Dewi Tanjung tampak gelisah. Beberapa kali tubuhnya menggelimpang di atas pembaringan kamar penginapan ini. Sebentar bangkit duduk, kemudian menghenyakkan lagi tubuhnya. Sementara malam terus beranjak semakin larut. Keheningan menyelimuti seluruh Desa Weru ini. Desahan panjang terdengar diiringi bangkitnya tubuh ramping dari pembaringan.
“Huh! Kenapa dia tidak mau hilang dari bayanganku...?” gerutu Dewi Tanjung.
Gadis itu melangkah menghampiri jendela yang masih terbuka lebar. Sebentar memandang ke luar, tapi hanya kegelapan yang terlihat. Perlahan tangannya menutup jendela itu, lalu berbalik seraya menghembuskan napas panjang. Terasa berat hembusan napasnya. Kembali kakinya terayun menghampiri pembaringan yang beralas kain merah muda, lalu duduk di tepinya.
“Rangga.... Hhh...!” Dewi Tanjung mendesah pelan menyebut nama Pendekar Rajawali Sakti.
Sejak peristiwa siang tadi, Dewi Tanjung menjadi gelisah. Entah kenapa, bayang-bayang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti selalu menghantui pelupuk matanya. Sukar sekali untuk mengenyahkannya. Meskipun pertemuan yang tidak bersuasana baik, tapi ketampanan dan kegagahan Pendekar Rajawali Sakti sempat juga menggetarkan hati gadis itu.
Dan Dewi Tanjung tidak mampu mengelaknya meskipun sudah berusaha keras mengusir bayang-bayang itu dari pelupuk matanya. Terbayang kembali ketika Rangga memeluk, dan membawanya kabur dari hadapan harimau besar peliharaan Macan Gunung Sumbing. Entah kenapa, saat itu Dewi Tanjung tidak berusaha berontak. Bahkan hatinya begitu kesal saat Rangga melepaskannya, sehingga tubuhnya jatuh bergulingan di tanah. Ada perasaan tentram ketika tubuhnya dipeluk pemuda pendekar itu.
“Huh! Kenapa aku memikirkannya? Apa sih kelebihannya? Banyak pemuda yang lebih tampan dan lebih gagah darinya...!” Dewi Tanjung menggumam sendiri membantah segala bayangan di dalam hatinya.
Dewi Tanjung jadi tersenyum begitu membayangkan wajah Rangga bersemu merah ketika bagian atas dadanya terbuka sedikit. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung menyuruhnya pergi. Senyum di bibir mungil yang selalu merah menantang itu, mendadak sirna. Dewi Tanjung mendongakkan kepalanya ke atas. Telinganya yang setajam mata pisau mendengar suara halus di atas atap kamar penginapannya. Walaupun suara itu langsung menghilang, tapi Dewi Tanjung masih juga mendengar tarikan napas yang demikian halus, dan hampir tidak terdengar.
“Hm.. Ada tamu rupanya...,” gumam Dewi Tanjung dalam hati.
Dewi Tanjung melompat ke sudut dekat jendela ketika atap kamarnya perlahan-lahan terbuka. Gadis itu melirik pembaringan yang kosong, kemudian menatap atap yang semakin terbuka lebar. Lalu....
“Hup! Hiyaaa...!”
Secepat kilat gadis itu melentingkan tubuhnya ke atas, menembus atap yang sudah cukup lebar terbuka, tubuh ramping itu langsung menerobos keluar, dan tahu-tahu sudah hinggap di atas atap. Tampak seorang laki-laki muda di atas atap terkejut setengah mati. Buru-buru laki-laki itu melompat turun. Tapi Dewi Tanjung lebih cepat lagi bertindak. Dia langsung melesat, lalu mengirimkan satu pukulan bertenaga dalam penuh.
Dug!
“Ughk...!” laki-laki itu mengeluh pendek.
Seketika tubuhnya terjerembab ke tanah, namun masih mampu bangkit berdiri. Seleret cahaya keperakan terlihat begitu tangannya bergerak. Ternyata laki-laki muda yang hanya terlihat wajahnya itu mencabut sebilah golok. Dewi Tanjung tersenyum sinis, berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
“Maling kecil, ingin berlagak di depanku. Phuih!” dengus Dewi Tanjung mengejek.
“Aku bukan maling, perusuh keparat!” bentak laki-laki muda yang ternyata adalah Argayuda.
“Perusuh...? Kau bilang aku perusuh? Ha ha ha...!” Dewi Tanjung tertawa tergelak.
“Orang lain boleh tidak peduli dan takut padamu. Tapi aku tidak akan membiarkanmu membantai seluruh penduduk Desa Weru seenak udel!” geram Argayuda.
Dewi Tanjung terkejut. Tawanya berhenti seketika. Ditatapnya tajam-tajam wajah Argayuda yang sudah menggeser kakinya dengan golok melintang di depan dada.
“Dengar, bocah edan! Aku tak pernah membantai orang-orang di sini. Jelas ini perbuatan Macan Gunung Sumbing! Sebagian besar penduduk di sini bisa mampus di tangannya! Kau terlalu gegabah menuduh sembarangan tanpa bukti!” tegas kata-kata Dewi Tanjung.
“Heh! Tidak semudah itu mengelabuiku, iblis betina! Kau pikir aku tidak tahu perbuatanmu yang keji itu? Kau kulihat keluar dari rumah korban, lalu kuikuti sampai ke sini!” dengus Argayuda dingin.
“Korban...?!” Dewi Tanjung kelihatan terkejut.
“Jangan berlagak bodoh, iblis! Kau baru saja membantai satu keluarga. Hm..., mana binatang peliharaanmu itu? Keluarkan sekalian, biar kukirim ke neraka bersamamu!”
Jelas raut wajah Dewi Tanjung terlihat sangat terkejut. Ternyata malam ini kembali terjadi pembantaian serupa pada satu keluarga. Dan Argayuda melihat, dan mengikutinya sampai ke sini.
Apakah orang yang melakukan semua itu benar-benar Dewi Tanjung? Atau ada orang lain yang juga menginap di rumah penginapan ini?
Dan belum lagi rasa terkejut Dewi Tanjung hilang, Argayuda sudah melompat cepat sambil mengibaskan goloknya ke arah leher.
“Mampus kau, Iblis! Hiyaaa...!”
“Uts!”
Dewi Tanjung cepat merundukkan kepalanya. Satu desingan keras terdengar melewati atas kepala gadis itu. Dan kembali Argayuda memutar goloknya menyimpang turun mengarah dada. Dewi Tanjung bergegas melompat mundur, tapi Argayuda tidak memberi kesempatan lagi. Dicecarnya wanita itu dengan kebutan golok ke kiri dan ke kanan. Dewi Tanjung terpaksa berjumpalitan berputaran menghindari kibasan golok yang beruntun itu.
“Hup! Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras, Dewi Tanjung melentingkan tubuhnya ke atas ketika satu babatan golok mengarah ke kakinya. Dua kali tubuhnya berputar di udara, lalu cepat meluruk turun, tepat di belakang Argayuda. Dewi Tanjung mengibaskan tangannya, langsung menghantam punggung pemuda itu.
“Akh...!” Argayuda terpekik tertahan.
Pemuda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Dan belum lagi mampu berdiri, Dewi Tanjung sudah melompat cepat. Kakinya menyambar pergelangan tangan yang memegang golok. Kembali Argayuda memekik keras. Goloknya terlempar jauh, dan menancap di pohon. Sebelah kaki Dewi Tanjung langsung menginjak dada pemuda itu.
“Ugh!” Argayuda mengeluh seraya meringis menahan sakit pada dadanya.
Injakan kaki Bidadari Pencabut Nyawa itu demikian keras, sehingga membuat Argayuda jadi tersengal napasnya. Dadanya juga terasa nyeri, seolah-olah tulang-tulang dadanya remuk. Bahkan Dewi Tanjung semakin menekan kuat saat Argayuda mencoba menggelinjang berusaha melepaskan diri.
“Punya kepandaian mentah saja coba-coba menantangku, hih!” dengus Dewi Tanjung seraya mendupak tubuh Argayuda.
Pemuda itu bergelimpangan beberapa tombak jauhnya. Dia berusaha bangkit, tapi dadanya terasa sesak sekali. Argayuda hanya mampu duduk dan bernapas tersengal, namun sinar matanya bersorot tajam penuh kebencian pada gadis cantik yang mempecundanginya. Sedangkan Dewi Tanjung hanya berdiri tegak, lalu berbalik. Gadis itu melesat cepat ke atas atap, dan menghilang di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
28. Pendekar Rajawali Sakti : Macan Gunung Sumbing
AcciónSerial ke 28. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.