09. Dekanat

29 3 0
                                    



Tak lama setelah Bu Bianca menelepon, Regina kembali ke tempatnya di meja resepsionis. Yudi menyampaikan pesan Bu Bianca tadi (tanpa menyebutkan insiden telepon, tentunya), ditimpali Kevin yang meminta izin pada Regina untuk masuk ke Kubikel Dosen. Setelah mengambil dokumen titipan Bu Bianca, ketiganya pamit meninggalkan Kantor Departemen.

Ketiganya bergegas menuju lantai satu. Berbeda dengan Kantor Departemen yang kosong melompong, Dekanat diisi beberapa orang sehingga tidak sepi-sepi amat. Mereka segera disambut dua orang resepsionis yang siaga di depan Kantor Dekan.

"Masuk aja, Mbak, Mas. Pak Sumandranya lagi keluar bentar. Ditunggu aja. Ini, dibawa aja."

Hana, Yudi, dan Kevin tak hanya dipersilahkan masuk. Resepsionis dekanat membekali mereka sepiring besar jajanan pasar dan beberapa air mineral gelas selagi menunggu. Menurut Kevin, bisa jadi ada pegawai fakultas yang baru hajatan atau syukuran. Yudi tak mau ambil pusing dan membuka bungkusan lemper tanpa ba-bi-bu. Hana mengambil segelas air mineral untuk meredakan hausnya.

Tak butuh waktu lama bagi mereka menunggu karena Pak Sumandra segera muncul bersama asistennya. Hana, Yudi, dan Kevin pun kompak berdiri begitu mendengar pintu kantor dekanat dibuka. Yudi sampai gelagapan mengunyah sisa lemper yang masih ada di mulutnya. Hana nyaris tersedak ludahnya sendiri karena menahan tawa melihat tingkah Yudi.

"Siang, Mas, Mbak," sapa Pak Sumandra ramah, "Rame-rame tapi diem-diem aja, nih. Ngopi, ngopi?"

"Sudah, Pak, tadi. Gak usah repot-repot, hehe," tolak Yudi halus.

"Ada apa, nih, cari saya?"

Kevin maju duluan, menyodorkan map di tangannya ke arah Pak Sumandra. "Ini, Pak. Ada titipan dari Bu Bianca untuk diserahkan ke Bapak."

Merogoh kantong, Pak Sumandra mengambil kacamata agar ia bisa membaca isi map dengan jelas. "Oh, ini yang saya minta ke Bu Bianca tadi pagi."

Pak Sumandra menyerahkan map itu ke asistennya. Hana, Yudi, dan Kevin hanya bisa berdiri canggung sambil saling menunggu siapa yang berinisiatif untuk pamit.

"Kami mau—"

"Mumpung kalian ada di sini, saya boleh minta tolong sekalian? Ada yang mau saya berikan ke Mbak Gisel. Tapi tunggu dulu sebentar, diprintkan asisten saya dulu. Gak papa?"

Karena yang meminta tolong dekan fakultas mereka sendiri, mana bisa mereka menolak? Ketiganya kembali menempelkan pantat masing-masing ke sofa kantor Pak Sumandra selagi menunggu asisten tadi mencetak dokumen di pojok ruangan. Pak Sumandra kini bahkan duduk di seberang mereka.

"Pak Sumandra sudah sehat, Pak?" tanya Kevin basa-basi. Seisi fakultas tahu bahwa minggu lalu Pak Sumandra sempat sakit dan tidak masuk dua hari.

"Lumayan, Mas Kevin. Kemarin itu gula darah saya yang anu."

"Oh... Gitu..." Kevin manggut-manggut, pura-pura mengerti meski penjelasan Pak Sumandra tidak sepenuhnya jelas.

Sedetik, dua detik, tiga detik, sembilan detik, tiga belas detik, dan dua puluh tiga detik. Hanya terdengar sayup-sayup derit mesin dan lembaran kertas dibolak-balik. Pak Sumandra dan ketiga mahasiswanya terdiam membisu seperti patung batu. Asistennya sibuk sendiri bergelut dengan mesin cetak.

Pak Sumandra baru sadar ada sepiring jajanan pasar di meja tamu. Hana, Yudi, dan Kevin hanya bisa menatap lemper, pastel, nagasari, kue lumpur, sus, dan pisang di piring itu tanpa daya. Ketiganya bertukar pandangan tahu sama tahu. Kalau tidak diambil, makanannya menganggur. Hendak diambil, sungkan pada Pak Sumandra yang punya kantor. Takut dianggap tidak sopan karena lebih memilih makan daripada memperhatikan dekan, tapi Pak Sumandra tak kunjung mengajak mereka mengobrol.

Sekotak Kaus Kaki SelundupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang