Chapter 6

11.2K 579 52
                                    

"Tapi, setelah kamu sembuh total, ya! Sekarang, ayo makan dulu!" Mengambil bubur di meja di sampingnya, ibu Sonya pun menyuapi putrinya.

Sesuap masuk, setelah ia telan Sonya berkata, "Eh, Agustus mana, Mah?"

"Dia udah pulang. Mamah gak nyangka kamu punya temen cowok yang khawatir sama kamu, sama kek Mamah dulu. Jadi keinget masa Mamah ketemu almarhum Papah kamu." Ibunda Sonya tertawa pelan begitupun Sonya, meski demikian wajah Sonya memurung.

"Apa ... dia marah soal ...?"

"Dia malah minta maaf terus-terusan karena ngerasa gegara dia kamu lakuin itu, lumayan baik, cuman awal-awal nyebelin karena keliatannya dia gak percaya Mamah ini Mamah kamu!" Ia kembali menyuapi putrinya yang wajahnya masih memurung.

"Dia orangnya baik, kok ... tapi, kalau aku homeschooling, aku enggak bakal ketemu dia lagi, dong?"

Ibunya tertawa pelan. "Papah sama Mamah juga gak ketemu lagi setelah tamat sekolah, Sayang. Tapi, kalau takdir, gak ada yang bisa mengelak."

Mendengarnya, Sonya semakin tersenyum lebar.

"Homeschooling bukan berarti juga kamu di rumah terus, dong! Kamu boleh ngunjungin temen kamu, oke?" Semakin bahagia yang dirasakan gadis itu. "Mama bakal nyewa guru terbaik buat kamu, sebaik mungkin!"

"Makasih banyak, Mah!" Sonya merentangkan tangannya ke arah sang ibu, dan setelah meletakkan kembali bubur di tangannya sang ibu memeluknya erat selama beberapa saat. Setelah saling melepas, ibu Sonya kembali menyuapi sang anak.

Selesai itupun, Sonya meminum obatnya, dan akhirnya tertidur pulas.

Kini, mulailah sang ibu, pertama-tama menelepon pihak sekolah menyatakan pengeluaran diri Sonya di sana.

"Saya enggak perlu ngomong tentang alasannya lagi kenapa ingin anak saya keluar dari sekolah, Anda tahu persis kenapa, dan tenang aja saya enggak memutus donasi," kata ibu Sonya dongkol. "Sudah, saya enggak peduli, jangan ingetin saya lagi, saya masa bodo! Intinya, anak saya keluar, udah, saya males ke sana! Entar wakil saya yang bakal ke sana ngurus semuanya!"

Menutup telepon kesal, ibu Sonya setelahnya menghela napas lega. Akhirnya, ia mampu membebaskan putrinya dari penderitaan yang hanya ingin ia hadapi sendirian saja itu ... mau bagaimanapun, ia sebenarnya terganggu dengan sifat mandiri Sonya tentang itu. Berbohong ia baik-baik saja karena bully-an mereka sama seperti yang terjadi pada sang ibu ... ia muak dengan itu semua.

Setelah merasa tenang dengan perasaan berkecamuk itu, ibu Sonya pun melangkah ke ruang tengah, mengambil sebuah catatan serta pena di dalam lemari yang kemudian ia tuliskan jadwal tetap diet anaknya.

Tak lama, ponselnya berdering.

Ibu Sonya mengangkatnya dan di seberang sana langsung terdengar suara menyahut dengan nada khawatir. "Mah? Gimana keadaan Sonya? Maaf aku enggak bisa pulang, ini kerjaannya numpuk!"

"Sonya udah siuman, Dylan," jawab ibunya, setelahnya menghela napas.

"Syukurlah ...."

"Kamu gimana, udah nemu belum guru private yang bagus buat Sonya? Yang anti body shaming, oke? Mamah gak suka, pokoknya harus yang ... BAGUS!"

Di seberang sana, terdengar Dylan sang putra tertawa pelan. "Iya, udah dapet, dong, Mah! Ini dijamin bagus! Dia kakak kelasku, Ian Irawan Brayden namanya, dia juga sekaligus anak dari kerabat almarhum Papah, dia muda tapi prestasi terjamin. Dan sebenernya dia bisa jadi apa aja, tapi entah kenapa dia suka gonta-ganti profesi, keknya nyari jati diri."

"Hah? Apaan itu? Mamah enggak paham."

"Sama, aku juga enggak paham isi kepala dia. Kebetulan, kan, aku ke perusahaan utama dia buat meeting tadi, ketemu Pak Brayden, tepat saat itu Mamah telepon aku, kan? Dia ternyata nguping, Mah! Kurang ajar, sih, cuman ... karena aku mayan tahu dia, dan dia nawarin diri, kenapa enggak dicoba? Lagian pas di SMA dulu aku ingat banget sikapnya gimana. Suka banget jadi pahlawan."

"Bagus, deh. Intinya dia enggak boleh judge Sonya! Mamah bunuh entar!" Hanya terdengar tawa sumbang dengan nada takut di seberang sana. "Mamah ada urusan. Dah, Sayang! Semangat kerjanya!"

"Iya, Mah! Dan keknya aku belum bisa pulang."

"Iya, enggak papa, yang penting kamu terus kabarin Mamah, oke?"

"Siap, Mah. Dadah!"

"Dadah!" Dan setelah itu, panggilan pun dimatikan sepihak. Ibunda Sonya kembali mengerjakan jadwal diet anaknya hingga selesai cukup lama. Kondisi mata dan badan yang begitu lelah membuatnya tertidur di sofa begitu saja setelahnya.

Sementara di kamar, Sonya terbangun. Ia merasakan kandung kemihnya yang terisi ingin dibuang. Matanya menatap sekitaran, mencari ibunya, namun karena tak menahan lagi ia memaksakan diri duduk pelan tetapi pasti.

Berhasil, Sonya bisa merasakan kepalanya yang tak lagi pening, meski badannya terasa remuk. Menuruni kasur, ia akhirnya berdiri dengan mudah, memegang tiang infusnya lalu menyeretnya menuju kamar mandi.

Di kamar mandi, ia berhenti sejenak karena melintasi cermin besar di sana. Ia menatap dirinya sendiri ....

"The more I staring at myself ... the more I hate it ...," gumamnya pelan, merengutkan bibirnya, dan memejamkan matanya erat-erat. Namun, ia kembali membuka mata, setelahnya tersenyum. "Aku pasti bisa diet!"

Menuju toilet, Sonya pun menuntaskan niatnya. Kini, setelah keluar, ia merasa enggan berbaring lagi hingga memilih keluar kamar, menuju tangga dan menuruni pelan-pelan seraya menyeret tiang infusnya. Saat itulah, ia temukan ibunya tertidur di sofa dengan sebuah catatan serta pena di atas meja di hadapannya.

Sonya tersenyum hangat, menghampiri ibunya, dan memperhatikan isi catatan itu.

"Mamah udah usaha, aku juga harus berusaha."

Duduk di samping wanita itu, Sonya memeluknya dari samping dengan pelan.

"Aku sayang Mamah ...."

"Mamah juga sayang sama Sonya," kata wanita itu, Sonya terkejut sementara sang ibu hanya tertawa pelan seraya membuka mata. "Kita pasti bisa, oke?" Sonya tersenyum, mengangguk antusias.

Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991

KISS GONE WRONG [B.U. Series - I]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang