Tepat pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagaikan kilat, dan langsung menyambar tubuh si Belang. Harimau besar itu meraung keras, lalu terpelanting ke tanah. Tampak seorang gadis muda dan cantik tahu-tahu sudah berdiri tegak melindungi Paman Waku.
“Dewi Tanjung...!” desis Macan Gunung Sumbing geram saat mengenali gadis cantik berbaju putih yang sedikit koyak itu.
“Hm.... Saatnya kau terbang ke neraka. Macan Iblis!” dengus Dewi Tanjung dingin.
Saat itu dua orang penduduk menghampiri Paman Waku dan membawanya menyingkir. Darah masih mengucur di tubuh dan wajah laki-laki tua itu. Dewi Tanjung sempat melirik Paman Waku yang sudah berada di tempat aman bersama beberapa penduduk yang merawat luka-lukanya.
Pada saat itu Ki Gedag dan Argayuda melompat mendekati Dewi Tanjung. Kedua laki-laki itu langsung menghunus senjatanya. Macan Gunung Sumbing tersenyum sinis melihat ketiga orang penantangnya, kemudian tertawa terbahak-bahak sambil mengegoskan tangannya ke depan.
“Auuummm...!”
Sambil mengaum keras, si Belang langsung melompat menerjang ketiga orang itu. Ki Gedag dan Argayuda berlompatan ke samping, sedangkan Dewi Tanjung malah diam berdiri tegak. Dan begitu harimau sebesar anak kerbau itu berada dalam jangkauan, dengan cepat dikibaskan pedangnya.
Harimau itu hanya meraung kecil begitu pedang Dewi Tanjung menghantam tubuhnya. Binatang itu terjajar sedikit, lalu kembali menerjang lebih ganas. Dewi Tanjung berlompatan menghindari terjangan binatang buas itu. Beberapa kali pedangnya dihantamkan ke tubuh si Belang, tapi harimau itu tidak terluka sedikit pun. Kulitnya sungguh kebal, tidak mempan senjata apa pun juga!
Sementara Argayuda dan Ki Gedag sudah bertarung mengeroyok Macan Gunung Sumbing. Golok mereka berkelebatan cepat mengurung tubuh Macan Gunung Sumbing, tapi tokoh sakti itu tidak mudah didesak. Bahkan satu ketika dia berhasil menyarangkan cakarnya pada dada Ki Gedag, sehingga laki-laki tua itu menjerit keras terhuyung-huyung ke belakang. Darah mengucur deras dari dadanya yang koyak.
“Ki...!” seru Argayuda cemas.
Keterkejutan Argayuda tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja telah menjerit melengking. Macan Gunung Sumbing telah menyampok kepalanya, sehingga pemuda itu terpental jauh. Tubuhnya terus meluncur, lalu menabrak dinding rumah hingga jebol berantakan. Namun Argayuda bergegas bangkit dan melompat menerjang manusia berwajah harimau itu.
“Nekad...!” dengus Macan Gunung Sumbing.
Cepat sekali Macan Gunung Sumbing mengibaskan tangannya, langsung mengoyak leher Argayuda hingga hampir buntung. Argayuda memekik melengking tinggi. Sebentar tubuhnya bergetar, lalu ambruk berkelojotan di tanah. Darah mengucur deras membasahi tanah. Tidak berapa lama berkelojotan, sebentar kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi!
“Setan keparat! Kubunuh kau!” geram Ki Gedag. “He he he.... Orang tua bodoh! Sebaiknya kupercepat kematianmu. Hih...!”
Macan Gunung Sumbing melompat ke atas, lalu menukik keras menuju ke kepala Ki Gedag. Hanya sekali Ki Gedag mampu mengibaskan pedangnya ke atas. Namun, saat-saat berikut, tubuhnya sudah terangkat, dan kembali jatuh dengan kepala terpisah. Tubuh tanpa kepala itu bergerak-gerak sebentar, lalu diam tanpa nyawa lagi. Macan Gunung Sumbing mendarat manis sambil menenteng kepala Ki Gedag. Dilemparkannya kepala itu seperti kelapa busuk yang tidak berguna ke arah penduduk Desa Weru.
Melihat tetua-tetua desa bergelimpangan jadi mayat, para penduduk itu berlarian menyelamatkan diri. Tapi Macan Gunung Sumbing tidak membiarkan begitu saja. Dia memang sudah terlalu membenci mereka yang berusaha mengeroyoknya. Dengan cepat tubuhnya melesat sambil mengibaskan tangannya. Dua orang penduduk menjerit melengking, lalu ambruk bersimbah darah.
“Jangan lari kalian! Hiyaaat...!”
Macan Gunung Sumbing melompat mengejar penduduk yang berlarian tak tentu arah sambil berteriak-teriak minta tolong. Dan pada saat tangannya hampir menjangkau salah seorang penduduk, mendadak dari angkasa meluruk deras sebuah bayangan besar. Bayangan itu langsung menyampok Macan Gunung Sumbing hingga terpelanting bergulingan di tanah.
“Keparat! Monyet buduk...!” Macan Gunung Sumbing menyumpah serapah seraya bangkit berdiri.
“Tidak ada gunanya kau membantai mereka, Macan Gunung Sumbing!” terdengar suara dingin dan datar.
“Pendekar Rajawali Sakti.... Phuih!” Macan Gunung Sumbing mendesis geram.
Sementara itu di tempat lain, Dewi Tanjung masih berusaha menghadapi harimau yang besar dan kebal. Gadis itu nampak kewalahan, tapi terus berusaha keras mempertahankan nyawanya. Rangga sempat melirik ke arah pertarungan ganjil dan tidak seimbang itu. Dewi Tanjung memang sudah jatuh bangun dan tubuhnya berlumuran darah. Entah sudah berapa kali kulitnya tersayat cakaran binatang buas itu.
“Dewi Tanjung, mundur...!” seru Rangga keras. Tepat ketika Dewi Tanjung melompat mundur, dari angkasa meluruk seekor burung rajawali raksasa berbulu putih agak keperakan. Cakar rajawali itu langsung menyambar harimau belang yang terus menggeram. Namun harimau itu dengan gesit mengelak, lalu mengaum keras sambil menggaruk-garuk tanah di depannya.
“Rajawali, hadapi dia! Kau lebih tahu caranya!” seru Rangga keras.
“Khraghk...!”
Sementara itu Macan Gunung Sumbing mengumpat, menyumpah serapah atas munculnya Pendekar Rajawali Sakti bersama burung raksasa tunggangannya.
“Phuih! Orang lain boleh takut padamu, Pendekar Rajawali Sakti.”
Sambil terus menyumpah, Macan Gunung Sumbing langsung menyerang. Dia memang baru dua kali bentrok dengan pendekar yang selalu memakai baju rompi putih itu. Makanya, kini dia tidak mau tanggung-tanggung lagi. Laki-laki yang wajahnya penuh brewok itu melompat sambil mengerahkan jurus andalannya.
Dan Rangga yang juga sudah mengukur kepandaian lawannya, langsung mencabut Pedang Rajawali Sakti. Seketika malam yang hanya diterangi beberapa obor, menjadi terang benderang begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.
Secepat Macan Gunung Sumbing menerjang, secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti melompat dibarengi pengerahan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Gerakan pedangnya sungguh cepat luar biasa, sehingga sulit diikuti pandangan mata. Dan sabetan pedang itu hampir saja memenggal leher Macan Gunung Sumbing, kalau tidak cepat-cepat membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan menjauh.
“Keparat!” geram Macan Gunung Sumbing seraya bangkit berdiri.
Sedangkan Rangga berdiri tegak, dan pedangnya tersilang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam menusuk dengan bibir terkatup rapat.
“Hhh! Rupanya kau takut mati juga, macan ompong!” ejek Rangga sinis.
“Phuih!” Macan Gunung Sumbing menyemburkan ludahnya.
Wajahnya merah padam menahan amarah mendengar ejekan yang membuat panas telinganya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Macan Gunung Sumbing mempersiapkan ajian pamungkasnya. Dan Rangga yang melihat lawannya tidak main-main lagi, segera mempersiapkan aji ‘Cakra Buana Sukma’. Kedua ajian itu pernah dikeluarkan beberapa hari yang lalu. Saat itu kekuatan ajian mereka seimbang. Tapi entah untuk kali ini. Hanya merekalah yang bisa menentukan dari pertarungan antara hidup dan mati!
Sesaat mereka saling berdiri dengan tatapan kosong, seakan tengah mengukur ajian yang tinggal dilepaskan saja. Cahaya biru sudah mulai menggulung di ujung pedang, sedangkan kedua telapak tangan Macan Gunung Sumbing sudah merah membara bagai terbakar. Hawa panas menyebar dari telapak tangan yang memerah itu.
“Bersiaplah untuk mati, Pendekar Rajawali Sakti!” dingin nada suara Macan Gunung Sumbing.
“Bertobatlah sebelum terbang ke neraka, macan ompong!” sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
“Hih! Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Macan Gunung Sumbing berlari kencang dengan kedua tangan menjulur ke depan. Sedangkan Rangga menyilangkan pedangnya, dan telapak tangan kiri ditempelkan pada ujung pedangnya. Sedikit pun dia tidak bergerak. Memang aji ‘Cakra Buana Sukma’ bersifat menyerang, tapi menunggu untuk diserang. Suatu benturan keras tak dapat dihindari lagi, sehingga menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat! Itu pun masih disertai percikan bunga api yang dipadu dengan menggumpalnya dua sinar yang menjadi satu.
“Ukh!”
Meskipun sudah pernah bertarung sebelumnya, tapi Macan Gunung Sumbing masih terperanjat juga ketika kedua telapak tangannya menempel erat pada mata pedang Pendekar Rajawali Sakti. Padahal pedang itu tidak digenggamnya. Macan Gunung Sumbing berusaha melepaskan tangannya, tapi dirasakan adanya satu kekuatan yang menyedot tenaganya. Semakin kuat dikerahkan tenaganya, semakin kuat pula aliran itu menguasai dirinya.
“Hih! Hiyaaa...!”
Macan Gunung Sumbing meliukkan tubuhnya, dan kakinya melayang deras disertai pengerahan tenaga dalam penuh ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti. Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga menyentakkan tangannya cepat-cepat. Seketika tubuh Macan Gunung Sumbing terlontar jauh, sehingga tendangannya hanya sia-sia saja.
Dan selagi tubuh laki-laki berwajah penuh brewok itu terlontar, dengan cepat Rangga melompat memburunya. Langsung saja dikerahkan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Pedang bercahaya biru itu dikibaskan dengan cepat ke arah leher Macan Gunung Sumbing.
“Hiyaaat...!”
“Uts!”
Macan Gunung Sumbing buru-buru melentingkan tubuhnya berputar di udara, sehingga tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti tidak mencapai sasaran. Namun pada saat yang sama, Rangga telah lebih cepat menghunjamkan satu pukulan tangan kiri disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Dug!
Pukulan itu tidak terbendung lagi, dan telak menghantam bagian lambung Macan Gunung Sumbing.
“Ughk..!” keluh Macan Gunung Sumbing.
Keras sekali tubuhnya mencelat menghantam sebatang pohon beringin hingga tumbang. Tapi hebatnya, Macan Gunung Sumbing langsung bangkit berdiri meskipun bibirnya meringis merasakan sakit pada lambung.
“Saatmu sudah tiba, Macan Gunung Sumbing!” desis Rangga dingin.
Seketika itu juga Rangga menghentakkan tangan kirinya. Maka secercah cahaya biru meluncur deras dari telapak tangan kiri yang terbuka. Begitu cepatnya cahaya itu meluruk, sehingga Macan Gunung Sumbing yang baru saja mampu berdiri, tidak dapat mengelak lagi. Tubuhnya langsung terselubung cahaya biru berkilauan itu.
Laki-laki mirip harimau itu menggeliat-geliat sambil berteriak-teriak keras. Dan pada suatu ketika, teriakannya berubah menjadi raungan dahsyat bagai raungan harimau. Tampak dalam selubung cahaya biru itu, tubuh Macan Gunung Sumbing berkelojotan. Sesaat kemudian seluruh tubuhnya tumbuh bulu kuning belang hitam kecoklatan. Kedua bola matanya membulat dan berwarna merah bagai sepasang bola api.
“Ghraaagh...!”
Sambil meraung keras, Macan Gunung Sumbing menghentakkan tangannya ke atas. Seketika itu juga cahaya biru yang menyelubungi tubuhnya, lenyap disertai ledakan dahsyat menggelegar. Rangga melompat mundur begitu melihat Macan Gunung Sumbing ber- ubah jadi manusia setengah harimau!
“Ghraaaghk...!” Macan Gunung Sumbing meraung dahsyat sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Kemudian tangannya memukul-mukul dadanya sendiri yang ditumbuhi bulu lebat, bagai bulu harimau. Seluruh tenaga, kaki, wajah dan tubuhnya telah berbulu. Macan Gunung Sumbing benar-benar telah berubah menjadi makhluk setengah harimau!
Pada saat itu, dalam waktu yang bersamaan, keanehan juga terjadi pada harimau yang tengah bertarung melawan Rajawali Putih. Harimau besar itu meraung keras, kemudian langsung melompat mendekati Macan Gunung Sumbing. Sungguh sukar dipercaya! Harimau itu mengangkat kedua kaki depannya, dan perlahan-lahan tubuhnya menyatu dengan tubuh Macan Gunung Sumbing. Harimau itu lenyap. Dan kini Macan Gunung Sumbing benar-benar berubah menjadi seekor harimau yang sangat besar luar biasa! Meskipun tidak berdiri dengan empat kakinya, tapi bentuk tubuhnya benar-benar berubah menjadi harimau. Hanya bagian tangannya saja yang masih berbentuk tangan manusia, meskipun berbulu lebat.
“Gila! Ilmu apa yang dipakainya...!?” desis Rangga tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
“Ghraughk...! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti! Tidak ada yang mampu menandingi ilmu ‘Siluman Harimau’ku!” suara Macan Gunung Sumbing terdengar serak dan agak parau.
Sambil menggerung dahsyat, Macan Gunung Sumbing yang sudah berubah ujud itu langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Sejenak Rangga masih terpana setengah tidak percaya, tapi buru-buru melompat ke samping menghindari terjangan itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Macan Gunung Sumbing mampu berputar meskipun dalam keadaan tubuh di udara, dan langsung menerjang Rangga.
“Akh!” Rangga memekik tertahan.
Terjangan Macan Gunung Sumbing tidak dapat dielakkan lagi. Tangannya yang berbulu lebat, dahsyat sekali menyampok tubuh Rangga. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu mental, melayang tinggi ke angkasa. Dan pada saat itu, Rajawali Putih melesat mengejar. Dengan manisnya Rangga hinggap di punggung Rajawali Putih itu.
“Khraghk...!”
“Aku tidak apa-apa, hanya sedikit sesak,” jelas Rangga seraya mengebutkan pedangnya tiga kali di depan wajahnya.
Rajawali Putih menukik deras ke arah Macan Gunung Sumbing yang menggerung-gerung dahsyat. Dengan sayapnya, burung itu menyampok tubuh berwujud harimau itu. Kibasan yang cepat dan bertenaga luar biasa itu membuat Macan Gunung Sumbing terpental ke belakang. Dan pada saat tubuhnya menghantam tembok batu, Rangga melompat bagaikan kilat seraya mengibaskan pedang pusakanya.
“Hiyaaat...!” “Graughk...!”
Tebasan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu tidak dapat dihindari lagi. Mata pedang yang berwarna biru menghantam dada Macan Gunung Sumbing. Suara raungan keras terdengar menggelegar. Dan tubuh Macan Gunung Sumbing kembali terpental ke belakang hingga menghantam rumah. Rumah itu hancur berantakan mengubur manusia harimau itu!
“Aaarghk...!”
“Gila...!”
Rangga terkesiap melihat Macan Gunung Sumbing kembali bangkit menyibakkan reruntuhan rumah yang menimbunnya. Tidak ada luka sedikit pun pada tubuhnya. Padahal tadi jelas terlihat kalau pedang Pendekar Rajawali Sakti yang terkenal dahsyat telah meng- hantam dadanya.
“Hhh! Aku tidak tahu lagi, bagaimana harus mengalahkannya,” desah Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu menggeser kakinya ke kanan dua tindak. Dan Macan Gunung Sumbing pun sudah melangkah menghampiri sambil menggerung-gerung menahan marah. Sepasang bola matanya merah menyala bagai bola api.
“Ayo! Maju kau, iblis!” dengus Rangga seraya menggerak-gerakkan pedangnya.
“Ghraughk...!”
Macan Gunung Sumbing menggerung dahsyat, dan tiba-tiba saja menerjang cepat bagaikan kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga yang sudah siap sejak tadi, langsung melompat ke atas melewati kepala manusia harimau itu. Dengan cepat dibabatkan pe- dangnya ke kepala manusia harimau itu.
Tebasan itu tepat menghantam kepala Macan Gunung Sumbing, tapi tidak mencederai sedikit pun. Bahkan dalam keadaan masih di udara, Macan Gunung Sumbing berbalik, dan langsung menyerang kembali. Buru-buru Rangga meluruk turun disertai kibasan pedangnya. Kali ini dibabatkannya ke arah kaki, tapi juga tidak membawa hasil.
Dua kali Rangga bergulingan di tanah, dan bergegas bangkit berdiri. Pada saat itu Macan Gunung Sumbing sudah menyerang kembali lebih ganas. Rangga berdiri tegak, dan segera memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Rasanya memang tidak ada gunanya lagi menggunakan pedang itu. Kini ditunggunya serangan harimau itu.
Semua orang yang melihat, pasti akan menduga kalau Rangga sudah pasrah menerima kematiannya. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bergeming sedikit pun. Padahal si Macan Gunung Sumbing sudah demikian dekat, dan sesaat lagi pasti akan menerkamnya.
“Ghrauk!”
“Hiyaaat..!”
Tepat ketika jangkauan tangan Macan Gunung Sumbing hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba saja Rangga melompat ke udara. Seketika tubuhnya cepat meluruk turun sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam penuh dan sempurna.
Duk!
Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam ubun-ubun manusia harimau itu.
“Aaarghk...!” Macan Gunung Sumbing meraung keras.
Dan belum lagi manusia harimau itu mampu melakukan sesuatu, cepat-cepat Rangga menghunjamkan dua jarinya ke bola mata Macan Gunung Sumbing. Kembali manusia setengah harimau itu meraung keras. Ditutupi mukanya dengan kedua tangannya.
“Rajawali! Bawa dia ke atas...!” seru Rangga keras seraya menjejakkan kakinya di tanah.
“Khraghk...!”
Rajawali Putih yang sejak tadi melayang-layang di angkasa, langsung meluruk turun. Disambarnya kepala Macan Gunung Sumbing dengan cakarnya, dan langsung dibawanya ke angkasa. Pada saat itu, Rangga melesat tinggi dan kemudian hinggap di punggung Rajawali Putih.
Sret!
Cahaya biru kembali berpijar begitu Rangga mencabut pedang pusakanya. Tepat pada ketinggian tertentu, Rangga nekad melompat turun, dan langsung menghunjamkan pedangnya ke mulut Macan Gunung Sumbing. Dan begitu pedangnya ditarik, Rangga kembali menghunjamkan ke arah jantung.
“Lepaskan, Rajawali...!” teriak Rangga yang saat itu keseimbangan tubuhnya mulai kendur.
Rajawali Putih melepaskan cengkeramannya, sehingga Macan Gunung Sumbing meluruk jatuh ke bawah tanpa dapat dicegah lagi. Dan Rajawali Putih segera menukik menghampiri Rangga yang saat itu juga sudah turun deras. Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh tepat di punggung Rajawali Putih.
Tampak Macan Gunung Sumbing terjatuh keras menghantam tanah. Pada saat yang sama, Rajawali Putih menukik turun dan cakarnya langsung menyambar tubuh manusia harimau itu. Kembali tubuh Macan Gunung Sumbing dibawa tinggi ke angkasa, lalu dijatuhkan lagi. Tiga kali Rajawali Putih melakukan hal itu, sehingga Macan Gunung Sumbing tidak berdaya lagi. Pada jatuhnya yang ketiga kali, tubuh Macan Gunung Sumbing menggelepar sambil menggerung-gerung kesakitan. Rangga cepat melompat, dan segera membabatkan pedangnya ke leher si manusia harimau itu.
Cras!
“Aaargh...!” Macan Gunung Sumbing meraung keras.
Leher Macan Gunung Sumbing langsung putus terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga segera melompat mundur, dan menyarungkan pedangnya kembali di balik punggung. Hanya sebentar Macan Gunung Sumbing mampu bergerak, sesaat kemudian tidak berkutik lagi. Darah mengucur deras dari kepala yang buntung.
Kembali perubahan terjadi. Tubuh yang tadinya penuh bulu itu, perlahan-lahan kembali berubah menjadi manusia, menjadi si Macan Gunung Sumbing yang kini tanpa kepala. Rangga menarik napas panjang, kemudian menoleh saat mendengar suara-suara langkah kaki mendekati. Tampak Dewi Tanjung dan Paman Waku serta beberapa penduduk menghampirinya.
“Kau tidak apa-apa, Kakang?” nada suara Dewi Tanjung terdengar cemas, namun juga gembira.
“Tidak,” sahut Rangga pelan.
“Rangga, bagaimana kau mengetahui kelemahannya?” tanya Paman Waku.
“Otak,” sahut Rangga singkat.
“Otak...?!”
Rangga hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Paman Waku. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian menatap Dewi Tanjung lekat-lekat, lalu melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dewi Tanjung berlari menghampiri.
“Kau akan pergi juga, Kakang?” tanya Dewi Tanjung agak tersendat.
“Ya,” sahut Rangga mendesah, namun terdengar mantap.
“Kembalilah ke padepokanmu. Kau belum siap untuk terjun dalam dunia persilatan. Masih banyak yang harus dipelajari, terutama menyempurnakan ilmu yang sudah kau miliki.”
“Kita akan bertemu lagi, Kakang?”
“Ya, kita akan bertemu lagi jika kau sudah menyempurnakan ilmu yang kau miliki,” jawab Rangga sambil tersenyum. Lalu dia segera memerintahkan Rajawali Putih untuk pergi. Burung rajawali raksasa itu berkaokan, seakan-akan mengucapkan selamat tinggal. Sebentar kemudian burung itu sudah membumbung tinggi ke angkasa. Sementara saat itu matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Paman Waku menghampiri Dewi Tanjung, lalu menepuk pundak gadis itu.
“Maafkan. Seharusnya aku tahu bahwa kau putri sahabatku,” ucap Paman Waku pelan.
“Sungguh aku tidak tahu kalau si Raja Obat punya putri yang tangguh dan cantik.”
“Dari mana Paman tahu?” tanya Dewi Tanjung terkejut.
“Jurus ‘Bidadari Penyebar Maut’ yang kau mainkan tadi.”
“Ohhh...,” Dewi Tanjung menarik napas panjang. Dewi Tanjung tidak mampu menolak tawaran Paman Waku untuk singgah di rumahnya. Mereka berjalan menuju ke rumah Paman Waku, sementara para penduduk Desa Weru mulai sibuk mengurus mayat yang bergelimpangan akibat pertarungan sepanjang malam tadi.***
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
28. Pendekar Rajawali Sakti : Macan Gunung Sumbing
AksiSerial ke 28. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.