10. Perubahan Terjadi

955 147 22
                                    

Wanda mengeratkan selimut melingkup di tubuhnya. Dinginnya AC mencekam. Membuatnya meremang. Sebuah jemari menelusup ke pinggang Wanda yang polos. Lalu menyadarkan gadis itu apa yang baru saja terjadi.

Tangis itu kembali. Dia ingin meraung. Hatinya sakit luar biasa. Dari semua yang membuatnya sakit. Bukan bagaimana Charis menodainya. Melecehkannya. Memperkosanya. Bukan. Yang membuatnya kesakitan adalah, bagaimana dirinya masih akan memaafkan Charis. Memberikan luang yang begitu lebar untuk tetap membiarkan Charis pulang dengan tenang.

Perasaannya terhadap Charis begitu besar. Membuat dirinya membiarkan lelaki itu melakukan apa saja. Perasaan itu yang lama kelamaan menyakiti dirinya sendiri. Bagaimana pikiran dan semua perasaannya beradu pendapat. Peraduan yang membuatnya terluka semakin dalam.

Jika beberapa waktu lalu dia masih bisa mengalihkan kedukaan ini dengan memikirkan Dio. Saat ini, bagaimana bisa. Karena dia merasa sangat rendah. Sangat kotor. Dirinya tidak akan lagi pantas dengan lelaki manapun. Bahkan untuk hidup, dia tidak tahu apakah dia bisa lebih pantas lagi.

Lalu dia mendengar deru nafas Charis di sampingnya. Rasa luka itu ternyata sangat nyata. Membuat dirinya terus menerus menangis. Dia tidak tahan. Sehingga segera bangkit. Selimutnya teronggok begitu saja.

Saat itu, dia melihat sendiri bayangannya yang telanjang di hadapan cermin. Lebam yang dibuat Charis menambah sakit dan pilu. Lalu dia menatap sinis ke arah bayangan itu. Bukankah dia pantas? Pantas karena masih lancang Aku mencintai suami orang lain?

Wanda menarik pakaian asal. Tidak peduli dengan pakaian dalam yang tersebar di sudut-sudut kamar. Dia pergi dari sana. Kemanapun. Asal tidak bertemu dengan manusia manapun. Manusia yang akan mengingatkannya pada Charis. Pada rasa luka. Pada ketidakhormatannya.

Wanda tidak peduli jika sandal yang dia gunakan tidak sepasang. Dia tidak peduli jika rambutnya yang terurai menjuntai berantakan. Tidak peduli jika pakaiannya menerawang bagian tubuhnya. Dia tidak peduli jika bercak kemerahan membekas di paha bagian dalamnya. Tidak. Dia hanya tidak peduli pada pelarian yang akan dia lakukan. Pergi secepatnya.

.

Hujan dini hari tidak membuat Wanda berhenti. Air matanya yant mengalir pun sudah cukup membuyarkan jarak pandanganya. Dia sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi langkah demi langkah terus dia ambil.

Sampai pada sebuah pintu yang mungkin orang di dalamnya akan senantiasa memberikan perhatian tanpa pamrih. Orang yang akan membelanya habis-habisan. Orang yang akan membiarkannya tidur dengan waktu yang lama.

.

Senggigi heran karena pagi ini, pintunya diketuk pelan tidak berhenti. Dia kira petugas kebersihan sedang lewat koridor apartemennya. Lalu menjatuhkan gagang pel di depan pintu. Sebab jika mereka tamu, biasanya, yang terdengar adalah suara bel pintu.

Karena suara tidak kunjung berhenti. Gigi akhirnya menghampiri pintu dan melihat ke luar melalui lubangnya tidak ada siapa-siapa. Tapi suaranya masih ada. Seperti sebuah ketukan lemah dari arah bawah pintu. Mungkin anak kecil? Duganya ragu.

Jadi Gigi memutar kunci, menarik tuas gagang pintu. Kemudian, tubuh seorang perempuan dengan rambut sebahu tersungkur di hadapannya. Gigi menjerit tertahan. Lalu ikut bersimpuh saat dia tahu bahwa yang datang adalah sahabatnya sendiri. Wanda.

"Gigi.. bantuin gue.." katanya parau. Di tengah kesadaran yang sulit dikumpulkan. Hatinya sakit. Sekujur tubuhnya juga. Apalagi selangkangan yang perih. Wanda seperti dijemput kematian dengan paksa. "Gigi.. sakit.." kata dia lagi.

Gigi mengangkat kepala Wanda. Di sana mata Wanda terlihat sangat sembab. Beberapa lebam terlihat di lengan dan kaki Wanda yang terbuka, tidak tertutup pakaian. "Waan, kenapa? Ya ampun kamu kenapa?"

Still You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang