Dua

653 70 11
                                    

Hanya karena satu kalimat pujian yang dilontarkan Ares saat pertemuan tidak sengaja mereka kemarin, Yelina merasa melayang tinggi ke atas sana. Ares mengatakannya cantik untuk pertama kalinya. Dulu mana pernah Ares memujinya cantik? Ares sering menyebutnya jelek.

Tanpa Yelina sebenarnya tahu, jika Ares hanya meledeknya kala itu. Karena bagi Ares, seorang Yelina tetap cantik apa adanya.

Sebelum Yelina turun dari mobil Ares, pria itu mencium pipinya. Yelina memegang pipinya dengan pipi merona mengingat itu. Dia hanya diam mematung ketika Ares melakukannya. Yelina tahu itu salah. Dia sudah bertunangan dan bahkan sebentar akan melangsungkan pernikahan. Seharusnya dia tidak boleh membiarkan pria manapun menyentuhnya, walau hanya sekedar cium di pipi.

Pada malamnya harinya Ares menelepon Yelina, membahas atas apa yang dilakukannya tadi. Ares beralasan, dia terlalu kangen dengan sahabatnya itu.

Bunyi dering ponselnya membuat lamunan Yelina buyar. Ada telepon masuk dari calon suaminya, Arya.

"Ya... ada apa?" tanya Yelina menjawab telpon dan menempelkan benda pipih tersebut di telinganya.

Suara di seberang sana terdengar bergumam tidak jelas. "Kamu masih nanya ada apa? Kemarin kamu sama sekali nggak ngabarin aku pulang dari butik. Semalam aku telepon juga nggak kamu angkat."

Yelina menepuk jidatnya. Bisa-bisanya dia lupa mengabari calon suaminya dan malah memikirkan sahabatnya, Ares. Pertemuannya dengan Ares kemarin benar-benar membuatnya kembali mengenang masa-masanya bersama pria itu.

"Maaf ya, Mas. Kemarin aku lama dapet taksi online-nya. Jam 4 sore baru sampe rumah. Terus aku malah ketiduran sampe malam. Bangun jam 9 malam, dan lanjut tidur lagi. Aku nggak lihat-lihat HP lagi." Dengan lancar, dia berbohong pada Arya. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah membohongi pria tersebut. Arya terlalu baik untuk dibohongi.

Terdengar helaan napas di seberang sana. "Ya udah. Yang penting kamu baik-baik aja. Maaf, kemarin harusnya Mas nggak ninggalin kamu di butik sendirian."

Yelina tersenyum lega. Arya percaya pada ucapannya. "Nggak apa-apa, Mas. Kan Masnya kerja, nanti buat aku juga hasilnya."

"Makasih Sayang, udah mau ngertiin Mas. Kamu memang calon istri yang baik," puji Arya. "Oh ya, hari ini kamu ke toko bunga?"

Sejak dilamar oleh Arya, Yelina berhenti bekerja kantoran. Dia bersiap untuk menjadi ibu rumah tangga saja, tak perlu berangkat ke kantor setiap harinya. Yelina membuka toko bunga untuk mengisi waktu senggangnya. Toko itu dibuka atas hasil keringatnya yang dikumpulkannya selama bekerja 4 tahun. Tujuannya membuka toko itu biar nantinya saat menikah, dia mempunyai banyak waktu senggang untuk suami dan anaknya kelak. Karena Yelina sudah punya dua karyawan yang mengurus tokonya. Dia hanya sesekali datang untuk memantaunya.

"Iya Mas. Ini aku lagi siap-siap," ujar Yelina.

"Ya udah. Nanti kita lunch bareng, ya? Aku samperin kamu."

"Oke Mas, aku tunggu."

***
"Mbak, ada customer yang mau minta dipilihin bunga sama Mbaknya," ujar salah satu karyawan Yelina.

Yelina mengerutkan alisnya. "Sama saya? Kenapa memangnya harus sama saya?"

"Katanya ingin dipilihkan langsung sama pemilik toko bunga ini."

"Baiklah, tunggu sebentar. Saya akan segera ke sana." Yelina pun menatap kembali laptop yang masih menyala di atas meja kerjanya. Di tengah kesibukan mengurus toko bunganya, Yelina juga suka menulis novel di salah satu platform digital online—yang baru mulai ditekuninya beberapa bulan belakangan. Setelah memastikan naskah yang diketiknya tersimpan, Yelina segera bangkit dan keluar dari ruangannya.

"Mana orangnya, Bel?" tanya Yelina pada Abel—karyawannya.

"Itu Mbak di ujung sana lagi lihat bunga yang kemarin baru diletakkan di sana."

Yelina mengangguk. Dia mendekati customer yang tak lain adalah seorang pria yang sedang berdiri membelakanginya.

"Pagi, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Yelina ramah.

Pria itu membalikkan badannya ke arah Yelina. Sontak Yelina membulatkan matanya. "Ares? Jadi lo customer yang mau beli bunganya?"

Pria itu terkejut juga dengan kehadiran Yelina di depannya. "Lo... pemilik toko bunga ini?" Ares balik bertanya.

"Iya," jawab Yelina singkat. "Belum lama sih, baru beberapa bulan. Cuma toko bunga kecil."

Ares manggut-manggut. "Lin, pilihin bunga yang menurut lo bagus dong!" pinta Ares.

Apa Ares akan membelikan bunga untuk pacarnya? Berarti Ares sedang punya pacar? Wajarlah, pria kayak Ares mana mungkin jomblo. Yelina bergumam di dalam hatinya.

"Buat siapa emangnya, Res?" tanya Yelina penasaran.

"Mama gue. Sekarang 'kan hari Ibu. Gue pengen ngasih sesuatu sama mama gue, sekalian pakai bunga juga."

Yelina menghela napas lega. Ternyata Ares hanya membelikan bunga untuk mamanya.

"Menurut gue, lo kasih bunga Calla Lily aja," tunjuk Yelina pada bunga Lily berwarna putih. "Bunga ini melambangkan kehormatan yang agung. Pas banget dikasih buat mama lo untuk mewakili ungkapan bahwa lo sangat menghormatinya."

"Gitu, ya?"

"Iya. kalau nggak, kasih bunga mawar untuk melambangkan kasih sayang," ujar Yelina lagi.

"Gue ambil dua-duanya deh, kalau gitu," sahut Ares tanpa berpikir-pikir lagi.

"Yakin?" tanya Yelina memastikan.

"Ya dong, masa enggak. 'Kan ini pilihan elo. Gue tahu pilihan elo selalu bagus," puji Ares.

Dipuji begitu saja, Yelina langsung tersipu. Padahal dia paham betul bagaimana watak seorang Ares itu.

"Ya udah, gue panggil karyawan gue dulu buat rapihin."

Tidak lama, Yelina kembali dengan satu lagi ke tempat Ares berada. "Nanti bayar sama Mbaknya aja sekalian di kasir," ujarnya.

"Oke."

"Umm... gue tinggal dulu ya, Res? Nggak apa-apa 'kan?" Berlama-lama di dekat Ares, tidak bagus untuk jantung Yelina yang masih saja bergetar seperti dulu saat mereka tengah berdua.

"Mau ke mana emang? Lo sibuk?"

Yelina menggeleng. "Gue... gue mau pulang," jawab Yelina asal.

"Yuk, bareng gue aja. Gue anter!" sahut Ares cepat.

"Enggak usah, Res!" Buru-buru Yelina menolak.

"Gue bawa mobil." Yelina bisa membeli mobil dari sisa tabungannya dengan cara menyicil. Dia hanya sanggup membayar DP, dan bulannya dia menyicil dari hasil toko bunganya.

Ares melirik jam di tangannya. "Mau lunch bareng nggak?" Ares menggaruk tengkuknya. "Masih agak lama sih, jam makan siang. Tapi, kalau lo mau, temenin gue anter bunga ini ke mama. Terus kita makan siang habis itu. Gimana?"

"Kalau lo nggak bisa nggak maksa juga sih. Tapi kalau lo mau, mobil lo bisa ditinggal dulu di sini. Entar gue anterin lagi ke sini."

Sempat ragu, namun kemudian Yelina menganggukkan kepalanya. Niatnya untuk menghindari Ares gagal sudah. Yelina selalu saja tidak bisa menolak apa yang dikatakan oleh pria itu. Dari dulu begitu.

Yelina ingat bahwa Arya—tunangannya mengajak lunch sebelum dia berangkat ke toko bunga tadi. Yelina meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Arya kalau dia tidak bisa makan siang bareng dengannya. Dia beralasan ada meet up dadakan dengan teman lamanya. Memang benar Ares teman lamanya, seorang teman yang pernah mengisi hatinya tanpa diketahui pria itu.

Tbc...

Gimana part ini? Sukakah?

Cobaan menjelang pernikahan;

1. Restu orang tua
2. Finansial
3. Orang Ketiga (Masa lalu, atau pun orang yg belum lama dikenal)

Someone Who Came From the Past (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang