05. Kafetaria

48 4 1
                                    


Haruskah Hana memberikan kotak berisi kaus kaki itu langsung ke Ian sendiri? Haruskah Hana bilang bahwa kaus kaki itu diberikan oleh orang lain dan ia hanya meneruskannya pada Ian? Haruskah Hana menyelundupkan kotak itu ke ransel Ian ketika Ian pergi dan tidak ada yang melihat? Haruskah Hana menunggu atau melakukannya sekarang, di sini?

Menyelundupkan sekotak kaus kaki ke ransel Ian masih menjadi opsi yang—sepertinya, kurang lebih, bisa jadi—paling aman. Ketika Ian terdistraksi, itulah kesempatan Hana untuk melancarkan misinya.

"Lo mikirin apa, sih, Sis? Keknya dari tadi ngelamun mulu?"

"Nggak, kok. Kayaknya gue lagi laper aja," jawab Hana asal.

Orang-orang mungkin berasumsi bahwa hanya sesama perempuan yang memanggil satu sama lain dengan sapaan Sis, tapi Jonah jelas mematahkan asumsi itu. Ia bersikeras memanggil teman-teman perempuannya Sis—agar lebih singkat, mudah, dan akrab—dan bahkan ia pernah sekali memanggil Jibril dengan sapaan Sis juga. Sudah seperti genderless greeting di kamus Jonah. Ia memang eksentrik seperti itu, tapi Hana tak masalah. Hana juga lebih suka Sis daripada Adriella karena lebih ringkas dan tidak ribet.

"Ini lo gak harus balik lagi ke Auditorium?" tanya Hana.

"Gak, kok. Abis ishoma maba-mabanya ada materi sama alumni, tapi gue gak nge-MC soalnya ada moderatornya sendiri," jawab Jonah. "Puyeng banget gue, Han."

"Kenapa? Mabanya nambeng?"

"Bukan. Pala gue rada pening gitu soalnya belum minum kopi."

"Harus banget minum kopi, Jon?"

Jonah mengedikkan bahu. "I'm just a tiny bit addicted to caffeine and I'm pretty sure I drink more coffee than water."

Hana berpikir sejenak, teringat sesuatu. "Lo, kan, ngekost di Kost Bu Seruni. Bukannya di deket sana ada coffee shop, ya, Jon? Waktu gue jalan lewat situ kayaknya banyak coffee shop baru. Kenapa lo gak ngopi tadi pagi?"

"Halah, Sis. Buat apa sekarang banyak coffee shop edgy, fancy, nan kekinian tapi coffee shopnya pada belum buka jam 7 pagi? Orang, tuh, butuh asupan kafein untuk memulai hari. Apalagi kaum-kaum pengabdi kopi kayak gue. Tapi mana? Gak ada coffee shop yang buka pagi-pagi sebelum kelas. Tau gitu, ngapain mereka buka coffee shop mepet-mepet area kampus? Paling mentok jadi tempat nongkrong, tempat nebeng wi-fi buat nugas, sama spot instagrammable buat ciwi-ciwi eksis."

Mendengar keluhan Jonah, Hana manggut-manggut. Penjelasan Jonah ada benarnya dan masuk di akal.

"Iya juga, ya, Jon."

"Dan lo tau gue lebih herannya apa, Sis? Nama-nama coffee shop sekarang kalo gak kayak orang patah hati, ya, kayak orang gagal move on."

"Eh, iya?"

"Kopi Janji Suci, Kopi Rona Tawa, Kopi Senantiasa, Kopi Tanpa Pamrih, Kopi Relung Rindu, apalagi? Gemes amat. Besok-besok gue buka Kopi Semilir Subuh aja, apa? Atau Kopi Bahasa Kalbu?"

Keduanya terus berjalan ke kafetaria sambil bergosip. Lebih tepatnya, Jonah yang banyak mengeluh dan Hana setia mendengarkan. Sebagian ocehan Jonah adalah keresahan personalnya mengenai tren kopi kekinian yang sedang menjamur, sebagiannya lagi adalah analisis. Banyak kedai kopi yang lebih memprioritaskan estetika tempat, tapi kurang berorientasi ke penyuguhan menu berbasis kopi murni. Belum lagi, kedai-kedai ini malah baru buka di siang hari. Kisaran harganya, apalagi. Jangan ditanya.

Panjang lebar, Jonah menjelaskan kekecewaannya pada tren kedai kopi kekinian. Jika ditelaah, kedai-kedai itu malah memarjinalkan kepentingan kaum pengabdi kopi seperti Jonah (dan Yudi). Padahal, kaum mereka jelas-jelas membutuhkan kopi seakan kopi sudah menjadi sembako nomor sepuluh. Bukannya mereka-mereka ini yang mengonsumsi kafein secara rutin untuk bertahan hidup?

Sekotak Kaus Kaki SelundupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang