Hanum mengusap peluh yang bercucuran di dahinya. Ia menatap jemuran yang baru saja disusun sedemikian rupa dengan beragam kain basah. Ia meregangkan tubuhnya dan menghirup udara sejuk Bandung, setelahnya masuk ke dalam rumah.
Bandung menjadi tempatnya tinggal dengan Rizqan saat ini. Dua bulan lalu keduanya pindah, karena Allhamdullilah Hanum menuntaskan kuliahnya. Menjadi seorang mahasiswi dengan nilai IPK yang tergolong tinggi membuat dirinya dan keluarga senang. Meski menikah, Rizqan tetap meminta Hanum menyelesaikan kulaihnya.
Mengingat hari wisuda Hanum. Syawal dan Sheila tidak melupakan hal itu, mereka datang dan mengucapkan selamat kepada Hanum. Begitupun, Qodri dan Hilya yang tengah hamil besar. Wanita itu, terlalu kurus untuk hamil sehingga, tubuhnya tak kuat menopang janin. Jadilah, dirinya datang dengan kursi roda. Ke empat adiknya dan Umi juga Abi. Oh, jangan lupakan Alimudin dan Firdan yang langsung ikut hadir merayakan.
Kedua pria itu mengajak semuanya untuk makan di restoran bintang lima di Jakarta. Hanum tak habis pikir dengan hal itu, foto keluarga pun tak luput dari keluarga besar tersebut.
Hanum tersenyum mengingat itu semua. Dirinya berpaling menatap malas seorang pria yang masih terkantuk-kantuk dengan tangan yang menggenggam cangkir.
"Jatuh tuh bentar lagi.." Lirih Hanum mendekat dan membenarkan letak cangkir yang isinya tinggal setengah.
Ia duduk di sisi lain sofa sambil menatap Rizqan dengan helaan napas yang kentara. "Kerjaan dia gak kira-kira banget.. malem jam 2 pulang abis itu jam 7 meeting.." Keluhnya.
Ia ingat saat Rizqan masuk ke dalam kamar. Sedangkan, Hanum tengah bersiap untuk sholat tahajud. Bahkan, setelah melihat ekspresi Rizqan, Hanum hanya menyuruhnya istirahat. Jadilah, tadi malam ia yang sholat sendiri.
"Mas.."
Rizqan menggeliat dan menenggakkan kepalanya di kepala Sofa. Hanum tak menyerah dan berjalan meninggalkan pria itu sebentar. Kemudian, kembali lagi dengan sebuah kain dengan air hangat. Dibasuhnya lengan Rizqan dan wajah pria itu. Hingga kedua matanya terbuka karena sentuhan lembut.
"Ennghh.."
"Udah bangun?" Tanya Hanum memeras air.
Rizqan menguap. "Jam berapa ini?"
Hanum menghela napas. "Jam 7 pagi Mas.. meeting udah aku alihkan ke sekertarismu.."
Rizqan terbelalak dan segera berdiri. "Ta.. tapi.. itu.."
Hanum memejamkan matanya lelah. "Mas.." Lirihnya tapi tetap tidak dapat membuat Rizqan tenang. Gadis itu, mensejajarkan tingginya dengan Rizqan.
"Mas gak percaya sama Hanum? Tadi pagi jam 6 udah Hanum revisi semua.. lalu Hanum kirimkan pesan ke sekretaris Mas. Allhamudullilah dia mau membantu.. semuanya hari ini di handle dia.. jadi Mas bisa istirahat di rumah.." Terang gadis itu.
Hanum beranjak pergi meninggalkan suaminya. Ia masih memiliki banyak pekerjaan. Mereka memang sudah menikah. Tapi, Hanum tidak ingin memiliki seorang pembantu. Melayani suami sudah kewajibannya. Susah senangnya berkeluarga hanya ia dan Rizqan yang perlu menjalaninya.
Rizqan memijat pelipisnya dan mengikuti Hanum yang tengah memunggunginya. Wanita itu, nampak mengusap sisi matanya. Kemudian, melanjutkan pekerjaannya dengan mencuci piring.
Seketika hatinya merasa bersalah. Ia juga lelah dengan pekerjaan yang mengharuskannya lembur di kantor. Rasa tidak enakan menyuruh sekretaris yang baru menikah itu bukanlah hal yang mudah. Rizqan menggigit bibir ragu dan mendekati Hanum.
Pria itu memeluk gadisnya dari arah belakang. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hanum dan memejamkan matanya.
Nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Afwan Hanum ✔ [SELESAI]
Spiritual(Pindah ke karya karsa dengan versi terbarunya) Hanum, gadis berusia 17 tahun yang tinggal di komplek Pesantren Nurul Abidin. Pesantren yang berada di bawah pengelola resmi nya, yaitu Kakek Abidin. Tapi, kali ini Hanum akan menceritakan tentang pe...