Ian berdiri di depan westafel, mengeluarkan isi dari botol yang ia pegang yang berupa obat, tiga butir yang jatuh ke tadahannya itu langsung ia tenggak tanpa bantuan air. Sebelum akhirnya, ia menghela napas panjang.
"Sekolah sialan, orang tua sialan, anak-anak ...." Ia menggantung kalimatnya, menghela napas panjang lagi. Ia meletakkan botol obat itu ke westafel, sebelum akhirnya duduk di kursi yang tersedia di dekat meja makan. Memegang kepalanya yang terasa pening.
Telepon rumah terdengar berdering tak lama kemudian.
Pria dewasa itu berdiri dengan jengkel, sebelum akhirnya menghampiri telepon rumah itu, dan menekan salah satu tombol. Sebuah pesan suara terdengar di sana.
"Ian, kamu bilang pengen ketemu Papah? Kenapa tadi pulang duluan, huh? Maaf kalau kamu lama nunggu, kamu tahu, kan, Papah sibuk. Harusnya kamu yang handle semua ini, bukan? Gimana rasanya jadi kepala sekolah di SMA ber-image buruk itu, huh? Kamu pasti kena masalah jadi hubungin Papah, bukan?"
"ARGH!" Ian langsung menghempaskan telepon rumah itu ke lantai, menendangnya kemudian. Ia lalu memegang dadanya, mengusap-usapnya sendiri seraya menahan seluruh amarah yang meluap.
Ia lalu melangkah menuju kamarnya, mengambil ponsel di sana, dan mengirimkan pesan suara. Ia berusaha berbicara setenang mungkin. "Pah, oke, Papah menang kali ini. Tapi, seenggaknya, kuharap Papah enggak mutus donasi di sana. Banyak anak-anak yang perlu uluran tangan. Lagi, aku gak sepenuhnya gagal, Papah liat sekolah itu sekarang jadi sekolah yang lumayan elite? Walau dengan sialannya ... oke, aku jujur aja, anak CEO Papah yang sekolah di sana semena-mena! Aku muak, Pah ...."
Langsung ia mengirimkan hal tersebut.
"Oh, ya Tuhan!" Dan buru-buru menarik pesan suara itu kembali, ia mengulang pernyataannya tanpa penyartaan aduan tentang anak CEO ayahnya.
Kalimat terakhir, ia ganti dengan .... "Aku masih belum selesai, sebenarnya."
Kali ini, ia lalu menghempaskan badannya ke kasur, efek obat penenang tersebut mulai menguasainya pelan tetapi pasti, membuat Ian merileks secara bertahap.
"Okay, Ian, you've got this." Menutup matanya, seraya menetralkan napas, Ian kembali bersuara. "Next week ...."
Sementara itu, di kediaman Sonya, pagi-pagi sekali gadis itu terbangun, sedikit bergegas menuju kamar ibunya meski dengan memegang tiang infusnya.
"Mamah! Lepas infus, yuk! Aku udah sembuh!" Ibunya yang tengah tertidur tentu terperanjat bangun.
"Aduh, Sonya, kamu jangan capek-capek dulu!" tegur sang ibu, geleng-geleng kepala melihat anaknya yang sudah ada di samping badannya. Sonya naik ke kasur, lebih mendekati wanita itu. "Sonya, hati-hati infus kamu, tuh! Astaga, entar copot tiba-tiba, berdarah!"
"Makanya lepasin aja! Sonya udah sembuh total, kok! Sonya juga mau mandi, nih!" Gadis itu mengerucutkan bibirnya.
"Aduh, anak ini, masih pagi banget juga ...." Sonya menunjukkan puppy eyes yang membuat sang ibu seketika tak tega menolak. "Iya, Sayang, iya. Bentar Mamah panggil dokter, ya, buat lepas itu, sekalian cek keadaan kamu."
"Yeay!" pekik Sonya bahagia.
Sang ibu pasrah mengambil ponsel yang ada di atas lemari samping kepalanya, menelepon dokter, sementara Sonya menunggu wanita itu hingga selesai.
Setelah ibunya selesai menelepon, meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, Sonya kembali bersuara, "Mah, aku kapan homeschooling-nya? Aku harap cepet, ya, biar aku gak ketinggalan pelajaran."
"Rencananya minggu depan, sih. Tapi, kalau kamu sembuh ... bisa aja besok atau lusa, kan?"
"Yes! Yes!" Sonya memekik bahagia lagi, seraya menggerakan kedua tangannya yang mengepal naik turun. Sang ibu langsung menahan pergerakan tangan gadisnya itu.
"Eh, tangan kamu masih diinfus! Ih, ni anak ngeyel terus!" Ibunya berdecak, menggeleng pelan. Sonya hanya menyengir kuda.
"Peace, Mah!" Ia menampakkan tanda perdamaian di tangannya. "Omong-omong, guruku gimana, Mah?"
"Kakak kamu yang nyariin gurunya, terpercaya karena kata Kakak kamu emang kenal plus dia ... apa, ya, kemarin Kakak kamu bilang? Pembela kebenaran."
"Papa Zola, ya?" Ibunya mengerutkan kening. "Itu gurunya Boboiboy!" Ibunya hanya mengangguk sok paham. "Musuh kejahatan, kekasih kebenaran!"
Ibunya hanya menatap aneh lagak putrinya. "Iya, gitu ... kali."
Sonya hanya tertawa, begitupun sang ibu kemudian. Ia mengusap puncak kepala Sonya lembut.
"Jadi, jadi, jadi ... apa aku bakal diet juga, kan?"
"Ho'oh, pasti, dong!"
Tak lama kemudian pun, dokter datang, menyatakan gadis itu sudah baik-baik saja dan ia sudah diperbolehkan melepas infusnya. Kini, keduanya pun sarapan di rumah bersama dokter mereka itu.
"Dokter, jadi setelah ini aku boleh, kan, lakuin program diet, olahraga, dan lain-lain?" tanya Sonya antusias, menampakkan deretan giginya di tengah-tengah mereka makan.
"Untuk olahraga itu ... tunggu kamu bener-bener pulih. Tuh, liat, muka kamu masih agak putih dan bibir pecah-pecah, lusa mungkin udah bisa." Sonya merengutkan bibirnya sebal.
"Sonya, enggak usah buru-buru, Sayang."
"Iya, Mah." Sonya kembali menatap makanannya, namun ia kelihatan tak berselera memasukkan bubur oats itu ke mulutnya.
"Kadar kolesterol bubur oats itu rendah, dan termasuk sehat. Itu cocok untuk diet, lho. Makan teratur, oke?" pinta sang dokter, tersenyum ke arah Sonya.
Sonya yang awalnya tak mood, kemudian tersenyum. Ia kembali memakan sarapannya.
"Ah, sarapan saya udah selesai." Sang dokter berdiri dari duduknya, kemudian menatap mereka bergantian. "Terima kasih makanannya, ya, Bu! Saya permisi dulu!"
"Iya, Dokter! Terima kasih juga, ya!"
Sang dokter hanya mengangguk seraya tersenyum, sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan keduanya. Keduanya saling tatap kemudian dengan senyuman, dan lalu melahap makanan masing-masing.
Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991
KAMU SEDANG MEMBACA
KISS GONE WRONG [B.U. Series - I]
Romance21+ Satu kecupan yang mengubah segalanya. Sonya memiliki badan yang berbobot lebih, membuatnya sering menjadi bahan bully-an anak-anak nakal. Terlebih, ia begitu polos dan sangat mudah diakali, sampai-sampai percaya begitu saja jika ia mencium orang...