02

5.8K 112 3
                                    

Aku membuka kedua mataku. Melihat cahaya matahari berhasil menembus kaca jendelaku. Aku beranjak dari tidur dan segera membasuh muka. Sebelum aku pergi untuk membasuk badan, aku melihat ke arah jam dinding yang ada dibelakangku. Pukul 07.50. "10 menit lagi," pikirku. Aku masuk kedalam kamar mandi dan mulai membasuh seluruh tubuhku.

Secepat mungkin aku mengenakan pakaianku. Aku memakai pakaian yang simple; kaos bergambarkan sebuah pipa dengan tulisan 'ini bukan pipa' (this is not a pipe) serta jeans ketat hitam panjang. Aku harus berangkat kuliah.

-----------------------------------------------------------------

Prof. Martin memasuki ruangan kelas kuliahku. Seperti para filsafat pada umumnya yang selalu mengatakan bahwa hidup tidak adil dan hal-hal pesimis lainnya, ia hanya mengenakan kaos putih polos dibalut jaket denim dan celana yang longgar dan tentunya panjang. Sepatunya sudah usang--bahkan ujung sepatu itu bolong-- tapi ia tetap gigih memakai sepatu itu dengan filosofinya mengenai sepatu, 'sepatu itu bagaikan gambaran bagaimana masing-masing orang yang memilikinya menjalani hidup. Saat kau membeli sepatu baru, kau bahkan tidak mau melepaskannya. Tapi ketika sepatu baru yang kau damba-dambakan itu usang dan rusak, kau akan kembali membeli yang baru, dan akan mengenakannya sama seperti pertama kali kau membeli sepatu usang yang telah kau buang.'

Prof. Martin mengawali kelas dengan memberi tugas proyek yang mewajibkan kami untuk mencari, bertanya, melakukan riset tentang apa yang kami percayai telah hilang, tapi sebenarnya tidak. Dan bagiku itu sudah cukup jelas tentang apa yang akan kucari, satu hal yang langsung muncul di pikiran begitu mendengar Prof. Martin membacakan rincian tugas proyek tersebut. "Cinta." bisikku pelan sambil tersenyum mencatat semua rinci demi rinci yang disebutkan Prof. Martin.

Seusai kelas, aku menyempatkan pergi ke toko buku yang ada di seberang universitas ku. Aku mencari buku sastra yang menarik untuk dibaca. Memilih beberapa, membayar, dan keluar. Aku berjalan kembali ke arah apartemenku, ke utara. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membeli secangkir kopi dan membaca buku yang kubeli tadi. Aku melihat ke sekeliling ruangan dan akhirnya menemukan tempat duduk. Aku duduk dan mengeluarkan buku yang tadi kubeli. Kubuka plastik pembungkus buku itu lalu ku taruh sembarangan di atas meja. Sebelum aku membuka halaman pertama, aku meneguk kopiku terlebih dahulu dan bernafas lega. Aku membuka halaman pertama dan mulai membaca.

Lima puluh halaman sudah kubaca, hingga akhirnya berhenti karena seorang lelaki datang menghampiriku dan bertanya mengenai kursi yang ada didepanku--apakah ada yang menempati atau tidak-- aku bergeleng menandakan bahwa kursi itu bebas untuk ditempati oleh siapapun yang ingin. Ia duduk dan menaruh gelasnya diatas meja. Ia pun angkat bicara. "Aku perhatikan dari tadi, kau adalah satu-satunya orang di ruangan ini yang peduli akan sastra yang hampir hilang di negeri para bedebah ini." ujarnya seraya berusaha untuk membuat suatu koneksi denganku. "Ya. Aku terlalu peduli tentang sastra di negeri para bedebah ini." ujarku mengulang kalimat yang ia lontarkan. Ia tertawa kecil sambil bergeleng seakan tidak percaya. Ia kembali angkat bicara, "Aku Ben, seorang jurnalis di New York Times. Kau bisa katakan bahwa pertemuan tak terduga ini akan mengarah kepada pembicaraan dua orang yang sayang sastra." ujarnya yakin sambil menjabat tanganku. "Terima kasih telah memperkenalkan diri, jurnalis-koran-terkenal-yang-sayang-dan-peduli-sastra. Aku Rebecca." ujarku memperkenalkan diri secara sarkastik. Ia tertawa geli, dan menyeruput nikmat kopi--tidak bisa dibilang kopi pada dasarnya, karena ia menambahkan es-- dari cangkirnya. "Jadi beri tahu aku lebih dalam tentang dirimu, jurnalis-koran-terkenal-yang-sayang-dan-peduli-sastra." ujarku. Ia mengangguk tanda setuju.

Ben bercerita panjang tentang dirinya, dimana dulu ia adalah anak nakal yang sama sekali tidak peduli dengan sastra di negeri para bedebah ini--ia terus menyebut negeri ini sebagai 'negeri para bedebah', entah mengapa--hingga akhirnya ia merasakan betapa orang lain tidak akan menghargai pemuda nakal yang tidak tahu diri. Ia pun pergi merantau dari Washington D.C. ke Los Angeles lalu ia pergi ke Chicago--untuk sekedar menonton pertandingan dua jam Chicago Bulls, tim basket favoritnya-- hingga akhirnya berakhir di New York, a place where dreams are made to come true. Dan ia memulai untuk tertarik dengan hal-hal membosankan di bidang jurnalistik dan sastra.

"Aku tidak pernah menyangka aku akan berakhir seperti ini. Dan oh ya, aku tidak pernah berpamitan kepada kedua orang tuaku. Aku hanya berbohong kepada mereka bahwa aku akan pergi kerja kelompok di kediaman teman, tapi aku malah menghilang bertahun-tahun. Dan kabarnya, mereka sudah menganggapku meninggal karena kelaparan di tengah hutan tanpa uang sepeser pun." Ujarnya mengakhiri kisah hidupnya yang penuh kebodohan dan ceroboh yang berujung pada kesuksesan besar. "Jadi, Rebecca, ceritakan padaku, apa yang tengah kau lakukan di negeri para bedebah ini." Tanya nya. "Aku sedang kuliah S2 bidang filosofi. Sungguh menyenangkan. Dan kini aku sedang di tengah-tengah tugas proyek yang, jujur saja, sangat sulit untuk dilakukan." jawabku. "Apa itu?" tanggapnya. "Mencari 'cinta'." ujarku. "Cinta? Kau tengah menjalani kehidupan kuliahmu yang berat ini dan demi mendapatkan gelar dan nilai, kau harus mencari cinta? Konyol sekali." ujarnya. Aku menjelaskan inti dari proyek ini yang berarti mencari sesuatu yang dipercayai telah hilang, tetapi nyatanya belum.

Ia pun dengan tekad setinggi-tingginya berkata, "Akan ku bantu dirimu untuk mencari cinta." ujarnya yakin.

Seketika, hati terasa lega mendengar perkataannya.

"Yakin?" tanyaku.

"Tentu." jawabnya.

"Kau tahu mengapa aku membantumu? Karena aku juga tengah mencari cinta." imbuhnya sambil tersenyum manis.

Ia menatap mataku, aku juga menatap matanya. Mata kami bertemu. Dan kami hanya tersenyum sembari saling menatapi mata masing-masing individu.

Dan aku ingat pada siang itu, kami yang sebelumnya hanyalah dua orang yang peduli sastra di negeri para bedebah ini, berakhir dengan aku--atau dia juga merasakannya atau mungkin bahkan tidak sama sekali, aku bukan orang yang bisa menerawang pikiran orang--merasakan hal yang telah lama aku yakini bahwa hal itu telah hilang, namun aku telah menemukannya kembali, di dalam mata jurnalis-koran-terkenal-yang-sayang-dan-peduli-sastra.

"Aku jatuh cinta." Ujarku dalam hati.

-----------------------------------------------------------------

YUP THAT'S FOR CHAPTER TWO! WOOHOO! FINALLY!

Maaf banget ya, agak lama update. Oh ya, jangan lupa vote dan comment yawz.

Cinta, masa lalu, dan sayang,
Farah.

Jatuh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang