13. Depot Sambel Pak Dodik

72 4 1
                                    



Tak sampai lima menit, rombongan ludruk sampai di Depot Sambel Pak Dodik dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Sesuai informasi intelijen dari Leo, suasana depot sedang lengang sehingga mereka tidak perlu mengantri. Hana, Yudi, dan Juwita pun turun duluan mencari tempat duduk paling nyaman. Sementara Kevin, Lintang, dan Leo mencari tempat parkir paling strategis.

"Ayo, cepetaaaan. Keburu kelas gueee sama Hanaaa."

Juwita melambai-lambaikan kertas yang disediakan untuk mencatat pesanan di tangannya, memburu teman-temannya agar cepat memilih menu untuk dipesan. Hana, Lintang, dan Kevin kini sibuk mengerubungi daftar menu. Juwita menuruti rekomendasi Leo untuk memesan ayam bumbu bawang, sementara Yudi menambatkan hatinya pada lele goreng. Hana sigap mencatat semua pesanan, lalu menyerahkannya ke pelayan depot. Yang lain bergantian mencuci tangan, karena sejatinya makan sambal paling nikmat ialah dengan tangan.

Tak sengaja melihat ke arah pelataran depot, Yudi berdecak. "Njir. Itu barusan ada yang dateng tapi parkirnya melintang. Itu motor kita gimana keluarnya?"

"Ya udah, sih. Ntar gue yang minta tolong ke kang parkirnya," kata Juwita percaya diri.

"Yakin kang parkirnya bakal ngewaro?" tanya Lintang skeptis.

Juwita berdeham, lalu sedikit melengkingkan suaranya, "Menurut lo, apa gunanya gue cakep, Lis?"

Hana, Yudi, Lintang, dan Leo kompak bertepuk tangan ribut dan berseru heboh, "Woeeeee........."

Kevin terkekeh. "Lo nyinyir amat sama Jenna, Ju."

"Gue gak nyinyir, anjir," Juwita membela diri, "Kagum, malah, gue. Keren aja, si Jenna bisa pede ngomong begitu."

"Dan gak salah, sih," Yudita mengangguk setuju, "She's drop dead gorgeous."

"Ini Jenna yang tadi, kan? Jenna Syafira yang selebgram?" tanya Leo, "Emang Kak Jenna suka sombong kalo dia cantik?"

"Gak, kok. Dia gak pernah nyombongin mukanya. Gak kayak temen angkatan lu yang ono, tuh, Le. Yang followernya baru lima ribu tapi tingkahnya udah ngalahin kontroversi artis papan atas ibukota," sindir Lintang, tajam nan pedas.

Leo mendengkus. "Jangan dibahas. Tu cewek ngeselin parah."

Hana merasa hari ini ia sudah cukup banyak menimbun dosa dengan menunda-nunda revisi Bab I skripsi, menggunjingkan orang, hingga berbohong demi menghindari Jibril. Belum lagi, beberapa kali percobaan menyelundupkan kotak kado ke ransel Ian yang tak kunjung berhasil dengan sisa waktu yang semakin sedikit. Matahari bahkan belum menunjukkan tanda-tanda bergerak ke peraduan, tapi Hana sudah kehabisan tenaga lahir dan tenaga batin untuk melanjutkan hidup. Karenanya, Hana memilih diam mengunyah kerupuk udang sambil memeluk toples kerupuknya agar tidak dimonopoli Yudi dan Kevin.

Gue masih bingung. Tadi Kak Ian ngajak Kevin ketemu di Common Room, tapi gak jadi. Keburu gue kelas, kapan lagi ketemunya—

"Hana, my baby boo bala-bala bim bim. Tolong kerupuknya jangan dikekep sendiri. Kita di sini juga butuh asupan kerupuk."

"Jangan kebanyakan melamun, Kak Hana. Kesambet, ntar."

Hana tidak lanjut melamun karena Pak Dodik keburu datang smembawa pesanan mereka. Meja kini dipenuhi ayam, usus, jeroan, lele, lalapan, tahu bakso, tempe goreng kering, hingga sambel pencit alias sambal mangga muda yang menjadi andalan Depok Pak Dodit. Sepuluh menit lagi, jarum jam di dinding depot akan tepat berada di pukul tiga. Itu berarti, jadwal kelas Hana dan Juwita bergulir semakin dekat. Tanpa perlu dikomando, Juwita komat-kamit merapalkan doa secepat kilat lalu duluan melahap nasinya. Hana juga segera membuat tanda salib dan berdoa sebelum mulai makan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 11, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sekotak Kaus Kaki SelundupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang