Chapter 1

31.9K 874 91
                                    

"Eh, Bab*, lu makan sayur juga? Gue pikir lumpur doang!" ungkap seorang pemuda yang dibalas tertawaan teman-temannya itu, Sonya hanya sedikit melirik ke arah mereka, sebelum akhirnya menatap kotak bekalnya.

"Minggir lu sana! Makan deket tong sampah aja! Kami mau duduk di sini! Ini buat tempat duduk manusia, bukan badak!" cela perempuan di belakang pemuda itu, Sonya mengambil kotak bekalnya dan mundur, berdiri dari duduknya.

"Maaf ...," kata gadis itu dengan lirih, ia siap berbalik namun perempuan cantik itu menahan pergerakannya.

"Eh, mau ke manain sayurnya? Udah, buat kami aja! Lo, kan, makannya sampah! Lagian, lu kudu diet juga, diet berarti gak boleh makan!" Merampas kotak bekal tersebut, Sonya hanya bisa terus menunduk.

"Ta-tapi kata Mamaku itu bekal buat diet ...."

"Mama lo boong! Gendut itu karena makan! Kalo lo makan, ya pasti bakal gendut!" Sonya hanya menatap pria muda yang mengungkapkan itu sekilas, meliriknya. Ia menggeleng pelan. "Nah, gak percaya! Sana lo! Sana udah! Hust, hust! Eh, maksud gue ... ngok, ngok, ngok!"

Dengan hampa, Sonya mau tak mau berbalik, ia menatap kotak bekal miliknya di tangan si perempuan itu sekilas seraya mengingat ibunya yang memberikan itu padanya, memberitahukan jika itu program diet ampuhnya selayaknya ibunya dulu ....

Sampai di samping kantin, tempat anak-anak yang bernasib sama dengan Sonya yaitu terusir dari elite, Sonya duduk tak jauh dari mereka.

"Mamah bohongin aku, ya? Mamah enggak mungkin bohongin aku ...," ujarnya lirih.

Seorang pemuda berkacamata dengan rambut ikal menoleh ke arahnya yang berbicara sendiri, melihat keadaan Sonya ia pun angkat suara, "Kenapa? Bekal kamu diambil mereka lagi, ya?" Sonya hanya mengangguk. "Kamu, sih, ngeyel. Harusnya jangan ke kantin, langsung ke sini aja!"

"Aku pikir mereka enggak ada tadi. Lagian, kantin, kan, tempat umum."

"Umum, iya, tapi bukan buat kita." Pemuda itu mendekatkan dirinya di samping Sonya. "Nih, lain kali inget!"

Sonya menatap tangannya yang menyerahkan roti isi ke arahnya, spontan mengingat ungkapan perempuan tadi Sonya menggeleng. "Aku lagi diet."

"Diet? Kalau begitu bagusnya begini!" Pemuda itu menarik roti, kemudian daging yang mengisi roti isi tersebut, kembali ia serahkan ke sang gadis.

"Katanya ... kalau diet enggak boleh makan."

"Bukan, diet itu bukan enggak boleh makan, tapi makan teratur dan terjaga," jelasnya, Sonya yang mendengar itu tersenyum. Ibunya tak berbohong padanya.

"Makasih, ya!" Sonya menerima makanan itu darinya, dan keduanya pun menikmati makanan tersebut dengan bahagia. Setelah selesai makan siang, bertepatan itu bel masuk kelas berdering kemudian.

"Eh, sampai jumpa lagi, ya, Sonya!"

Sonya mengangguk. "Iya, dadah!" Ia melambaikan tangannya ke udara pada pemuda yang meninggalkannya itu, di mata orang-orang pemuda itu terlihat biasa saja bahkan culun namun di mata Sonya ....

Ia seperti pangeran, berbaju besi, bermahkota, kemudian memiliki pedang di sabuknya.

"Heh! Kamu! Cepet jalan!" pekik sebuah suara serak, Sonya menoleh ke belakang dan menemukan pria berpakaian satpam, penjaga sekolah, mengintruksi anak-anak agar menuju kelas mereka. "Cepet!" Wajahnya yang seram membuat Sonya tersentak.

Buru-buru, gadis itu pun menyusuri kerumunan anak-anak lain yang sudah jauh dari area kantin.

"Aduh, anak-anak ini!" kata Pak Satpam yang kelihatan kelelahan, wajahnya pucat pasi, dan berkeringat meski demikian ia memaksakan diri mengintruksi anak-anak tersebut menuju kelas mereka.

Ia berusaha berjalan dengan badannya yang agak gemetaran, menuntun anak-anak itu bak gembala domba, hingga akhirnya sampai di lorong yang seratus persen kosong karena kegigihannya. Ia menghela napas panjang lega, puas.

"Lho, Pak Satpam," kata seseorang, bertepatan Pak Satpam yang tubuhnya limbung ingin ambruk. Namun, pemilik suara dan seorang pria bersamanya langsung membantu mempertahankan keseimbangan. "Cepet, ke bangku sana!"

Keduanya membopong pria tua itu ke tepian, menuju sebuah bangku yang terletak di sana. Langsung, mereka membaringkan pria itu.

"Cepet panggil ambulans!" perintah pria itu.

"Pak, jangan, jangan bawa ke rumah sakit! Saya gak kenapa-napa," katanya dengan lirih.

"Jujur saja, Pak. Saya enggak percaya sama kata gak kenapa-napa Bapak." Pria dengan mata cokelat tajam itu menatap intens pria malang tersebut. "Kamu nunggu apa? Cepet telepon!" Pria itu tersentak sebelum akhirnya mengeluarkan ponsel untuk menelepon ambulans sesuai perintahnya.

"Pak Ian ...."

"Bapak istirahat aja, saya kasih cuti sampai Bapak bener-bener pulih." Ia memutus ungkapan pria itu. "Saya tahu Bapak udah kerja keras buat disiplinin anak-anak di sini, bahkan saya denger-denger Bapak akhir-akhir ini kena banyak masalah ... soal anak-anak."

Terdiam sesaat, Pak Satpam hanya mengangguk.

"Bapak tahu anak-anak yang sering ngerjain Bapak?" Lagi, bawahannya itu menggeleng. "Ah, baiklah ...."

"Anu, Pak, boleh saya minta tolong lagi?" tanya Pak Satpam, ia mendapat tatapan tajam dari pria yang baru saja selesai menelepon ambulans itu hingga memilih diam.

Lama menunggu, sosok yang ia panggil Pak Ian berdeham. "Bantu apa, Pak? Jangan takut, ada saya!" Ia melirik sekilas pria di sampingnya yang langsung berpura-pura tak melihat.

"Malam ini, kan, ada acara. Tolong, panggilin keponakan saya buat gantiin saya jadi maskot sekolah," katanya.

Pak Ian terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk."Oh, si dia, kan? Oke, itu bisa diatur."

Tak lama kemudian, sirene terdengar dari kejauhan. Pak Ian menatap kepergian pria tua malang itu yang dibawa tandu, dipindahkan ke ranjang di belakang almbulans oleh para petugas, sebelum akhirnya pintu tertutup, dan mobil berjalan.

"Hm ...." Pria dewasa itu bergumam.

Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991

KISS GONE WRONG [B.U. Series - I]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang