BAGIAN 6

850 32 0
                                    

Hari-hari terus berlalu seirama peredaran matahari dan bulan. Setiap malam selalu terjadi pembantaian di Desa Weru. Bukan saja keluarga dan sanak saudara Paman Waku. Bahkan juga penduduk yang tidak ada sangkut pautnya dalam urusan ini. Tindakan Macan Gunung Sumbing seperti hantu saja. Datang menyebar bencana, dan pergi tanpa diketahui jejaknya. Tidak mudah untuk mencari tahu di mana Macan Gunung Sumbing bersembunyi pada siang hari.
Sementara itu saat matahari bersinar penuh, Rangga tengah melayang di angkasa bersama Rajawali Putih. Sudah tiga kali Desa Weru dikitari, tapi tidak ditemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Siang dan malam Pendekar Rajawali Sakti itu meronda ke seluruh pelosok desa dari angkasa, tapi tetap saja kecolongan.
"Kira-kira di mana dia bersembunyi, Rajawali Putih?" tanya Rangga bernada agak putus asa.
"Khrrr...!" Rajawali Putih mengkirik perlahan.
"Ya, dia memang seperti hantu saja."
"Khraghk...!" tiba-tiba Rajawali Putih berseru nyaring.
Seketika itu juga burung itu meluruk deras ke arah utara Desa Weru. Rangga langsung mengarahkan pandangannya ke sana. Tampak Dewi Tanjung tengah bertarung sengit melawan seekor harimau besar. Tidak jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat Macan Gunung Sumbing tengah tertawa terbahak-bahak.
"Khraghk...!"
"Hiyaaa...!"
Rangga segera melompat turun sebelum Rajawali Putih sampai ke tanah, dan langsung terjun ke arena pertempuran. Satu tendangan keras bertenaga dalam sempurna dilepaskan, dan telak menghantam bagian perut harimau.
"Ghraaaugh...!" harimau itu menggerung keras. Tubuhnya terlontar jauh sekitar dua batang tombak.
Belum juga harimau itu bisa bangkit berdiri, Rangga sudah melompat lagi. Langsung saja dikirimkan dua pukulan beruntun dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti itu jadi merah bagai terbakar. Kembali harimau itu terpelanting terhantam pukulan maut secara beruntun itu. Dan Rangga memang sudah menduga kalau harimau itu kebal, tidak terpengaruh pukulannya. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menerjang dahsyat. Tapi pada terjangannya kali ini, pukulannya tertahan karena sebuah bayangan melesat cepat menyampok serangannya pada harimau itu.
"Hup!"
Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang, dan manis sekali mendaratkan kakinya di tanah. Tampak Macan Gunung Sumbing sudah berdiri tegak membelakangi harimaunya yang menggerung-gerung dengan kaki depan menggaruk-garuk tanah. Sementara Rangga menggeser kakinya mendekati Dewi Tanjung.
"Kau tidak apa-apa, Dewi?" tanya Rangga setelah dekat.
"Tidak, untung kau cepat datang," jawab Dewi Tanjung. Napasnya sedikit tersengal.
"Kau terluka...?"
"Hanya sedikit cakaran di punggung."
Rangga melirik punggung Dewi Tanjung. Tampak darah merembes keluar dari luka gores yang cukup dalam. Jelas, itu berasal dari goresan cakar harimau. Ada tiga goresan yang cukup panjang. Rangga mengalihkan perhatiannya kembali pada Macan Gunung Sumbing dan binatang peliharaannya yang mulai bergerak mendekati. Macan itu menggerung-gerung sambil menatap liar penuh hawa nafsu membunuh.
"Menyingkirlah, Dewi. Biar aku yang menghadapinya," perintah Rangga setengah berbisik.
"Hati-hati, Kakang."
Dewi Tanjung menggeser kakinya menyingkir. Sedangkan Rangga mengayunkan kakinya dua tindak ke depan. Nampaknya memang sudah bersiap-siap menghadapi serangan Macan Gunung Sumbing dan binatang peliharaannya itu. Rangga sempat melirik ke atas, tampak Rajawali Putih masih melayang-layang cukup tinggi.
"Suiiit...!" Rangga bersiul nyaring.
"Khraghk...!"
Dewi Tanjung dan Macan Gunung Sumbing terkejut, dan sama-sama mendongak ke atas. Tampak seekor burung rajawali raksasa menukik deras, dan langsung hinggap di tanah di samping Pendekar Rajawali Sakti. Bukan main besarnya burung itu. Seperti bukit saja layaknya. Tegar, besar, dan menyeramkan!
"Rajawali! Buat harimau itu kapok untuk tinggal di dunia," perintah Rangga seraya menepuk-nepuk leher Rajawali Putih.
"Khraghk...!"
"Ayo, Macan Gunung Sumbing! Kita selesaikan urusan kita!" tantang Rangga keras.
Macan Gunung Sumbing tidak menjawab. Matanya menatap lurus pada rajawali raksasa yang berada di samping Rangga. Sedangkan harimaunya hanya menggerung-gerung sambil menggaruk-garuk tanah.
"Bagaimana, Macan Gunung Sumbing?" sinis nada suara Rangga.
"Phuih!" Macan Gunung Sumbing menyemburkan ludahnya.
Laki-laki berwajah penuh brewok itu menggeser kakinya ke samping. Dan Rangga pun mengikuti sambil menatap tajam tanpa berkedip. Tapi tiba-tiba saja harimau belang sebesar anak kerbau itu menggerung keras, dan langsung melompat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Cakar mengembang mengancam tubuhnya! Cepat Rangga melompat ke samping menghindari terjangan itu. Tapi belum juga tubuhnya bisa menyentuh tanah, Macan Gunung Sumbing sudah melompat cepat bagai kilat sambil mengirimkan dua pukulan dahsyat secara beruntun.
"Curang!" maki Rangga seraya melentingkan tubuhnya berputaran di udara menghindari serangan yang mendadak itu.
"Khraghk...!"
Saat itu Rajawali Putih melesat ke angkasa. Langsung saja ditangkapnya tubuh Rangga yang kewalahan, berpelantingan di udara menghindari serangan-serangan beruntun Macan Gunung Sumbing dan binatang peliharaannya. Rajawali Putih menurunkan Rangga di tempat yang tidak berapa jauh, dan kembali membumbung ke angkasa. Kini burung itu menukik deras ke arah harimau belang sebesar anak kerbau itu!
Pada saat yang sama, Rangga kembali melompat menerjang Macan Gunung Sumbing. Kali ini laki-laki penuh brewok itu terpaksa bertarung sendirian melawan Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata harimau peliharaannya tengah sibuk menghalau gempuran rajawali raksasa yang bertarung cepat tanpa menyentuh tanah sedikit pun.
Harimau belang itu kelihatan geram menghadapi lawan yang selalu berada di udara. Memang, pola serangan Rajawali Putih sangat aneh. Melambung tinggi ke angkasa, lalu menukik deras dengan sambaran keras dan mematikan. Hal ini membuat harimau itu kelabakan dan tidak mampu membalas. Beberapa kali sabetan sayap Rajawali Putih membuat harimau itu berpelantingan sambil menggerung marah. Tapi harimau itu memang cukup alot, dan gerakannya lincah luar biasa. Tidak mudah bagi Rajawali Putih untuk menghunjamkan cakar atau memukul dengan paruhnya yang lebih tajam daripada senjata apa pun di dunia ini!
Sementara di tempat lain, Rangga dan Macan Gunung Sumbing juga bertarung tidak kalah sengitnya. Masing-masing berusaha untuk saling menjatuhkan. Kini tempat pertarungan itu sudah sulit dikenali lagi. Pohon-pohon bertumbangan. Batu-batu pecah berantakan. Tanah berlubang, debu mengepul menambah kepekatan udara. Hanya dua orang tokoh sakti dan dua binatang bertarung, tapi keadaan sekitarnya seperti diamuk ratusan ekor gajah.
Sementara tidak jauh dari pertarungan itu, Dewi Tanjung tetap memperhatikan tanpa berkedip. Dia berharap Rangga memenangkan pertarungan ini. Sama sekali tidak diinginkan kalau Rangga kalah. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti sampai kalah, apa jadinya dunia ini? Tidak ada seorang pendekar pun yang mampu membendung kekuatan Macan Gunung Sumbing!
Pertarungan masih terus berlangsung sengit. Entah sudah berapa jurus terlampui. Masing-masing sudah mengeluarkan jurus andalannya. Bahkan Rangga sendiri sudah sampai pada jurus-jurus yang didapatkan dari Satria Naga Emas, salah seorang pendekar yang hidup seratus tahun lalu, dan menjadi sahabat karib Pendekar Rajawali, guru Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sampai sejauh ini Macan Gunung Sumbing masih mampu melayaninya.
Pertarungan meningkat menjadi adu kesaktian. Udara bukan saja dipenuhi debu, tapi juga suara-suara ledakan dahsyat menggemuruh, disertai percikan bunga api dan sinar-sinar yang berkilatan. Tapi kedua tokoh sakti itu tampaknya masih sama-sama tangguh. Belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak.
"Ha ha ha...! Keluarkan semua kesaktianmu, Pendekar Rajawali Sakti!" Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak.
"Hm..., tinggal satu lagi ajian yang belum kukeluarkan," gumam Rangga dalam hati.
Sesaat mereka saling berdiam diri dan berdiri tegak menatap tajam. Jarak antara mereka hanya sekitar satu batang tombak saja. Perlahan-lahan Rangga mencabut pedangnya. Seketika itu juga cahaya biru menyemburat menerangi sekitarnya. Rangga mengangkat pedang itu tinggi-tinggi di atas kepala, lalu perlahan-lahan turun ke bawah sampai mencapai dada. Kemudian, disilangkan pedang itu di depan dada. Dengan tangan kirinya, digosoknya pedang itu dari ujung ke pangkalnya.
Pada saat yang sama, Macan Gunung Sumbing juga sudah mempersiapkan satu ajiannya. Dia berdiri dengan kaki terpentang lebar ke samping. Kedua lututnya agak tertekuk. Dengan cepat digerakkan tangannya di depan dada. Dari bibirnya terdengar suara menggerung kecil yang semakin lama semakin terdengar keras bagai raungan harimau. Kedua telapak tangannya terbuka mengembang, dan menyorong ke depan.
"Hait...!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" "Yaaah...!"
"Yeaaah...!"
Kedua tokoh sakti itu sama-sama melompat ke depan. Dan pada satu titik tengah, mereka bertemu. Satu ledakan keras terdengar menggelegar membuat telinga jadi tuli. Bunga api memercik ke segala arah, bercampur cahaya biru yang memancar menyelubungi sekitarnya. Telapak tangan Macan Gunung Sumbing menempel erat pada mata pedang Pendekar Rajawali Sakti yang tergenggam antara pangkal dan ujungnya.
Tampak keduanya tengah mengadu tenaga kesaktian. Masing-masing wajah sudah memerah, dan titik-titik keringat membasahi wajah dan tubuhnya. Mereka saling berdiri berhadapan dengan tangan menyatu pada pedang yang memancarkan cahaya biru membentuk bulatan seperti bola.
"Ukh! Ini tidak bisa didiamkan! Tenagaku tersedot!" dengus Macan Gunung Sumbing, langsung merasakan akibat dari aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sedangkan yang dirasakan Rangga lain lagi. Saat itu dia sedikit mengeluh, karena penyaluran ajiannya terasa mengalami hambatan. Ajian yang dimiliki Macan Gunung Sumbing sungguh luar biasa, sehingga mampu menghambat aliran tenaga aji 'Cakra Buana Sukma'. Bulatan biru yang terbentuk dari pedang di tangan Rangga, berubah-ubah. Sebentar mengecil, sebentar kemudian membesar. Bahkan cahayanya kadangkala redup dan kembali berubah jadi terang menyilaukan.
"Hup...! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Macan Gunung Sumbing berteriak keras. Dan seketika itu juga didorongkan tubuhnya ke depan sedikit, lalu ditariknya kuat-kuat ke belakang. Tepat pada saat tangannya terlepas dari pedang Rangga, kakinya mendupak cepat ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga terkejut setengah mati, dan berubah melentingkan tubuhnya ke belakang. Tapi hantaman kaki Macan Gunung Sumbing tidak mungkin dihindari lagi.
"Akh...!" Rangga memekik keras.
Dan sebelum tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terlontar ke belakang, pedangnya sempat berkelebat cepat membabat perut Macan Gunung Sumbing. Satu raungan keras terdengar. Kedua tokoh sakti itu sama-sama terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Tapi masing-masing masih mampu bangkit berdiri meskipun tubuhnya limbung.
Tampak darah mengucur deras dari perut Macan Gunung Sumbing yang koyak terbabat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan mulut Rangga juga mengeluarkan darah. Pemuda berbaju rompi putih itu berusaha mengatur jalan napasnya yang terasa sesak seketika. Sepertinya tulang-tulang dadanya remuk.
"Graugh...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara raungan keras dari arah lain. Tampak harimau belang sebesar anak kerbau, terjungkal bergulingan di tanah. Sedangkan Rajawali Putih terhempas membentur sebatang pohon yang sangat besar hingga hancur berantakan! Namun Rajawali Putih langsung melesat tinggi ke udara, dan segera menukik deras menyambar tubuh harimau itu yang baru saja bisa bangkit berdiri.
"Khraghk...!" Rajawali Putih memekik keras.
"Grauuughk...!"
Sungguh sukar diikuti mata biasa. Begitu cepatnya Rajawali Putih menukik, tahu-tahu cakarnya sudah menyambar harimau besar itu. Harimau itu menggerung keras, menggeliat berusaha melepaskan diri. Tapi Rajawali Putih sudah lebih dahulu melesat terbang. Dan pada saat yang baik, Macan Gunung Sumbing mengibaskan tangannya ke arah burung raksasa itu.
Sebuah pisau kecil melesat terbang dengan kecepatan bagai kilat ke arah Rajawali Putih. Sedangkan di cakarnya menggantung harimau besar yang meronta-ronta mencoba melepaskan diri sambil menggerung-gerung.
"Rajawali, awas...!" teriak Rangga memperingatkan.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih melepaskan harimau itu, dan langsung berputar di udara. Untunglah lontaran pisau kecil Macan Gunung Sumbing luput dari sasaran. Sementara itu harimau sebesar anak kerbau itu meluncur deras ke bawah. Binatang itu menggerung- gerung keras dengan kaki bergerak-gerak. Dan saat yang hampir bersamaan, Macan Gunung Sumbing melompat cepat bagaikan kilat. Langsung ditopangnya tubuh harimau belang itu, dan dibawanya turun dengan lunak.
"Khraghk!"
Rajawali Putih menukik deras hendak menyambar harimau itu kembali. Tapi belum juga maksudnya tersampaikan, Macan Gunung Sumbing sudah melompat naik ke punggung harimau itu, dan langsung berlari cepat bagaikan kilat. Cakar Rajawali Putih hanya menyambar tanah berumput hingga bergetar dan berlubang cukup besar. Rajawali Putih berkaokan marah, karena lawannya berhasil kabur dengan cepat. Sementara itu Rangga sudah duduk bersila, bersikap semadi. Rajawali Putih menghampiri sambil mengkirik perlahan.
Hanya sebentar Rangga bersemadi untuk memulihkan keadaan tubuhnya, kemudian bangkit berdiri dan memeluk kepala burung raksasa itu. Pedangnya sudah sejak tadi tersimpan di dalam warangka di balik punggung. Rangga melepaskan pelukannya pada leher burung itu ketika menangkap sosok tubuh ramping yang berdiri agak jauh di bawah pohon.
"Dewi Tanjung...," desah Rangga.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Dewi Tanjung seraya berlari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak," sahut Rangga.
Dewi Tanjung menatap burung rajawali raksasa yang berada di belakang Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum, lalu memperkenalkan Dewi Tanjung pada Rajawali Putih. Burung raksasa itu mengkirik perlahan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dewi Tanjung kembali menatap Rangga yang keadaannya tampak kusut, kotor, dan berdebu, tapi sesekali masih juga dilirik burung raksasa itu. Seumur hidupnya, baru kali ini melihat seekor burung sebesar itu.
"Bagaimana lukamu?" tanya Rangga.
"Darahnya sudah berhenti mengalir. Hanya luka biasa," sahut Dewi Tanjung.
"Hm.... Bagaimana dia bisa tahu tempat ini, Dewi?" tanya Rangga lagi.
"Entahlah. Tahu-tahu dia muncul dan langsung menyerangku," sahut Dewi Tanjung pelan.
"Sebaiknya kau ke Desa Weru lagi," usul Rangga.
"Mau apa ke sana? Apa kau suka kalau aku dikeroyok, lalu dibunuh mereka?" Dewi Tanjung mendelik berang.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menyunggingkan senyum tipis. Wanita itu memang belum diberitahu perubahan di Desa Weru. Sekarang tidak ada lagi yang menuduh Dewi Tanjung sebagai pelaku pembantaian keji selama ini. Mereka semua sudah tahu kalau Macan Gunung Sumbing-lah pelaku utamanya. Tidak heran kalau Dewi Tanjung begitu berang mendengar usul Rangga tadi.
"Tidak ada yang menuduhmu lagi, Dewi. Mereka semua sudah tahu, kalau bukan kau yang melakukan semua pembantaian itu," bujuk Rangga lembut
"Huh! Sudah terlambat!" dengus Dewi Tanjung memberengut.
"Tidak ada yang terlambat, Dewi."
"Jangan paksa aku, Kakang!" sentak Dewi Tanjung cepat.
Rangga mengangkat bahunya sedikit. Gadis ini memang keras, dan tidak mudah melunakkan hatinya. Rangga bisa memahami kalau Dewi Tanjung masih kesal terhadap perbuatan penduduk Desa Weru yang main tuduh tanpa diselidiki dulu kebenarannya.
Sementara itu hari telah senja. Matahari sudah condong ke arah barat, sehingga sinarnya tidak lagi terik. Angin pun terasa sejuk membelai kulit. Rangga mengumpulkan ranting kering, dan menumpuknya di bawah pohon. Sementara Dewi Tanjung hanya duduk saja bersandar di pohon lain. Tidak jauh dari gadis itu, Rajawali Putih mendekam dengan kepala hampir menyentuh tanah. Sesekali Dewi Tanjung melirik burung rajawali raksasa itu. Meskipun sudah kenal, tapi masih juga ada perasaan takut. Betapa tidak? Meskipun Rajawali Putih hanya seekor burung, tapi perawakannya yang tinggi dan besar sungguh menakutkan orang yang baru melihatnya. Tidak terkecuali Dewi Tanjung yang baru kali ini melihat ada seekor burung raksasa sebesar itu.
"Khrrr...," Rajawali Putih mengkirik perlahan sambil menyorongkan kepalanya pada Dewi Tanjung.
"Eh...!" Dewi Tanjung terpekik kaget, dan langsung melompat.
Rangga yang melihat kejadian itu jadi tertawa terpingkal-pingkal. Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya dengan suara mengkirik perlahan. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri Rajawali Putih, lalu memeluk mesra lehernya. Dewi Tanjung memperhatikan, namun wajahnya sedikit pucat.
"Rajawali Putih ingin lebih kenal denganmu, Dewi," jelas Rangga lembut.
"Bukankah begitu, Rajawali Putih?"
"Khrrrk...!" Rajawali Putih menganggukkan kepalanya.
Rangga menghampiri Dewi Tanjung, dan menggamit lengan gadis itu. Dengan diliputi perasaan takut dan ragu-ragu, Dewi Tanjung mengikuti Rangga yang membawanya mendekati Rajawali Putih. Gadis itu masih takut-takut juga ketika kepala burung raksasa itu menyorong ke arahnya, dan mendesak-desak tubuhnya.
Perlahan-lahan perasaan takut di hati Dewi Tanjung memudar. Dibelai-belainya kepala burung itu meskipun masih bersikap ragu-ragu. Tapi sebentar kemudian sudah terdengar tawanya yang mengikik lembut. Rangga memperhatikan sambil tersenyum. Memang tidak mudah untuk mengakrabkan diri dengan Rajawali Putih. Dan biasanya, Rajawali Putih enggan untuk bercanda dengan orang lain selain Rangga. Tapi dengan Dewi Tanjung, Rajawali Putih menjadi cepat akrab. Hal ini membuat Rangga heran juga. Tapi hal itu tidak ingin dipikirkan lebih jauh lagi.
Sementara malam mulai merayap dan diliputi kegelapan. Rangga menyalakan api dari ranting- ranting kering yang dikumpulkannya. Dewi Tanjung duduk bersandar pada tubuh Rajawali Putih, sedangkan Rangga membalik-balik kelinci panggang yang telah ditangkapnya. Ada enam ekor kelinci, dan yang dua sudah masuk ke perut Rajawali Putih.
"Khraghk...!" Rajawali Putih berkaokan, dan berdiri.
Dewi Tanjung menggeser duduknya. Rajawali Putih itu menggaruk paruhnya ke tanah, kemudian membumbung tinggi ke atas. Dewi Tanjung memperhatikan sebentar, sedangkan Rangga tetap asyik dengan kelinci-kelinci panggangnya. Gadis itu segera menggeser mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Mau ke mana dia?" tanya Dewi Tanjung setengah berbisik.
"Meronda," sahut Rangga kalem.
"Meronda...?"
"Iya. Kalau terjadi apa-apa di Desa Weru, dia pasti ke sini memberitahu."
Dewi Tanjung terdiam. Diambilnya satu kelinci panggang yang sudah matang, dan disantapnya dengan nikmat. Tapi sebentar kemudian kembali ditatapnya Rangga yang juga mulai menikmati santapannya. Santapan yang sudah tidak asing lagi, dan selalu dinikmati di setiap pengembaraannya. Rangga memang suka sekali daging kelinci. Makanya selalu diburunya binatang itu untuk dijadikan santapan.
"Kau beruntung punya piaraan rajawali," kata Dewi Tanjung.
"Rajawali Putih bukan peliharaanku. Dia adalah guruku, orang tuaku, teman sekaligus saudaraku," Rangga menjelaskan tanpa ada perasaan tersinggung. Rajawali Putih memang tidak pernah dianggap hanya sebagai seekor binatang.
"Sudah berapa lama kau bersamanya?"
"Sejak kecil. Dialah yang membimbingku dan memberiku ilmu-ilmu kepandaian. Yaaah..., memang terlalu banyak yang diberikannya padaku. Dan aku sendiri tidak akan bisa berpisah dengannya. Bagiku, Rajawali Putih adalah segala-galanya. Bahkan lebih berharga daripada nyawaku sendiri."
"Aku kagum padamu, Kakang," puji Dewi Tanjung tulus.
"Simpan saja rasa kagummu itu. Dewi," desah Rangga pelan.
Mereka tidak bicara lagi, dan terus menikmati santapan kelinci panggang. Rangga memang lebih senang diam, tapi otaknya terus bekerja mencari jalan untuk dapat melenyapkan Macan Gunung Sumbing. Masalahnya, dunia akan hancur kalau tokoh hitam itu lebih lama lagi hidup di dunia. Saat ini, mungkin hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang mampu menandingi kepandaiannya. Dan itu pun kelihatannya seimbang. Rangga sendiri tidak bisa meramalkan, apakah mampu membinasakan manusia iblis itu atau malah dirinya sendiri yang akan binasa?

***

28. Pendekar Rajawali Sakti : Macan Gunung SumbingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang