05

1.9K 47 0
                                    

[P.S. : kalau bisa sambil dengerin Sugar by Maroon 5. Lebih cocok dengan suasananya. ]

Kuhabiskan beberapa minggu terakhir dengan diriku sendiri. Tidak dengan Ben. Entah mengapa, ia kerap memberi beberapa alasan mengenai pekerjaannya. Beberapa hari yang lalu, ia berkata bahwa ia ditugaskan untuk meliput Presiden Barack Obama mengenai UU Kesehatan yang baru dirancang. Setidaknya ia jujur. Well, semua pasangan pasti berusaha meyakinkan diri mereka sendiri bahwa pasangan mereka jujur dalam menjalani hubungan tersebut. Tetapi, aku tidak merasa sedih. Semua masih terasa indah. Masih.

Aku berjalan di Times Square yang ramai, seperti biasa. Siang hari yang panas. Aku berjalan menyusuri toko-toko brand terkenal. Tentu saja aku tidak mampu untuk membelinya. Aku terus berjalan. Melewati beberapa tempat yang berbeda. Banyak orang dengan etnik dan ras yang berbeda. Mereka berbaur di satu tempat yang sama, dalam salah satu momen dari seribu momen yang lainnya. Setelah berjalan lebih dari tiga blok, aku memutuskan untuk duduk sebentar. Aku berhenti di suatu taman, aku menemukan tempat duduk yang pas. Aku duduk di jantung taman ini. Semuanya rindang, hijau. Sebuah ide cemerlang mengenai konservasi lingkungan ditengah-tengah reformasi kerusakan lingkungan yang meng-global; bangun sebuah hutan kecil ditengah kota berpolusi.

Ketika aku sibuk memikirkan betapa cemerlangnya ide membangun taman ini, sepasang kekasih duduk didepanku. Tepat didepanku. Mereka adalah sepasang kekasih seperti biasanya. Aku mengalihkan seluruh pandanganku dan berpaling pada pasangan tersebut. Satu hal yang membuatku berpikir bahwa sepasang kekasih ini spesial; keyakinan mereka berbeda. Aku bisa melihat hal tersebut dari bagaimana pihak perempuan menggunakan sebuah penutup kepala yang kuyakini disebut, hijab. Dan pada pihak lelaki, ia menggunakan sebuah kalung berbentuk salib berwarna silver. Bayangkan, betapa besar kasih mereka. Dua hal yang berbeda, dua dunia yang berbeda, dua nabi yang berbeda, dua kepercayaan yang berbeda. Dan mereka bertemu di suatu titik diantara dua dunia itu, sebuah klimaks, sempat menggegerkan kedua pihak. Tetap saja, seseorang harus mulai bergerak untuk membuat perubahan.

Aku teringat akan bagaimana hubungan ku bersama Ben berlangsung sangat cepat. Aku merasa agaknya bersalah, tetapi di satu sisi yang lain, aku bahagia. Aku rindu Ben, aku rindu caranya menghelai rambutku, aku rindu rasa dari bibirnya di bibirku, aku rindu dekapannya. Aku merasa 'mati' saat jauh darinya. Aku butuh setidaknya sedikit rasa 'manis' dihidupku yang pahit dan pesimis ini. Oh ayolah, aku ini seorang calon filsafat, pesimis adalah salah satu hal yang harus dimiliki dalam hidupku.

Aku berjalan menuju apartemenku. Aku merasa seseorang mengikutiku sedari tadi. Sama seperti waktu itu, New York yang tenang, diikuti oleh seorang penguntit. Mimpi buruk. Aku tetap berjalan sembari mengeratkan mantelku. Semua terasa pas dan benar. Namun masih merasa tidak nyaman dengan keberadaan orang yang ada dibelakangku. Aku mencoba untuk berpura-pura melihat sekeliling sambil mencuri pandang kepada lelaki berjas hitam dibelakangku, yang ternyata berjarak beberapa langkah dariku. Aku mempercepat langkahku. Aku bisa melihat pintu lobby apartemenku yang berjarak lima belas meter dari tempatku berdiri sekarang. Aku tetap melangkah. Semakin cepat, semakin aku percaya bahwa lelaki berjas hitam tadi kehabisan tenaga. Akhirnya aku sampai didepan pintu masuk lobby apartemen. Aku hendak membuka pintu masuk, tetapi sesuatu menghentikanku. Dari kaca pintu masuk, terpantul sepasang mata berwarna biru laut yang indah. Lelaki berjas hitam berada tepat dibelakangku. Matanya sayu, tapi indah. Ia melihatku, ia menunggu responku. Aku membalikkan badan, melepaskan genggamanku pada pegangan pintu masuk. Tampak ia sedikit senang. "Ada yang bisa aku bantu?" Tanyaku. "Bolehkah aku meminta segelas air?" Tanyanya. Matanya menatapku sedari tadi. Pandangannya terfokus hanya pada satu objek, mataku. Aku berusaha untuk mengalihkan pandanganku dari pandangannya. Ia kerap mengejar. Aku mengangguk tanda setuju. Aku kembali membuka pintu masuk lobby dan aku bisa merasakan pria berjas hitam turut hadir.

Aku menekan tombol lift. Menunggu lift tersebut datang. Selagi menunggu, aku berusaha untuk memulai sebuah percakapan dengan pria berjas hitam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku kerap menundukkan kepalaku. Aku memutuskan untuk mencuri pandang untuk melihat pria berjas hitam ini. Lagi, pandangannya hanya terfokus pada satu objek, aku. Aku mengalihkan pandanganku lagi. Kami hening selama beberapa saat, hingga akhirnya pintu lift terbuka.

Aku menutup pintu dan mempersilahkan ia duduk di dekat jendela. Aku berjalan menuju dapur dan menuangkan air dari botol ke gelas kaca. Aku melangkah menuju pria berjas hitam. Ia tampak letih. Ia menatap keluar jendela. Pandangannya kosong, apapun yang terpantul dimatanya hanya tipuan semata, ia tidak peduli. Terasa agak konyol, bagaimana aku bisa mendeskripsikan pria berjas hitam ini begitu detil. Aku duduk di depan pria berjas hitam itu dan memberinya gelas berisi air yang tadi kusiapkan untuknya. Ia meraih gelas itu dan memimikkan kata, "Terima kasih," aku mengangguk dan berkata pelan, "Sama-sama,".

Aku menghabiskan sisa malamku bersama pria berjas hitam itu. Kita berbicara tentang banyak hal. Banyak sekali hal. Satu yang belum kuketahui, namanya. Ketika aku menanyakan siapa namanya, ia hanya mengangguk dan tersenyum.

Tetapi hingga saat ini, aku masih mengagumi keindahan mata pria berjas hitam itu. Warnanya biru laut, indah. Mungkin tenggelam di dalam pandangannya adalah suatu hal yang menyenangkan. Dalam, hitam, gelap.

----------------------------------------------

Semakin dekat pertemananku dengan pria berjas hitam, maka semakin jauh hubunganku dengan Ben. Ben lebih peduli dengan pekerjaannya saat ini. Ia kerap berkencan dengan pekerjaannya daripada aku.

Hari ini pria berjas hitam itu mengajakku berkunjung ke pantai. Tentu bukan di New York, di Los Angeles. Hanya saja ada sesuatu tentang dirinya yang menguji adrenalin. Aneh.

Jatuh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang