04

1.9K 56 1
                                    

ASTAGANAGA!

"Kau?!" Ujar aku dan Ben serentak. Sedang apa Ben disini? "Kalian sudah saling kenal? Wow!" Ujar Jilly membuyarkan lamunanku. Jilly tampah tak percaya dengan wajahnya yang menunjukkan seribu satu kecurigaan. "Uhm... Kita... Kita memang sudah saling ke-kenal." Ujarku. Sebenarnya aku ingin berbohong, aku tak ingin sahabatku berpikiran negatif tentangku. "Sudah berapa lama kalian saling kenal?" Ujar Jilly sambil mengerutkan dahi dan menyilangkan kedua lengannya. Situasi ini membuatku tidak bisa berpikir, bahkan untuk menjawab pertanyaan yang sudah kuketahui jawabannya pun aku tidak bisa. "Empat hari, Jilly. Empat hari," jawab Ben sembari melirikku memberi isyarat, 'I got this'

Kami bertiga duduk di ruang makan. Meja makan berbentuk bundar itu telah dipenuhi oleh berbagai hidangan. Kami bertiga duduk melingkar; aku berada tepat didepan Ben. Kami bertiga hanya berdiam diri. Tak satupun dari kami berbicara, bahkan untuk mengincip makanannya pun tidak. Aku kerap menundukkan kepalaku, aku merasa bersalah. Sesekali kutengok sebelah kananku, tampak Jilly sedang duduk sambil melipat tangannya. Wajahnya merah padam, tatapannya tajam, dan ia marah. Ia terus-menerus menatap Ben. Ia menatap Ben seakan Ben telah melakukan kesalahan untuk kesekian kalinya. Ganti aku tengok Ben. Sepertinya aku tahu mengapa Jilly menatap Ben seperti itu; Ben sedang melihatku sambil tersenyum seakan bahagia melihat kedatanganku. Oh, Tuhan!

"Ben!" Teriak Jilly mengagetkan Ben. "Apa Jilly?"

"Sudah berapa kali? Berapa kali, Ben?!" Teriak Jilly sembari berdiri dan menghampiri Ben yang juga ikut berdiri.

"Jilly, ini tidak seperti yang kau pikirkan! Sungguh!" Jawab Ben.

"Beri aku satu alasan, Ben. Beri aku alasan mengapa aku harus percaya," tanya Jilly. Suaranya merendah, tanda ia tidak ingin berdebat.

"Jilly, aku kekasihmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu," jawab Ben memohon.

"Omong kosong!"

"Baiklah! Aku sudah muak! Aku jatuh cinta, Jilly! Jatuh cinta! Bukan kepada kau, tapi Becca!" Sentak Ben sembari menunjuk berulang kali kearahku. Jilly mengalihkan pandangan, kini ia memandangku. Aku bisa melihat kejijikan, kebencian, dan segala macam hal yang buruk dimata Jilly. Aku akan kehilangan satu sahabat, pikirku.
----------------------------------------------
Jilly memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Aku sudah meminta untuk diantarkan pulang juga, namun sepertinya Jilly sudah terlewat marah hingga ia hanya menggelengkan kepala dan pergi begitu saja. Kini aku berada di beranda rumah Ben, ditinggalkan sendirian dengan seorang pria yang mematahkan hatiku. Tiba-tiba suara hentakkan kaki berjalan kearahku dari belakang. Aku merasakan seseorang menepuk pundak kananku, aku hanya diam. "Aku tahu, aku tahu." Ujar seseorang di belakang punggungku. Aku menoleh ke arah kananku, Ben berdiri disana. Aku melihat kearah matanya, kulihat betapa tulusnya kata-kata tadi. Namun, aku kehilangan sahabatku, kini aku sudah tidak bisa melunak. "Tahu apa?! Kau tidak tahu apa-apa!" Bentakku seraya menyingkirkan tangannya dari pundak kananku yang sedari tadi ada disitu. Tiba-tiba kedua tangan Ben memegang leherku, menarikku untuk mendekat. Semakin dekat hingga akhirnya ujung hidung kami bersentuhan.

Detak jantung mulai tidak karuan, waktu terasa seperti membeku, rasanya seluruh alam semesta berhenti untuk sejenak dan hanya aku dan Ben yang bernafas dan bergerak. Ben menutup matanya, dan aku masih di posisi yang sama; didekapan Ben. Ia menghela nafas, "aku minta maaf. Aku sudah memutuskan hubunganku dengan Jilly, persis ketika Jilly bersiap-siap untuk pulang. Aku cinta padamu, Rebecca si penyayang sastra," ujarnya. Aku tertawa kecil sambil menjauhkan wajahku dari wajahnya. Ia membuka mata, tangannya masih menggenggam erat leherku. Aku tersenyum, "aku juga mencintaimu, jurnalis-koran-terkenal-yang-peduli-dan-sayang-sastra," ujarku. Maka, malam itu, apa yang seharusnya terjadi, terjadilah. Detak jantung ini kembali teratur, tak ada chaos dalam program detaknya. Waktu kembali berjalan, enam puluh detik satu jam, dua puluh empat jam satu hari dan seterusnya. Alam semesta kembali berputar.

Dan, aku kembali menemukan sesuatu yang telah hilang. Terima kasih, jurnalis-koran-terkenal-yang-peduli-dan-sayang-sastra.

----------------------------------------------
That's another chapter for this story!
Comment and vote below for another chapter!

Sincerely,
Farah.

Jatuh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang