BAGIAN 2

966 32 0
                                    

Malam mulai menyelimuti seluruh Desa Weru. Bulan bersinar penuh. Namun awan hitam yang menggantung lebat di langit telah menghalangi cahaya bulan untuk menerangi mayapada ini. Angin bertiup sedikit keras membawa hawa dingin yang menggigilkan. Desa Weru sudah tenggelam terselimut kabut yang semakin menebal. Tak terlihat ada orang di luar rumah, kecuali dua laki-laki yang tengah duduk di beranda.
Mereka adalah Eyang Ganjur bersama cucunya yang bernama Paman Waku. Laki-laki berusia lima puluh tahun itu baru saja tertimpa musibah di saat dirinya sedang melaksanakan tugas ke Bukit Opak membawa pesan kakeknya ini. Walaupun tidak muda lagi, namun masih terlihat gagah dan tegap. Rambutnya memang mulai berwarna dua. Sedangkan Eyang Ganjur sudah demikian lanjut. Usianya mungkin sudah mencapai sembilan puluh tahun lebih. Tapi laki-laki tua itu masih tetap terlihat gagah meskipun tubuhnya kurus tertutup jubah panjang berwarna putih bersih.
“Rasanya aku tidak pernah punya musuh selama dua puluh tahun ini, Eyang. Tapi mengapa ada orang yang begitu tega membantai keluargaku...?” desah Paman Waku lirih.
“Mungkin saja salah seorang lawanmu dulu yang masih menyimpan dendam, Waku,” ujar Eyang Ganjur lembut.
“Ya..., mungkin juga. Tapi siapa...?”
“Memang terlalu mudah untuk menuduh, tapi sukar untuk membuktikannya. Masa mudamu kau habiskan dalam dunia persilatan. Tak sedikit orang yang menyimpan dendam di hatinya. Kau tidak akan mampu mengingatnya satu persatu,” kata Eyang Ganjur bijaksana.
“Lalu, apa yang harus kulakukan, Eyang?” tanya Paman Waku meminta pendapat.
“Diam,” sahut Eyang Ganjur mantap.
“Diam...?!” Paman Waku terkejut juga mendengar jawaban itu. Ditatapnya dalam-dalam laki-laki tua yang duduk di seberang meja bundar beralaskan batu pualam putih itu.
Sedangkan yang ditatap hanya diam saja. Pandangannya malah lurus ke depan. Dagunya ditopangkan ke punggung tangan yang menggenggam tongkat berkepala ular.
“Apa yang akan kau lakukan, Waku? Mencari pembunuh keluargamu? Mengumbar amarah dan dendam buta tanpa petunjuk sedikit pun? Kau sudah tidak muda lagi, Waku. Sadarilah keadaan dirimu sendiri,” lembut namun terdengar tegas kata-kata Eyang Ganjur.
Paman Waku hanya diam saja. Dia sendiri tidak tahu, apa yang akan dilakukannya sekarang ini. Sampai saat ini memang belum jelas, siapa pembunuh keluarganya. Meskipun siang tadi Ki Gedag dan Argayuda sudah menceritakan secara jelas, tapi masih belum bisa diyakini kalau yang melakukan semua itu adalah si Macan Gunung Sumbing.
Paman Waku memang pernah bentrok dengan seorang tokoh yang berjuluk Macan Gunung Sumbing. Tokoh itu memang berhasil dikalahkannya. Pertarungan waktu itu memang cukup adil dan disaksikan Eyang Ganjur, kakeknya sendiri yang kini menjadi ketua sebuah padepokan di Bukit Opak. Bahkan istrinya yang saat itu baru dinikahinya ikut menyaksikan, ditambah beberapa tokoh lain yang sulit untuk diingat lagi.
Permasalahannya sangat sepele. Waktu itu Paman Waku menikahi seorang gadis yang juga diinginkan Macan Gunung Sumbing. Macan Gunung Sumbing tidak rela, dan mengajak bertarung sampai salah satu ada yang mati. Tapi Paman Waku tidak berusaha menewaskannya, meskipun saat itu Macan Gunung Sumbing sudah pasrah saat dikalahkan. Paman Waku membiarkannya pergi, hingga sampai sekarang tidak pernah terdengar lagi beritanya.
Dan baru kali ini didengarnya nama Macan Gunung Sumbing disebut, malah kebetulan pula bersamaan dengan terjadinya musibah besar ini. Benarkah yang dilihat Argayuda saat terjadinya pembantaian malam itu? Pertanyaan ini yang selalu mengganggu benak Paman Waku.
“Mungkin yang dikatakan Argayuda benar, Eyang. Rasanya tidak ada lagi yang...,” ucapan Paman Waku terputus.
“Mustahil!” sentak Eyang Ganjur cepat. “Macan Gunung Sumbing tidak memelihara seekor harimau. Itu hanya sekedar julukan saja. Tidak ingatkah kau sewaktu bertarung dengannya?”
“Tidak akan kulupakan, Eyang.”
“Nah! Apa mungkin Macan Gunung Sumbing memiliki seekor harimau? Bodoh sekali kalau kau termakan omongan bocah kemarin sore itu!”  agak keras suara Eyang Ganjur.
“Mungkin hal itu tidak akan kupikirkan kalau saja tidak ada peristiwa serupa sebulan lalu di Desa Ilir, Eyang. Aku kenal betul dengan keluarga yang terbantai habis tanpa sisa itu. Mereka adalah teman- teman baikku, yang juga pernah berurusan dengan si Macan Gunung Sumbing. Demikian pula peristiwa pembantaian yang hampir sama di Gunung Anjar, di Kampung Bulam dan di tempat-tempat lain. Pembantaian satu keluarga. Bahkan sanak familinya pun ikut terbantai dengan cara mengerikan. Dari semua itu Macan Gunung Sumbing selalu disebut-sebut sebagai pelakunya, meskipun sampai saat ini belum terbukti sama sekali,” ujar Paman   Waku panjang lebar.
Eyang Ganjur terdiam. Memang benar apa yang dikatakan cucunya barusan. Semua peristiwa itu hampir serupa bentuknya. Brutal dan mengerikan. Dan yang terpenting, korbannya adalah anggota keluarga yang pernah punya urusan dengan si Macan Gunung Sumbing. Kini satu keluarga telah terbantai.
Apakah peristiwa-peristiwa itu akan terulang kembali? Kalau memang benar, tidak sedikit yang akan menjadi korban. Masalahnya, hampir semua penduduk Desa Weru ini bertalian darah.
“Aku akan mengirim utusan ke Bukit Opak secepatnya, Eyang,” kata Paman Waku.
“Untuk apa?” tanya Eyang Ganjur.
“Mengabarkan hal ini pada Kakang Bakor. Mereka semua harus waspada sebelum telanjur, Eyang.”
“Belum perlu, Waku. Kita belum bisa mengambil kesimpulan secepat itu.”
“Meskipun Eyang tidak setuju, aku tetap akan memberitahu seluruh sanak keluarga agar waspada. Aku yakin persoalan ini bukan persoalan sepele, Eyang. Ini menyangkut nyawa orang banyak,” tegas kata-kata Paman Waku.
“Pikirkan dulu, Waku,” saran Eyang Ganjur.
“Sudah!” sahut Paman Waku mantap.
“Hhh...!” Eyang Ganjur menarik napas panjang.

28. Pendekar Rajawali Sakti : Macan Gunung SumbingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang