang. Seharusnya Clara yang sekarat.
Tidak. Lebih dari itu. Seharusnya Clara tidak pernah lahir, agar ibunya tidak perlu memiliki kehidupan yang berat dan sulit seperti sekarang ini. Agar ibunya tidak perlu mengubur mimpi yang dimilikinya. Agar ibunya tidak perlu bekerja sebagai tukang cuci piring restoran yang selalu direndahkan orang-orang. Agar ibunya tidak perlu menjadi ibu pembohong yang membohongi anak perempuannya mengenai ayah yang entah siapa. Seharusnya Clara tidak pernah lahir.
"Kenapa tidak tukar posisi ibu denganku saja, Tuhan? Kenapa malah begini?" tanya Clara sesak.
Clara memukul lagi dadanya. Kenapa tuhan membuatnya memiliki hidup yang sulit. Clara menunduk menggenggam tangan ibunya. Selama ini dia tidak memperlakukan ibunya dengan cukup baik. Dia kadang berbicara kasar dan tidak mendengarkan ibunya.
Sekarang Clara menyesal. Clara ingin menyelamatkan ibunya. Clara ingin ibunya bangun. Clara akan melakukan apa saja. Bahkan, Clara rela jika harus menukarkan nyawanya. Ibunya lebih pantas untuk hidup.
"Kenapa menyalahkan Tuhan?"
Clara terkejut, berhenti terisak. Dia mengangkat kepalanya yang menunduk. Seseorang berdiri di depannya, berpenampilan sangat rapi. Clara jelas melihatnya, tapi wajahnya seakan tidak terlihat. Tertutupi cahaya. Menyilaukan mata Clara.
"Tuhan sudah memberikanmu kehidupan, lalu kenapa menyalahkan Tuhan?"
"Aku hanya ...."
"Kamu ingin ibumu sembuh?"
Clara mengerjapkan mata berusaha melihat wajah orang di depannya ini. Percuma, memang terlihat tapi sangat samar sampai seakan wajahnya berupa sinar cahaya. Clara mengangguk menjawab pertanyaan orang itu.
Orang itu menarik kursi di belakangnya kemudian duduk. Dia memegang tangan ibu Clara dan mengelus pelan punggung tangannya. Clara hanya diam masih bingung. Kemudian, orang itu mengulurkan tangannya ke arah Clara.
Entah mengapa Clara menyambut uluran tangan orang itu tanpa rasa ragu dan curiga sama sekali, lalu kemudian, orang itu juga mengelus punggung tangan Clara perlahan. Clara merasakan kesejukan mengalir di tubuhnya seiring dengan sentuhan telapak tangan orang itu. Aneh sekali, pikir Clara.
"Tuhan selalu menyayangi umatnya. Aku meng-aminkan doamu. Semoga kamu bisa menyelamatkan ibumu dengan cara yang sudah diberikan Tuhan. Kembalilah, kemudian sadarkanlah ibumu dari berbuat dosa. Seperti apa yang kamu doakan. Pergunakanlah nyawamu untuk menyelamatkan masa depan ibumu, maka kamu akan pergi dalam kedamaian dengan tenang."
Orang itu melepaskan tangan Clara. Kemudian, dia mengelus kepala Clara dengan lembut. Clara tertidur.
꧁༒••༒꧂Ryo menguap lagi kemudian membenarkan posisi buku yang menutupi wajahnya. Dia tidak akan membiarkan sinar matahari menerobos pertahanan dan mengganggu tidur siangnya. Angin kencang menghembus lembut ke arah Ryo membuat suasana semakin cocok untuk tidur siang. Dari atap gedung lantai lima rumah sakit ini, Ryo tidak akan mendengar suara bising dari kendaraan yang lalu lalang di bawah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Grand De Fleur [hiatus] II
FantasyClara tidak pernah menyangka jika ucapannya didengar oleh malaikat. Sekarang dia harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah dia ucapkan.