BAGIAN 7

813 33 0
                                    

Malam terus merambat semakin larut. Di sebuah tempat yang tidak berapa jauh dari Desa Weru, tampak Macan Gunung Sumbing duduk bersila bersikap semadi di atas sebongkah batu besar yang pipih. Di sampingnya mendekam harimau belang yang luar biasa besarnya. Luka di perut Macan Gunung Sumbing masih membekas, meskipun tidak lagi mengeluarkan darah.
Perlahan-lahan kelopak mata Macan Gunung Sumbing terbuka, dan langsung menoleh ke arah sepasang mata merah di sampingnya. Harimau itu menjulurkan kepala, dan menjilati wajah majikannya.
Macan Gunung Sumbing menepuk-nepuk leher binatang itu, kemudian memandang lurus ke arah Desa Weru. Dari tempat yang cukup tinggi ini, bisa terlihat jelas desa itu.
“Malam ini kita bantai semua penduduk Desa Weru! Jangan ada yang tersisakan satu pun juga. Setelah itu kita cepat ke Gunung Opak. Hm..., Ki Raga harus mampus setelah adiknya. Setelah itu baru kita hadapi kembali si Jahanam Rajawali Sakti!” gumam Macan Gunung Sumbing menggeram.
“Grrrh...!” harimau belang itu menggerung perlahan, seakan menyetujui rencana majikannya.
“Kita akan menguasai dunia persilatan, Belang. Kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah mampus, tidak ada lagi yang bisa menghalangiku. Huh! Hanya dia satu-satunya penghalangku, dan harus mampus secepatnya. Bagaimana, Belang?”
“Grrrh...!” harimau yang dipanggil Belang itu hanya menggerung saja.
“Ya! Memang dialah satu-satunya penghalang kita. Kau punya saran, Belang?”
Harimau belang itu diam dan pandangannya luruh ke depan. Sepasang bola matanya menyala. Terdengar gerungan yang perlahan dan panjang. Macan Gunung Sumbing melompat turun dari batu yang didudukinya. Diarahkan pandangannya ke arah yang sama dengan pandangan si Belang.
“Ayo, Belang. Kita hancurkan seluruh penduduk Desa Weru,” ajak Macan Gunung Sumbing.
“Malam ini, Desa Weru harus musnah!”
“Grauuugh...!”
“Ha ha ha...! Ayo kita berlomba membantai mereka, Belang!”
“Aaauuum...!”
Macan Gunung Sumbing langsung melompat ke punggung harimau belang itu. Seketika itu juga binatang itu langsung melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya melompat, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Tujuan mereka jelas, Desa Weru yang saat ini dicekam ketakutan. Desa yang kini bagaikan desa mati tanpa penduduk.
Tidak ada yang tahu kalau Macan Gunung Sumbing akan menghancurkan desa itu. Bahkan tidak ada yang tahu kalau di angkasa, Rajawali Putih melayang-layang mengawasi keadaan. Pandangan mata Rajawali Putih langsung tertuju ke arah selatan. Di situ terlihat satu bayangan bergerak cepat menuju ke arah Desa Weru. Bayangan yang tidak lain dari si Belang yang ditunggangi Macan Gunung Sumbing.
“Khraaaghk...!”
Rajawali Putih langsung melesat ke arah utara. Cepat sekali melesat, bagaikan kilat saja. Sebentar saja burung itu sudah tiba di tempat Rangga dan Dewi Tanjung berada. Rajawali Putih langsung menukik turun sambil memperdengarkan suaranya yang serak dan keras. Rangga menggerinjang bangkit berdiri. Diikuti Dewi Tanjung. Mereka langsung menghampiri Rajawali Putih yang sudah mendarat di tanah.
“Ada apa, Rajawali?” tanya Rangga.
“Khraghk...!” Rajawali Putih mengepakkan sayapnya, dan kepalanya menoleh ke arah Desa Weru.
“Dewi! Matikan api, dan kita langsung ke Desa Weru,” kata Rangga.
Belum lagi Dewi Tanjung sempat bertanya, Rangga sudah melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan seketika itu juga....
“Khraghk...!”
Rajawali Putih langsung melesat membumbung tinggi ke angkasa. Begitu cepat lesatannya, tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan. Dewi Tanjung masih terpaku sesaat, kemudian bergegas mematikan api, dan segera menuju ke Desa Weru.

***

Saat itu Macan Gunung Sumbing sudah tiba di Desa Weru. Langsung dipilihnya rumah yang kelihatan gelap.  Hanya sebuah pelita kecil yang menyala di bagian ruangan depan rumah itu. Cahayanya yang redup menyemburat melalui lubang-lubang di atas pintu dan jendela. Macan Gunung Sumbing melompat turun dari punggung harimaunya. Perlahan-lahan kakinya melangkah mendekati rumah itu. Harimau besar perlahan-lahan mengikuti dari belakang. Langkah kaki mereka begitu ringan, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Macan Gunung Sumbing menghentakkan tangannya secara tiba-tiba ke depan. Satu angin dorongan yang kuat mendobrak pintu rumah itu. Seketika terdengar jeritan dari dalam rumah yang saling susul. Macan Gunung Sumbing langsung lompat masuk ke dalam rumah, disusul harimau peliharaannya.
“Ghrauuugh...!”
“Aaa...!”
“Ha ha ha...!”
Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak. Jari-jari tangannya mengembang kaku, dan bergerak cepat mencabik-cabik penghuni rumah. Harimau belang juga tidak ketinggalan. Dia berpesta mengoyak tubuh-tubuh yang tidak berdaya. Jeritan-jeritan melengking semakin sering terdengar.
Tidak lama peristiwa itu berlangsung. Sebentar saja telah senyap kembali. Yang terdengar kini hanya raungan harimau disertai tawa terbahak-bahak. Suara itu membuat rumah-rumah di sekitarnya langsung menyalakan lampu. Dan pada saat itu, Macan Gunung Sumbing melompat keluar dari dalam rumah, disusul si Belang. Mereka terus menerobos sebuah rumah lagi yang berada tidak jauh dari situ.
Kembali terdengar jeritan-jeritan melengking menyayat hati, bercampur baur suara tawa bergelak dan raungan harimau. Macan Gunung Sumbing benar- benar melaksanakan niatnya, membantai habis seluruh penduduk Desa Weru. Dendamnya pada Paman Waku dilampiaskan pada orang-orang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Pelampiasan dendamnya benar-benar brutal. Dan semua itu terjadi karena mendapat hambatan dari Pendekar Rajawali Sakti. Suatu kemarahan berlumur dendam yang tidak terbendung lagi. Jerit-jerit menyayat terus terdengar dari rumah ke rumah. Dalam waktu yang tidak lama, sudah lima rumah didatangi Macan Gunung Sumbing. Tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup. Semuanya tewas dengan tubuh tercabik cakar-cakar harimau.
“He he he...!” Macan Gunung Sumbing terkekeh melihat korban pada rumah yang keenam.
“Graughk...!”
Sekali lagi Macan Gunung Sumbing memandangi mayat-mayat yang tergeletak dengan tubuh hancur tercabik, kemudian tertawa terkekeh. Dengan langkah tenang, dia berjalan keluar dari rumah itu. Tapi mendadak suara tawanya terhenti. Di depan rumah itu ternyata sudah berdiri puluhan orang yang membawa senjata seadanya. Mereka adalah penduduk Desa Weru. Tampak di depan berdiri Paman Waku yang bersenjatakan golok panjang terhunus. Tempat sekitarnya sudah terang benderang oleh obor yang dipancangkan di beberapa sudut. Beberapa penduduk juga ada yang membawa obor dari bambu. Paman Waku melangkah beberapa tindak, didampingi Bakor yang memimpin Padepokan Gunung Opak. Kakak dari Paman Waku itu menimbang-nimang senjatanya yang berbentuk tombak dengan mata berkeluk seperti keris.
“Lihat, Belang. Mereka sudah siap menjemput ajal. He he he...,” ujar Macan Gunung Sumbing kembali terkekeh.
“Bukan mereka, tapi kau!” bentak Paman Waku.
“Ha ha ha...!” Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak.
“Aku tahu, kau dendam padaku. Tapi mengapa kau bantai mereka yang tidak tahu apa-apa?! Perbuatanmu sungguh keji! Dewata akan mengutukmu, Macan Gunung Sumbing!” geram Paman Waku.
“Sebenarnya aku enggan mengotori tangan dengan darah mereka. Tapi, bukankah kau sendiri yang menginginkan demikian, Waku?” dingin nada suara Macan Gunung Sumbing.
“Jangan banyak omong! Ayo, kita selesaikan persoalan ini! Kau atau aku yang mampus!” bentak Paman Waku seraya menyilangkan goloknya di depan dada.
“He he he...,” Macan Gunung Sumbing terkekeh.
Ditepuk-tepuknya harimau yang berdiri di sampingnya. Si Belang menggeram perlahan. Dia bergerak maju seperti binatang malas karena kekenyangan. Namun tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Paman Waku. Laki-laki setengah baya itu menggeser kakinya selangkah ke samping kanan. Sedangkan si Belang mendekam.
“Auuummm...!”
Tiba-tiba saja si Belang mengaum keras, dan langsung melompat cepat bagaikan kilat. Kedua kaki depannya terentang lurus ke depan. Kuku-kuku yang tajam berkilat siap merobek tubuh Paman Waku. Untuk sesaat, Paman Waku terkesiap. Namun, dengan cepat dibanting dirinya ke samping, dan bergulingan beberapa kali.
Gagal serangan pertama, si Belang langsung berbalik dan kembali melompat menerjang. Saat itu Paman Waku baru saja bisa berdiri. Buru-buru dikibaskan goloknya yang panjang sambil melompat ke kanan. Kibasan golok itu tepat menghantam perut si Belang. Namun harimau itu hanya menggerung kecil.
“Gila...!” dengus Paman Waku.
“Ha ha ha...!” Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak.
Harimau itu berdiri tegak di atas keempat kakinya. Sedikit pun tidak terdapat luka di tubuhnya. Padahal, jelas sekali kalau golok Paman Waku menghantam perut binatang itu.
“Kau tidak akan mampu mengalahkannya, Waku! Temanku ini kebal,” kata Macan Gunung Sumbing diiringi suara tawanya.
Paman Waku mendengus berat. Kakinya bergerak perlahan menggeser menyusur tanah. Tatapannya tidak berkedip pada binatang buas itu.
“Dua puluh tahun lalu kau boleh bangga karena dapat mengalahkanku, Waku. Memang itu semua kesalahanku, tidak membawa sahabat saktiku ini. Tapi sekarang, jangan harap kau dapat mengalahkanku. Aku bukan lagi yang dulu. Kau akan mati, Waku! Ha ha ha...!” Macan Gunung Sumbing terus mengejek.
“Persetan! Hiyaaa...!”
Paman Waku geram bukan main. Telinganya panas mendengar ejekan itu. Dia langsung melompat ke arah Macan Gunung Sumbing yang masih terkekeh. Tapi sebelum laki-laki setengah baya itu bisa mengibaskan goloknya, si Belang sudah lebih dulu melompat cepat menerjangnya.
“Graugh!”
“Akh...!”
Paman Waku terhuyung-huyung sambil mendekap lambung kanannya. Kuku-kuku si Belang telah merobek cukup dalam dan panjang pada lambung kanannya. Darah mengucur deras tak tertahankan lagi. Dan pada saat Paman Waku limbung, si Belang sudah melompat lagi hendak menerkam.
“Aaauuum...!”
“Mati aku...!” desah Paman Waku dalam hati.
Tapi sebelum harimau itu mencapai tubuh Paman Waku, tiba-tiba Bakor melemparkan tombaknya ke arah harimau itu. Ujung tombak yang berbentuk seperti keris itu tepat menghunjam dada si Belang. Tapi sungguh  menakjubkan, tombak itu malah terpental balik tanpa melukai harimau itu sedikit pun.
Bakor melompat menangkap tombaknya yang terpental kembali, dan langsung mendarat di depan adiknya yang terluka di bagian lambungnya. Macan Gunung Sumbing menggeram marah melihat musuh bebuyutannya masih terlindungi. Dia tahu betul siapa orang yang kini berdiri di depan Paman Waku.
“Aku paling benci melihat kelicikan. Membunuh orang yang sudah tidak berdaya!” dingin, kata-kata
Bakor.
“Menyingkirlah, Bakor! Giliranmu nanti!” dengus Macan Gunung Sumbing. Sementara si Belang mendekam kembali di sampingnya.
“Nanti atau sekarang sama saja! Sengaja aku datang agar kau tidak mengotori tempat suciku!” sahut Bakor semakin dingin. “Akulah lawanmu, iblis!”
Setelah berkata demikian, Bakor langsung melompat seraya menusukkan tombaknya ke arah dada Macan Gunung Sumbing. Tapi serangan yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam itu, manis sekali dielakkan Macan Gunung Sumbing. Bahkan laki-laki yang wajahnya sudah mirip harimau itu mampu memberikan serangan balasan yang juga luput dari sasaran.
Sementara Paman Waku bergerak mundur. Darah semakin banyak keluar dari lukanya. Dan pertarungan antara Bakor melawan Macan Gunung Sumbing tidak dapat dihentikan lagi. Harimau belang itu juga menyingkir. Tapi tatapannya tertuju pada pertarungan itu.
Tidak jauh dari tempat itu, terlihat Argayuda dan Ki Gedag. Mereka juga tampaknya sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Macan Gunung Sumbing memang tokoh hitam yang sangat tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak mudah menaklukkan laki-laki berwajah seperti harimau itu.
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
Pertarungan antar Bakor melawan Macan Gunung Sumbing sudah mencapai tingkat yang tinggi. Mulai kelihatan kalau Bakor sudah terdesak. Beberapa kali pukulan dan tendangan Macan Gunung Sumbing mendarat di tubuhnya. Tapi Bakor masih juga mampu melawan.
“Jebol dadamu! Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras, Macan Gunung Sumbing melompat cepat, dan tangan kanannya menggedor dada Bakor.
“Aaakh...!” Bakor menjerit keras.
Seketika tubuhnya terpental ke belakang. Dan belum lagi mencapai tanah, Macan Gunung Sumbing kembali menerjang seraya mengibaskan tangan kanannya. Tak pelak lagi, jari yang berkuku hitam dan runcing itu merobek dada Bakor. Kembali laki-laki setengah baya itu menjerit keras. Darah langsung menyembur keluar dari dada yang sobek panjang!
Dan belum sempat ada yang menyadari, kembali Macan Gunung Sumbing mengibaskan tangan kanannya. Kali ini sasarannya adalah bagian leher. Bakor yang sudah tidak berdaya, tidak mampu berkelit lagi. Tanpa bersuara sedikit pun, tubuh laki-laki setengah baya itu ambruk ke tanah dengan leher terpenggal!
“Iblis...!” geram Paman Waku menyaksikan kematian kakaknya yang sangat tragis.
“Ha ha ha...!” Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.
“Kubunuh kau, keparat!” geram Paman Waku. Tanpa menghiraukan luka di tubuhnya, Paman Waku segera melompat menyerang sambal mengibaskan goloknya yang panjang. Tapi pada saat itu, si Belang juga sudah lebih cepat melompat. Cakarnya pun menyampok cepat bagaikan kilat. Paman Waku terperanjat, namun tidak bisa menghindar lagi.
“Akh...!” Paman Waku memekik tertahan. Sampokan cakar harimau itu merobek wajahnya.
Darah langsung menyembur. Paman Waku terhuyung-huyung sambil menutupi wajahnya dengan tangan kiri. Pada saat itu, harimau besar peliharaan Macan Gunung Sumbing sudah kembali melompat hendak menerjangnya.
“Ghraaaughk...!” “Hiyaaa...!”
Dug!

***

28. Pendekar Rajawali Sakti : Macan Gunung SumbingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang