BAGIAN 5

222 11 0
                                    

Terhitung hampir 2 minggu kami perang dingin. Aku yang berusaha larut dengan kesibukanku dan Bobby yang juga tak berkabar. Aku menghela napas lelah.

Aku bisa. Bukan keinginanku untuk pergi. Tapi Bobby lah yang memintanya. Bobby yang menginginkan aku enyah dari hadapannya. Apa salah jika aku mengkhawatirkannya? Aku hanya tidak tega melihatnya tersiksa seperti itu. Aku mengomelinya karena aku ingin dia sehat selalu. Tapi mengapa dia bisa sampai seperti ini?

Aku menghapus air mataku yang tanpa ku sadari mengalir dari mataku. Ku pandangi cincin di jariku. Sangat indah. Tapi jika memang ini akhirnya... Tidak! Kami tidak akan berakhir seperti ini. Aku menghapus lagi air mata ini. Aku harus menemui Bobby.

Aku bergegas merapikan mejaku. Meraih tas kerjaku lalu pergi. Tujuanku hanya satu. Rumah Melukis.

.

Seseorang menepuk pundakku saat aku hendak mendorong pintu di depanku. "Cewek." katanya merayu seperti biasa. Dia Surya.

"Eh, Sur." kataku sedikit panik. Dia mengerutkan alisnya. "Kenapa lo?"

"Sur, Bobby kemana ya? Kok nomornya nggak aktif? Dia disini, kan?"

Surya menatapku dengan sedikit... sendu?

"Bisa ikut gue?" setelah mengatakan itu, Surya berbalik dan pergi. Seakan tak memberiku pilihan untuk menolak bahkan hanya untuk bertanya. Aku akhirnya memutuskan mengikutinya.

Kami tiba di gazebo samping rumah melukis. Biasanya gazebo ini digunakan para perokok untuk bersantai sambil ngopi dan mengobrol. Tapi kali ini gazebo sepi.

Surya menyuruhku untuk duduk dan menunggu. Setelahnya, dia datang lagi dengan dua kaleng Nescafe dingin di tangannya. "Minum dulu." tawarnya. Dan aku hanya menurutinya.

Kami terdiam. Aku masih menunggunya untuk bicara. Ku dengar Surya menghela napas beratnya. Seakan hal yang akan dia sampaikan ini adalah berita buruk.

"Udah hampir 2 minggu Bobby nggak kesini." katanya membuka percakapan. "Terakhir pas lo kesini di waktu itu. Pas lo pergi, dia pamit pulang. Dan sejak itu nggak pernah nongol." lanjutnya. Aku terdiam. Cukup terkejut dengan ucapan Surya. Bobby menghilang? Lagi?

"Nia." panggilnya. "Lo tau, nggak? Kalo Bobby sakit?"

----------

"Udah malem. Nggak pulang?" tanyaku saat melihat pria yang hampir 2 minggu ini tak kutemui tengah duduk di sebuah halte dekat rumahnya. Dia terkejut dan menoleh untuk melihatku. Aku tersenyum dan berjalan mendekat.

"Bobby sering nongkrong duduk-duduk di halte deket rumahnya dari jam 9 sampe ngantuk. Terus pulang deh." kata Surya.

"Rani? Kok kamu bisa disini?" tanyanya. "Nyari angin." balasku sekenanya.

"Udah jam 10, Ran. Nanti kamu dimarah sama Bang Romi."

Aku menggeleng. "Aku udah ijin Bang Romi, kok." Dia terdiam melihatku.

Ku raih kedua tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku minta maaf, ya, Sayang. Aku salah udah ngocehin kamu pas kamu lagi sakit." ucapku.

Bobby menegang. "Apa? Coba ulang."

"Ck. Aku minta maaf." ucapku kesal. Aku mengatakannya dengan 'mata menatap mata'. Tak mungkin dia tidak mendengar dengan jelas.

"Bukaaan." keluhnya. "Kamu barusan manggil saya, 'Sayang'?" Tanyanya meyakinkan.

Aku terdiam.

Ya.

Aku baru ingat. Selama 4 tahun menjalin hubungan dengan pria ini, aku tidak pernah sama selali memanggilnya 'sayang'. Dan aku merasa bersalah dengan hal itu. Aku sungguh perempuan yang jahat. Pria ini sungguh tulus.

CERITA TENTANG KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang