BAGIAN 2

434 27 6
                                    

Oktober, 2014.

Jam di pergelangan tangan kananku sudah melewati 43 menit dari waktu aku membalas pesan Bobby. Aku menyutujui usulan dia untuk menjemputku. Hal yang selalu dilakukannya sejak sebulan lalu.

Hari mulai gelap. Namun tak ada tanda-tanda Bobby akan datang untuk menjemput. Apa aku telat membalas pesannya? Apa dia sibuk karena aku terlambat membalas ajakannya?

Bodoh.
Seharusnya aku mengabarinya saat aku membaca pesannya tadi. Bukannya membiarkan dengan harapan dia selalu ada untukku. Ku akui, aku mulai egois dengan berpikir aku bisa memonopoli waktu yang dimikili Bobby. Tanpa berpikir, apakah dia sibuk? Ada acara? Atau bahkan tugas yang menumpuk?

Aku menunduk lesu. Ini memang salahku. Wajar saja Bobby tak juga datang hingga hampir 1 jam. Mungkin saja dia sibuk atau ketiduran. Aku mulai melangkahkan kakiku menuju halte terdekat. Lebih baik menunggu bus atau angkutan umum lainnya.

"Rani!" seru seseorang dari arah kananku. Itu Bobby. Senyumku terbit kala melihatnya disana, memperhatikan kiri-kanan untuk menyebrang menghampiriku.

"Sorry telat. Saya ketiduran." ujarnya. Benar saja. Dia ketiduran. Terlihat jelas dari wajahnya yang lesu. Apa dia datang  dengan tergesa-gesa hingga rambut yang biasanya rapi dengan belah samping itu kini berantakan? Aku sungguh merasa bersalah sekarang.

"Kamu nunggu lama, ya? Duh, maaf deh ya. Saya nggak maksud telat jemput begini. Padahal saya yang nawarin buat jemput kamu."

Sungguh. Aku merasa buruk saat melihat dia memohon seperti ini. "Kamu nggak salah, Bob. Kalo udah tidur, ya tidur aja. Aku nggak apa-apa, kok."

"Berapa lama kamu nunggu?" tanyanya tak menggubris perkataanku.

Dia selalu seperti ini. Sangat mengutamakanku daripada kepentingan yang lain. Lebih mengkhawatirkanku ketimbang dirinya sendiri. Hal yang membuatku berpikir bisa memonopoli hidupnya. Pernah satu hari, aku ingin pergi membeli buku. Dan demi memenuhi keinginanku untuk mengantar ke toko buku, pria di hadapanku ini rela meninggalkan tugas kampusnya yang katanya hanya melukis. Aku yakin tugasnya bukan 'hanya melukis'.

"Hampir satu jam. Tapi, serius Bob, nggak usah khawatir." aku memberinya senyuman tulus penuh pengertian kepadanya. Melihat dia yang merasa bersalah seperti ini sungguh membuatku merasa buruk.

"Sekali lagi, maaf ya." ucapnya. Aku kembali memberi senyum sebagai pengganti kata aku baik-baik saja. Dia tidak boleh berlebihan mengkhawatirkanku.

"Udah makan? Temenin saya makan, mau?"

Aku hanya mengangguk. Lagipula aku memang merindukannya. Pulang hanya akan membuatku galau karena merindukan dirinya. "Ayo." ajaknya.

----------

Desember, 2014.

Aku duduk di boncengan motor Bobby. Seperti biasa, aku memeluk tubuhnya yang wangi. Bukan disengaja, awalnya. Bobby sendirilah yang mengatakan bahwa, "Kalau nggak pegangan, saya takut kamu jatuh. Jatuh ke pelukan orang lain. Mending jatuh ke pelukan saya. Nyaman. Dijamin anget."

Jadilah sebuah kebiasaan. Lagipula tubuhnya memang hangat dan sangat nyaman. Aku suka memeluknya seperti ini.

Ini hari Minggu. Pagi-pagi sekali pria ini sudah nangkring di sofa ruang tamu rumahku dengan secangkir teh dan kue buatan ibuku. Aku menghampirinya. Katanya, ia akan mengajakku ke suatu tempat. Dia bahkan sudah meminta izin ibu dan ayahku dan juga kakakku, Romi.

Jadilah aku disini. Duduk diatas motornya dengan memeluk tubuhnya yang sangat membuatku nyaman. "Mau kemana sih, Bob?" tanyaku.

"Nanti juga kamu tau." begitu terus jawabannya.

CERITA TENTANG KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang