12. Parkiran Motor

27 3 0
                                    

"Abang-none sekalian pada gak laper?" tanya Leo, "Cabut cari makan, kuy."

"Makan di mana?" tanya Hana.

"Jangan jauh-jauh, oi. Lagi panas-panasnya kayak neraka bocor alus ini," kata Yudi.

"Jangan lama-lama. Gue sama Hana mau kelas Perpolitikan Energi dan Sumber Daya jam empat," tambah Kevin.

"Jam berapa sekarang?" Lintang bertanya retoris, mengecek jam digital yang tertera di ponselnya, "Jam dua seperempat. Keburu, ah."

"Jangan makan yang mahal-mahal, ih. Lagi bokek banget," tambah Juwita.

"Samaaaaa!" sahut Juwita, berpegangan tangan dengan Juwita untuk saling menguatkan.

"Kalo gak ada duit, lo berdua gak usah pesen apa-apa. Nontonin kita makan aja," usul Lintang asal.

"Mana bisa gue kenyang kalo gitu??" protes Juwita.

"Kalian awal bulan, kok, udah balik jadi rakyat misqueen?" tanya Leo, "Kuliah belum ada seminggu, loh?"

"Abis checkout semua shopping cart gue di olshop ini sama itu," jawab Yudi, diamini anggukan Juwita yang bernasib sama, "Merem-merem udah ilang separo aja saldo gue."

Kevin geleng-geleng prihatin. "Astaga... Ckckckckck."

"Hidup gue mahal di martabak, thai tea, sama ongkir," keluh Juwita, "Demi koleksi parfum sama liptint."

"Hidup gue mahal di skincare sama P.O. novel baru," keluh Yudi.

Meski Hana tidak maniak belanja seperti Yudi dan Juwita, Hana bisa mengerti bahwa makanan enak dan produk kecantikan beraneka rupa merupakan dua dari sekian banyak godaan berat bagi kaum hawa generasi mereka. Hanya Hana yang bersimpati karena Kevin, Lintang, dan Leo tidak mengerti dan tidak tergugah sama sekali.

"Kalian jatuh miskin sendiri aja. Jangan bikin orang lain ikut susah," Lintang mulai mengomel, "Masa makan di Kafetaria lagi? Ke WarTek lagi? Gak mau, ah. Boseeen."

Sudah lebih dari setengah hari, tapi ternyata mereka semua belum makan siang betulan selain mencomot sedikit camilan sana-sini. Karena Lintang bilang ia bosan makan di situ-situ saja, Leo mengusulkan untuk makan siang di Depot Sambel Pak Dodik yang terletak tepat di belakang kampus. Selain murah dan dekat kampus, depot itu sering kosong saat jam-jam kuliah karena biasanya baru ramai saat malam. Hana, Yudi, Kevin, Lintang, dan Juwita pun setuju.

Maklum, mental anak kost. Sukanya yang murah dan dekat. Sayang bensin. Harus berhemat dan malas pergi jauh-jauh juga. Jika ada opsi termudah, kenapa harus bersusah-susah?

Kebetulan sekali mereka genap berenam, dengan tiga di antaranya membawa motor ke kampus, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mendistribusikan pembagian tumpangan menuju depot. Setelah beres-beres dan saling memastikan bahwa tidak ada yang dompetnya ketinggalan (agar tidak mengulang kelalaian Kevin yang harus berhutang ke Lintang kemarin), mereka langsung menuju parkiran fakultas.

Maklum. Urusan utang-piutang bisa membuat persahabatan paling erat sekalipun menjadi renggang, retak, bahkan hancur tak bersisa. Lagipula, tidak ada ruginya saling mengingatkan demi kemaslahatan bersama. Lebih baik mencegah sejak dini daripada mengobati di ambang mati.

Berenam dan beriringan menyeberang trotoar, mereka sudah seperti rombongan ludruk yang riuh dan gaduh. Dari jauh, mereka terlihat seperti barisan kating yang siap melabrak adik tingkat tak berdosa. Padahal, wajah mereka tampak serius bukan karena amarah, tapi karena ingin segera memadamkan lapar dan dahaga.

"Tuh, itu, motor gue! Parkir di deket pohon!" seru Lintang dari seberang trotoar, menunjuk ke satu titik parkiran yang jauh.

Yudi melihat ke sekeliling, lalu disambut deretan pohon yang mengelilingi parkiran motor setiap lima meter sekali. Melihat setidaknya tiga puluh pohon berdiri tegak dan rapi, Yudi seketika emosi. Kesal, gadis berambut pendek itu berkacak pinggang dan menuding pohon-pohon di sekitar mereka.

Sekotak Kaus Kaki SelundupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang