Bagian-Dua Belas

8 1 0
                                    

Yana telah selesai memasang sepatunya saat sebuah motor berhenti di depan halaman rumahnya. Yana berdiri, menatap seorang di atas motor besar itu dari teras. Setelah membuka helm fullface-nya, cowok itu tersenyum menyeringai kepada Yana. Itu adalah Kevan.

"Itu temen Yana?" Suara Ayah tiba-tiba terdengar dari samping tubuhnya. Yana kontan menoleh dan menggeleng. Namun, saat melihat Ayah mengernyit tidak mengerti, Yana mengangguk lagi.  Beberapa detik kemudian, menggeleng, menangguk lagi, akhirnya menggeleng.

"Nggak. Yana nggak kenal. Kalau nggak salah sih, itu klien Bunda," balas Yana seraya merapikan letak totebag di bahu kanannya. Ayah tersenyum pada Kevan yang tampak mengangguk sopan padanya dari luar pagar.

"Tapi, kok seragam kalian sama?" Tanya Ayah lagi. Yana menatap Ayah sebentar lalu menaikkan kedua bahunya.

"Hmm, kayaknya memang satu sekolah. Tapi Yana nggak pernah lihat dia. Cuma hari senin waktu dia ke Kafe," jawab Yana berusaha tenang. Ayah hanya mengangguk lalu memasuki mobil yang sudah terparkir di halaman.

Yana menyiapkan hati sebelum dia berjalan ke arah pagar, menatap Kevan penuh makna, lalu membuka pagar agar mobil Ayah bisa lewat. Tampak pula senyum Kevan perlahan pudar saat Yana tidak menghampirinya. Hanya berbalik badan dan memasuki mobil Ayah.

Saat mobil hitam itu berpapasan dengan Kevan, mobil itu berhenti sejenak. Kaca mobil terbuka, menampakkan seorang pria paruh baya dengan garis wajah yang tegas tersenyum ramah pada Kevan. Kevan ikut tersenyum kaku.

"Kalau mau ketemu sama pemilik Kafe Gradient, Bu Mila ada di dalam. Masuk aja ya, saya nggak bisa nganter ke dalam," ujar Ayah ramah. Yana yang duduk di dalam mobil hanya diam seraya memejamkan mata. Menahan gejolak aneh yang ada di dalam dada.

Beberapa detik tidak ada jawaban, mobil Ayah melaju kembali. Kevan masih duduk di atas motornya dengan perasaan yang aneh. Apa maksud ini semua? Yana tidak mengenalkan Kevan sebagai teman kepada ayahnya? Sebagai teman pun Yana tidak sudi? Seburuk itukah pandangan Yana kepada Kevan?

Terlalu banyak pertanyaan yang timbul di kepala Kevan atas kejadian beberapa saat yang lalu. Kevan ingin marah, namun tidak ada hak. Ingin menegur, juga tidak ada kewajiban. Semua terasa serba salah. Hampir saja harapan Kevan kepada Yana runtuh jika bunda Yana tidak segera keluar dari rumah. Menyapa Kevan dengan sapaan yang tidak pernah Kevan duga.

"Eh, calon mantu? Wahh, ada apa pagi-pagi kesini? Yana nggak bareng kamu, Ya? Ohh! Salah! Berlian, maksudnya. Atau kamu mau bahas soal acara nanti malem? Ayo, ayo! Masuk dulu, yuk!"

₩₩

Rasanya aneh. Yana tidak mengerti dengan perasaannya. Semacam rasa bersalah saat melihat senyum cerah Kevan pada saat pagi tadi, dan senyum itu harus pudar saat Yana bertindak seolah tidak mengenalinya. Sungguh. Hanya karena hal itu, membuat Yana uring-uringan sendiri. Padahal biasanya, Yana bisa melakukan hal yang lebih kejam dari pada itu. Namun kali ini berbeda. Yana merasa bersalah.

Ditambah, tidak ada Kevan yang datang ke kelasnya seperti biasa pada jam istirahat. Hal itu semakin membuat Yana merasa bersalah dan takut Kevan membencinya.

Takut membencinya?

Bukankah Yana memang menginginkan Kevan manjauhinya? Terlebih, penyebab berita tentang Yana sering masuk akun gosip sekolah itu karena Kevan. Bukankah seharusnya Yana di untungkan jika Kevan membencinya?

Bener juga! Ngapain juga takut kalau dia benci sama gue? Yana berusaha membulatkan tekad untuk tidak peduli dengan perasaan Kevan. Setelah menguatkan tekad, ia berusaha memasang wajah datar dan biasa. Seolah tidak memikirkan sesuatu yang membuatnya resah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnperfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang