4. Waktu Untuk Sendiri

1K 172 32
                                    

"Aku sengaja, minta Jessi, masukin aku ke studionya Dio. Kebetulan Dio juga teman aku pas SMP. Lucu ya, ternyata kamu juga kenal mereka."

Wanda diam. Dia mengalihkan tatapannya ke arah jalan yang mulai mendung. Menggambarkan hatinya saat ini. Diam. Tidak bersuara. Kekesalan. Kekecewaan yang menumpuk, membuat dia kebingungan. Harus bersikap apa dia sekarang ini.

"Kamu masih marah sama aku?" tanya Charis kepada Wanda.

Dirasakan Wanda laju mobil memelan. Dia menghela nafas. Saat bertepatan dengan mobil yang berhenti di bahu jalan. Selalu seperti ini. Jika Charis merasa diacuhkan. Maka membiarkan mereka tidak pergi kemanapun. Sampai Wanda merasa lebih tenang dan menjawab semua pertanyaannya.

"Aku tahu kamu aja nggak. Bagaimana aku bisa marah sama kamu?" ujar Wanda pada akhirnya. Matanya masih dia hadapkan pada jalan yang cukup lengang siang itu. Seperti membiarkan mereka terjebak dalam situasi dan kondisi yang memang harus diselesaikan.

Charis menghembuskan nafas kasar. "Aku tahu aku salah. Makanya aku ingin ketemu kamu. Karena aku rasa sudah waktunya kita bicara serius. Wanda please, kasih aku waktu dan space buat jelasin ini semua."

Wanda mengerutkan dahinya. Waktu katanya. Desakan air mata berupaya keluar kelenjarnya. Kemudian dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menatap Charis dengan berkaca-kaca. Lihat, kamu baik-baik aja. Sementara aku?

"Aku udah sering kasih ke kamu. Tapi, nggak pernah kamu gunakan dengan baik. Jadi, untuk apa aku berikan lagi?" Wanda segera membuka kunci pintu mobil, kemudian membukanya setelah merasa ba hwa tidak ada lagi yang ingin dia bicarakan dengan Charis.

Tidak peduli jika itu adalah jalan protokol yang tidak membolehkan ada angkutan umum yang berhenti. Wanda ingin pergi menjauh. Sejauh-jauhnya dari Charis. Dari orang yang membuatnya paling sakit. Dari orang yang selalu dia harapkan ada di masa sulitnya. Namun tidak pernah ada.

Charis kesal bukan kepayang. Dia juga turun dari mobil dan berupaya mengejar Wanda. tentu terkejar. Tapi, apa Wanda mau kembali ke dalam mobilnya? Bicara dengannya? Masa lalunya? Yang menyakitinya? Charis tahu Wanda tidak akan pernah memaafkannya. Tapi, paling tidak, dia akan berusaha. Menyampaikan apa yang dirasakannya.

"Wanda please. Jangan kayak anak SMA gini dong kejar-kejaran. Aku mau ngobrol sama kamu."

Wanda tidak menggubris. Dia terus berjalan tanpa sedikitpun menoleh ke arah Charis yang ada di sampingnya saat ini. Menyamai langakahnya. Dengan suara tertekan yang berbanding halus dengan suara deruan kendaraan di sekitar mereka.

Bertepatan dengan itu, Wanda menghentikan sebuah taxi yang kebetulan melintas. Kemudian, dia masuk begitu saja ke dalam. Sekali lagi, tanpa menghiraukan Charis yang siap menahan tangannya. Sayangnya dihempaskan begitu saja.

Tidak habis akal, Charis membuka pintu taxi. Duduk di dalamnya. Membuat Wanda tercengang begitu saja.

"Kamu ngapain sih kesini. Sana keluar. Mobil kamu nggak mungkin kamu tinggalkan gitu aja kan?" Wanda sudah kepalang emosi. Terserah jika dia membuat supir taxi itu ketakutan. Tapi dia ingin sendiri sekarang. Semua ini mengejutkannya.

"Aku nggak akan pergi kalau kamu nggak mau bicara sama aku." Kata Charis telak.

Wanda kembali mengehembuskan lagi nafasnya, "Nggak sekarang. Please Charis. Aku pengen sendiri."

Kalimat itu begitu pelan. Charis bisa-bisa tidak mendengarkannya. Tapi, dia tahu, bahwa Wanda tidak ingin diganggu sekarang. Akhirnya, Charis hanya mengeluarkan lima lembar uang ratusan ribu kepada supir. "Ini nomor telepon saya. Antar mbak ini ke rumahnya. Kalau ongkosnya kurang, bapak bisa hubungi saya," katanya.

Still You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang