BAGIAN 1

1.4K 41 0
                                    

"Auuum...!"
Suatu auman keras telah memecah keheningan malam. Siapa saja yang mendengar pasti jantungnya bergetar serasa akan copot. Belum lagi hilang suara mengaum itu, mendadak....
"Aaa...!"
Terdengar jeritan melengking yang menyayat hati. Sesaat kemudian, suasana malam menjadi sunyi sepi. Tak terdengar satu suara, kecuali desiran angin malam yang mengusik, membawa embun. Udara malam ini terasa begitu dingin membekukan. Sedangkan suara-suara tadi terdengar bagaikan alunan mimpi buruk yang mengerikan. Hanya sesaat, tapi mampu mencekam seluruh penduduk Desa Weru.
Malam itu terasa begitu lambat berjalan. Fajar seakan-akan enggan menyingsing. Kesunyian menyelimuti seluruh sudut desa yang dipenuhi rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun-daun rumbia. Pelita-pelita kecil tak sanggup menghalau gelapnya sang malam. Apinya yang redup seperti menari-nari tertiup angin, seakan-akan hendak padam.
Namun kesunyian itu tidaklah menghalangi langkah dua orang berkerudung kain pekat yang melintasi jalan berdebu membelah desa itu. Mereka berjalan cepat-cepat, seperti tengah memburu sesuatu. Namun sesekali mereka menoleh ke belakang. Tampak raut wajah yang pucat terlindung kain yang menutupi kepala dan tubuhnya. Mereka baru berhenti melangkah setelah tiba di depan sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun memiliki halaman luas yang dihiasi rumput dan pepohonan tertata apik. Sesaat mereka saling berpandangan, tapi tidak juga meneruskan langkahnya. Perlahan-lahan dibukanya kain yang menyelubungi kepala mereka.
Dalam keremangan cahaya pelita dan bulan, terlihat wajah agak tua, namun memiliki tatapan mata tajam memancarkan kewibawaan. Sedangkan seorang lagi masih tampak muda. Mungkin usianya sekitar dua puluh lima tahun. Gagang golok menyembul keluar dari balik kain yang belum tersingkap penuh.
"Kau yakin suara itu terdengar dari rumah ini, Argayuda?" tanya laki-laki yang lebih tua. Tatapan matanya tak berkedip ke arah rumah di depannya yang tampak sepi.
"Tidak salah, Ki. Rumahku di sebelah sana...," laki-laki muda yang dipanggil Argayuda menunjuk rumah kecil tidak jauh dari sini.
"Bahkan kulihat, harimau itu keluar dari rumah ini. Tak lama kemudian, seseorang juga melompat keluar sambil membawa buntalan," jelas Argayuda.
"Baiklah, kau tunggu di sini saja. Aku akan lihat ke dalam," kata laki-laki tua itu seraya melangkah.
"Ki...."
Argayuda bergegas mengikuti. Laki-laki tua itu terus saja melangkah, tidak menghiraukan panggilan Argayuda. Terpaksa pemuda itu mengikuti dari belakang. Mereka berhenti kembali setelah sampai di depan pintu rumah yang tertutup tak sempurna. Ada sedikit rongga yang cukup untuk mengintip ke dalam. Laki-laki tua itu mendekati pintu, kemudian mendorongnya perlahan-lahan. Derit daun pintu terdengar saat terkuak.
"Akh...!" tiba-tiba saja Argayuda memekik perlahan.
"Dewata Yang Agung...," desis laki-laki tua itu seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.
Apa yang mereka lihat di dalam rumah itu sungguh mengerikan. Tampak seonggok mayat tergeletak di lantai dengan kepala remuk dan tubuh tercabik. Tidak jauh dari mayat itu, terlihat satu mayat lagi yang tergantung seutas tambang ijuk. Tangan dan kakinya buntung. Darah segar masih menetes ke lantai.
Tampak di atas dipan kayu, juga masih terdapat satu mayat lagi. Mayat seorang anak perempuan berusia sekitar sembilan tahun. Lebih mengerikan lagi, tubuh mayat itu hampir setengahnya hilang. Tinggal bagian dada ke atas saja yang tersisa.
"Ki..., Ki Gedag...," suara Argayuda terdengar bergetar.
"Pukul kentongan! Beri tanda kematian," perintah Ki Gedag, agak bergetar nada suaranya.
"Bb... baik..., baik, Ki," sahut Argayuda gugup.
Bergegas anak muda itu berlari menuju kentongan yang ada di bagian kanan depan rumah itu. Sesaat kemudian, terdengar kentongan dipukul bertalu-talu yang memiliki nada tersendiri. Suara kentongan itu terdengar menyelusup sampai ke sudut-sudut Desa Weru. Tidak lama kemudian terdengar suara kentongan balasan, yang semakin lama semakin banyak terdengar dari segala penjuru.
Rumah-rumah yang semula remang-remang, kini terang benderang. Dan beberapa orang mulai bermunculan dari dalam rumahnya. Mereka setengah berlari menuju ke rumah yang tertimpa musibah. Terdengar suara langkah-langkah kaki mendekati rumah itu. Begitu tiba, mereka langsung memekik penuh kengerian saat melihat ke dalam. Sementara Argayuda jadi terpaku memegangi kentongan bambu yang tergantung di beranda samping rumah itu.

28. Pendekar Rajawali Sakti : Macan Gunung SumbingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang