01

14.9K 249 9
                                    

Angin berhembus kencang menyapu jalanan pada sore itu. Aku berusaha untuk berjalan melawan angin. Begitu bodohnya aku, memakai dress merah yang tingginya hanya selutut. Disamping penampilan feminim itu, aku memakai sepatu converse hitam setinggi mata kaki. Tadinya aku hendak mempir ke toko swalayan, tetapi ketika aku menemui toko swalayan tersebut tutup untuk hari ini dan selama beberapa hari ke depan, aku berjalan kembali menuju apartemen ku. Aku berjalan menyusuri jalanan pinggir kota New York yang tenang. Tidak. Tidak seperti biasanya New York setenang ini. New York yang terkenal tidak pernah 'padam' keramaiannya, sore ini, tidak terlihat satu orang pun dijalanan. Hanya beberapa gelandangan di gang-gang yang tadi sempat terpaksa ku lewati, tapi mereka sibuk untuk mencari makanan sisa orang-orang kaya. Aku tahu mereka disana karena suatu alasan atau pilihan atau mereka memang sudah menyerah kepada hidup yang memang dikenal tidak adil dan tidak ramah. Tidak seperti ketika kita kecil, dan yang kita tahu hidup hanyalah sebatas kesenangan semata, itu ketika kita belum mengenal uang. Karena ketika kita beranjak dewasa, kita mulai beradaptasi dengan lingkungan, kita mulai mengenal uang. Mungkin saat kita masih kecil, kita tidak pernah memegang selembar kertas bergambar pahlawan yang telah gugur, dan tidak tahu apa arti uang itu.

Apartemenku masih berjarak 5 blok, maka masih jauh perjalanan ku melawan angin. Aku tidak tahu alasan mengapa New York bisa se sepi ini. Mungkin karena cuaca yang tidak begitu mendukung sehingga semua orang memutuskan untuk tinggal dirumah, dan membuat aku terlihat seperti orang bodoh? Aku tidak tahu dan tidak yakin. Atau mungkin ada ancaman seperti di film-film sci-fi dimana ada virus gagal produksi yang menular lewat udara dan sudah membunuh sekitar separuh penduduk dunia? Aku tidak tahu. Sungguh. 

Ketika aku sudah sampai di depan pintu masuk gedung apartemen ku, aku merasa lega. Tapi, entah kenapa, aku merasa seseorang mengikutiku sedari tadi. Mungkin itu adalah penguntit? Aku tidak tahu. Atau mungkin itu adalah seseorang yang mempunyai dendam dan ingin membunuhku, dan memutuskan untuk melampiaskan dendamnya itu sore ini? Aku tidak tahu. Yang aku inginka hanyalah masuk dan beristirahat. Sekarang juga.

Aku sudah ada di lantai lima gedung apartemenku. Aku berjalan menuju ruang apartemen  nomor 525 yang  terletak diujung lorong. Jauh sekali. Tapi ada satu hal yang paling aku sukai dari mendapatkan ruangan diujung lorong ; aku mendapatkan ruangan apartemen dengan pemandangan yang indah ; ruang tengah yang seluruh dindingnya terbuat dari kaca sehingga aku dapat melihat New York dari atas dengan jelas, meskipun itu memudahkan para laki-laki hidung belang yang tinggal di apartemen seberang, untuk melihatku yang tiap pagi kerap berolahraga diruang tengah sambil memakai sports bra dan celana training pendek ketat yang hanya menutupi pantatku. Aku sudah sampai di depan apartemenku, ruangan nomor 525. Aku memasukkan kunci dan memutarnya hingga terdengar suara 'klik' yang menandakan bahwa pintu sudah dapat dibuka. Aku membuka pintu, masuk, dan menutupnya kembali. Aku melepaskan sepatuku dan menaruhnya di rak sepatu yang terletak persis di sebelah kanan pintu masuk apartemen. Aku berjalan terhuyung menuju sofa yang ada di ruang tengah dan duduk. "Letih" pikirku.

Namaku Rebecca. Rebecca Hills. Orang biasa memanggilku Becca. Aku adalah mahasiswi di New York University, jurusan philosophy. Aku tidak mempunyai banyak teman, bukan karena aku ini dibenci. Atau mungkin aku pernah melakukan sesuatu memalukan yang dapat menjatuhkan harga diri, sehingga orang malu untuk berteman denganku. Tidak. Aku bukan scandal maker. Aku adalah orang yang sangat pemilih dalam memilih orang-orang yang diperbolehkan masuk ke dalam hidupku. Karena, ya kau tahu lah, tidak semua orang itu baik atau luarnya saja yang baik. Setidaknya begitu. Hanya lima orang yang  sangat dekat denganku hingga mereka mengetahui semua hal yang ada di hidupku, se detil apa-pun. Mereka adalah ; Mike Anderson, Jilly Hillbert, Mary MacReady, Andy Billington, dan Randy Adams. Mereka semua adalah teman sekelas di kelas philosophy. Kalian bisa membayangkan aku seperti ini ; rambutku lurus bergelombang sepanjang pinggang, rambutku berwarna cokelat (aku brunette), badanku ramping sekali, tinggiku hanya 168cm, dan wajahku mirip aktris Chloe Grace Moretz.

Satu hal yang kerap aku yakini selain kehadiran Tuhan dalam hidupku semenjak aku kelas tiga, cinta itu bodoh. Ya, cinta itu bodoh. Bukan karena tidak ada satu lelaki pun yang menginginkanku, setidaknya seperti itu, tapi aku tahu cinta itu akan berakhir sia-sia. Dan kita akan mati untuk dilupakan. Hal itu kuyakini karena, ibuku telah bercerai dengan ayahku. Dan satu hal yang ayah katakan padaku satu hari setelah perkawinan yang hancur seketika itu, "Ingat Rebecca sayang, tidak ada cinta di dunia ini. Tidak ada!" Ujarnya.

Dan terima kasih ayah, aku tidak pernah menangis karena cinta semenjak ayah mengatakan itu. Ketika semua temanku menangis karena cinta, aku masih dalam keadaan untouchable.

-----------------------------------------------------------------

Pagi yang cukup cerah, kota New York kembali ramai seperti biasanya. Matahari menyapa pagiku dengan hangat sinarnya. Aku beranjak dari kasur dan segera menuju kamar mandi untuk membasuh badanku. Setelah selesai, aku membalut separuh tubuhku dengan handuk dan keluar. Aku membuka lemari pakaian dan memilah-milah pakaian mana yang cocok untuk dipakai pagi hari ini. Mix & Match. Aku memilih untuk memakai rok hitam pendek dengan atasan berwarna putih yang lengannya hanya sebahu, dan tentu ketat. Aku mengenakan pakaian dalamku, dan langsung mengenakan pakaian yang telah kupilih sebelumnya. Aku berjalan menuju pintu kamar tidur dan keluar. lalu aku menuju dapur yang letaknya satu ruangan dengan ruang tengah. Aku memasak omelette resep ibuku. Setelah matang, aku menaruhnya diatas piring dan membawanya menuju sofa diruang tengah. Aku duduk dan menaruh piring ku di atas meja yang ada didepan sofa. Lalu, aku mengambil remote TV yang ada di sebelah piring, lalu memilih channel HBO. Saat itu, film yang diputar adalah film favoritku ; Eat, Pray, Love. Film ini dibintangi oleh Julia Robert dan Javier Bardem. Berkisah tentang Elizabeth (Julia Robert) yang memulai perjalanan pencarian jati diri yang dibagi menjadi tiga segmen seperi judulnya, Eat Pray Love. Elizabeth adalah penulis sukses yang sudah membangun rumah tangga selama lebih dari tiga tahun. Namun, seiringnya waktu berjalab, Elizabeth kerap merasa pernikahannya tidaklah bahagia, maka saat itu juga ia memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Perjalanan tersebut berlangsung selama satu tahun. Dimulai di Italia, dimana ia pergi untuk mencicipi segala macam kuliner di negara Menara Pisa tersebut selama empat bulan. Empat bulan selanjutnya ia habiskan di India, untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hingga akhirnya, ia sampai di Bali, Indonesia. Tujuan utamanya adalah bertemu dengan Ketut Liyer, yang pernah ia temua beberapa tahun yang lalu di Bali saat ia berlibur. Ia hendak meminta pendapat dan bantuan hidup kepada Ketut Liyer. Tapi, disana ia bertemu dengan lelaki yang dapat membuat ia percaya akan keberadaan cinta, lagi.

Aku mengambil piringku dan mulai memakan sedikit demi sedikit omelette itu. Aku mulai merasa keberadaan tokoh Elizabeth mirip denganku.

Sejak saat itu, aku ingin merasa dicintai.



A/N

Maaf banyak banget ;)
Heheheh

Oh ya jangan lupa vote dan comments ya!

Vote and comment for another chapter!

Xoxo.

Jatuh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang