BAGIAN 3

929 35 0
                                    

Kuda hitam pekat itu melangkah perlahan. Ayunan kakinya begitu teratur seperti tahu keinginan majikannya. Di punggungnya duduk seorang pemuda berwajah tampan dan berkulit kuning langsat. Baju rompi putih yang bagian dadanya terbuka lebar, meriap dipermainkan angin senja. Rambutnya hitam panjang tergelung ke atas. Sebagian meriap melambai- lambai mengikuti irama derap langkah kaki kuda itu.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Belum lagi hilang suara bentakan itu, mendadak di depan muncul seorang gadis cantik. Bajunya putih ketat, dan pedangnya tersampir di punggung. Gadis itu berdiri bertolak pinggang sambil menatap tajam. Pemuda di atas punggung kuda hitam itu langsung menghentikan langkah kudanya, dan tetap duduk dengan sikap tenang.
"Nisanak, apa maksudmu menghalangi jalanku?" tanya pemuda itu sopan dan lembut.
"Jangan berlagak bodoh, Pendekar Rajawali Sakti! Apa maksudmu datang ke Desa Weru!" dengus wanita itu ketus.
"He...! Kau tahu namaku...?!" pemuda yang berada di punggung kuda hitam itu terkejut, karena wanita itu tahu nama julukannya. Pemuda itu memang Pendekar Rajawali Sakti yang bernama asli Rangga.
"Hhh! Hanya orang bodoh saja yang tidak tahu siapa dirimu!" kembali wanita itu mendengus.
"Nisanak, aku tidak kenal dirimu. Dan rasanya di antara kita tidak pernah ada persoalan apa-apa. Kenapa kau menghadang jalanku dengan sikap permusuhan?" Rangga mencoba lembut.
"Di antara kita memang belum pernah punya persoalan. Aku hanya ingin memberi peringatan saja padamu, Pendekar Rajawali Sakti!" tetap ketus nada suara wanita itu.
"Peringatan? Peringatan apa, Nisanak? Hm..., kalau boleh tahu, siapa namamu?" Rangga masih tetap lembut meskipun wanita itu tetap ketus.
"Mungkin kau sudah mendengar julukan Bidadari Pencabut Nyawa! Itulah diriku. Dewi Tanjung atau si Bidadari Pencabut Nyawa. Jelas...!?"
"Hm...," Rangga menggumam pelan. Sama sekali belum pernah didengar nama wanita itu.
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya. Dilangkahkan kakinya dua tindak ke depan, dan dibiarkan kuda hitamnya melenggang ke tepi, mendekati segerumbul rumput hijau yang subur di bawah pohon kamboja.
"Kuperingatkan sekali lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Tinggalkan segera Desa Weru, atau kau berhadapan denganku!" dingin nada suara Dewi Tanjung.
"Ha ha ha...!" Rangga tidak dapat lagi menahan tawanya. Seketika itu juga tawanya meledak mendengar peringatan wanita yang mengaku bernama Dewi Tanjung atau berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa. Memang satu hari ini sudah dua orang memperingatkannya untuk pergi dari Desa Weru. Hatinya benar-benar terasa tergelitik, sehingga tidak bisa menahan tawanya.
"Diam! Tidak lucu...!" merah padam wajah Dewi Tanjung.
Rangga langsung diam, tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum menahan tawa. Sedangkan Dewi Tanjung semakin merah wajahnya. Dirasakan kalau Rangga telah meremehkan peringatannya.
"Aku tidak main-main, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak ingin melihat mukamu lagi di desa ini!" tegas kata-kata Dewi Tanjung.
"Baik, aku akan pergi secepatnya. Tapi tolong jelaskan, mengapa kau menginginkan aku pergi dari Desa Weru?"
"Kau tidak perlu tahu, Kisanak!" dengus Dewi Tanjung ketus.
"Kalau aku mencari tahu sendiri?"
"Heh...?!" Dewi Tanjung terkejut setengah mati. Rangga mengangkat bahunya, kemudian melangkah ringan mendekati kudanya. Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu. Kemudian dia duduk di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Sebatang rumput dicabut, kemudian diselipkan di sudut bibirnya.
Dewi Tanjung semakin geram melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti itu. Dengan ujung jari kakinya dikutiknya sebatang ranting kering, lalu disentilnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Sentilan yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu sungguh luar biasa. Ranting kering itu meluruk deras bagai sebatang anak panah lepas dari busur.
"Uts!"
Rangga mengegoskan kepalanya sedikit ke samping. Ranting kering yang rapuh itu menancap sampai setengahnya di batang pohon di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga berdecak kagum melihat tenaga dalam yang dimiliki gadis itu. Memang boleh juga. Ranting kering yang rapuh itu bagai sebatang baja kuat, dan sanggup menembus batang kayu yang cukup besar dan kokoh.
"Sudahlah, Nini Dewi. Aku tidak ada waktu bermain-main denganmu," ujar Rangga sengit.
"Aku tidak minta kau bermain denganku, yang kuminta, enyahlah dari sini!" dengus Dewi Tanjung.
Rangga bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya gadis berbaju putih itu. Meskipun masih kesal, tapi dia melompat juga ke punggung kudanya. Rangga benar-benar tidak ingin berurusan dengan gadis yang begitu galak. Dia berdecak dan menghentakkan tali kekang kudanya. Dewa Bayu segera melenggang setelah meringkik satu kali.
Dewi Tanjung memandangi kepergian Rangga. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis karena berhasil mengusir Pendekar Rajawali Sakti. Bidadari Pencabut Nyawa itu masih berdiri tegak meskipun Rangga sudah jauh, dan menghilang di dalam hutan, tubuhnya baru berbalik setelah bayangan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak terlihat lagi. Namun baru saja berbalik, mendadak sebuah bayangan melesat.
"Kau...!?" Dewi Tanjung terkesiap begitu melihat jelas bayangan itu.
Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, bayangan itu sudah kembali melesat menerjangnya. Dewi Tanjung langsung melentingkan tubuhnya ke belakang, dan berputaran beberapa kali di udara. Namun sosok bayangan itu terus mencecarnya, dan tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk bernapas.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Dewi Tanjung melentingkan tubuhnya ke atas. Dengan manis sekali kakinya hinggap di atas dahan pohon yang cukup tinggi. Sepasang bola matanya yang bulat bening, membeliak mendapati sesosok tubuh menyeramkan berdiri di bawah pohon itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar tawa menggelegar.
"Huh!" Dewi Tanjung mendengus berat.
Dewi Tanjung meluruk turun. Begitu kakinya menjejak tanah, muncul seorang laki-laki tinggi tegap penuh brewok. Laki-laki itu menghampiri seekor harimau sebesar anak kerbau yang tadi sempat menyerang Dewi Tanjung. Binatang buas itu mendekam sambil menggerung-gerung perlahan.
"He he he...! Hebat...! Hebat, kau bisa mengusir Pendekar Rajawali Sakti tanpa mengadu tenaga. He he he...!" laki-laki itu memuji sambil terkekeh.
"Aku tidak perlu pujianmu, Macan Gunung Sumbing! Aku datang ke sini untuk membuat perhitungan denganmu!" dengus Dewi Tanjung ketus.
"Perhitungan...? Ha ha ha...!" Laki-laki yang wajahnya penuh brewok itu tertawa terbahak-bahak. Perutnya yang sedikit buncit terguncang-guncang.
Dewi Tanjung menggeram melihat tingkah manusia seperti harimau itu. Wajahnya memang hampir menyerupai harimau peliharaannya itu. Matanya bulat merah, dan seluruh mukanya hampir tertutup brewok lebat. Kuku jari-jari tangannya runcing dan berwarna hitam. Lengannya kokoh dan dihiasi bulu tebal. Perawakan Macan Gunung Sumbing memang sungguh menyeramkan, membuat siapa saja yang melihatnya bakal merinding ketakutan!
"Ghraugh...!" harimau itu menggerung seraya membuka mulutnya lebar-lebar.
Tampak barisan giginya yang tajam bertaring. Seluruh mulutnya berwarna merah darah. Tatapan matanya begitu tajam menusuk ke arah Bidadari Pencabut Nyawa. Tapi dia tetap mendekam di samping si Macan Gunung Sumbing.
"Telah lama kutunggu kesempatan ini, Macan Gunung Sumbing! Sekarang saatnya menagih hutang padamu!" dingin sekali nada suara Dewi Tanjung.
"Dewi Tanjung! Apakah kau sudah punya nyawa rangkap sehingga berani menantangku, heh?! Dengar, bocah! Aku tidak pernah punya hutang nyawa pada siapa pun juga. Kalau aku membunuh, itu karena mereka patut dibunuh!" keras suara Macan Gunung Sumbing.
"Dan aku akan membunuhmu, karena kau juga patut dibunuh!" sambut Dewi Tanjung dingin.
"Bocah setan! Rupanya kau benar-benar cari mampus, heh?!" geram Macan Gunung Sumbing.
"Kita lihat, siapa di antara kita yang lebih dahulu ke neraka!" tantang Dewi Tanjung tegas.
"Phuih! Baru kali ini aku ditantang bocah ingusan!" dengus Macan Gunung Sumbing sinis.
"Tantanganku yang akan mengirimmu ke neraka, Macan Gunung Sumbing!"
"Bocah gendeng! Kupatahkan batang lehermu. Hiyaaat...!" Mendapat tantangan terbuka itu, Macan Gunung Sumbing tidak bisa lagi menahan luapan amarahnya.
Cepat sekali tubuhnya melompat sambal menjulurkan tangannya ke depan. Kuku-kukunya yang hitam runcing, mengembang siap mengoyak tubuh indah Bidadari Pencabut Nyawa. Namun terjangan yang cepat itu manis sekali dielakkan wanita itu. Dewi Tanjung menggeser kakinya ke kanan sambil memiringkan tubuhnya sedikit. Dan dengan kecepatan kilat, dilayangkan tendangan ke arah perut Macan Gunung Sumbing.
"Phuah!"
Macan Gunung Sumbing menyumpah serapah. Buru-buru ditarik tubuhnya ke belakang, sehingga tendangan bertenaga dalam cukup tinggi itu luput dari sasaran. Laki-laki berwajah mirip harimau itu kembali menyerang ganas. Kedua tangannya selalu merentang dan jari-jarinya terbuka lebar. Kebutan tangannya begitu cepat dan kuat. Angin kebutannya mengandung hawa panas yang menyengat.
Dewi Tanjung menyadari betul kalau saat tengah berhadapan dengan tokoh sakti yang berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya. Wanita itu berkelit dan berlompatan menghindari setiap serangan yang datang sambil sesekali mengirimkan serangan balasan. Bidadari Pencabut Nyawa itu juga tidak tanggung-tanggung lagi, langsung dipergunakanlah jurus-jurus yang dahsyat dan diandalkan.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit. Masing-masing berusaha untuk merobohkan lawannya. Tidak terasa, mereka sudah mengeluarkan sepuluh jurus. Namun pertarungan nampaknya masih terus berlangsung. Tempat di sekitar pertarungan itu sudah tidak karuan lagi. Porak-poranda bagai diterjang amukan dua manusia raksasa. Pohon-pohon besar dan kecil bertumbangan. Batu-batu pecah berantakan. Debu mengepul di udara, menambah pekatnya suasana. Namun pertarungan masih saja berlangsung. Bahkan semakin sengit.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Macan Gunung Sumbing berteriak keras. Dan tahu-tahu tubuhnya sudah berputar cepat mengelilingi Dewi Tanjung. Sesaat Bidadari Pencabut Nyawa itu jadi kelabakan, karena tidak tahu lagi di mana lawannya berada. Yang terlihat hanya bayangan berkelebat cepat mengelilingi tubuhnya. Dan belum lagi gadis itu menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu Macan Gunung Sumbing melepaskan satu pukulan keras yang tidak terduga sama sekali.
"Akh...!" Dewi Tanjung memekik keras tertahan. Tubuhnya limbung terhuyung-huyung. Satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi berhasil mendarat di punggungnya. Dan selagi tubuhnya terhuyung, kembali Macan Gunung Sumbing melepaskan satu pukulan disertai teriakan menggelegar.
"Hiyaaa...!" "Aaakh...!"
Pukulan itu tidak bisa dielakkan lagi. Dewi Tanjung memekik keras dan tubuhnya terlontar sejauh beberapa tombak. Dua batang pohon langsung hancur berantakan terlanda tubuh ramping gadis itu.
Namun Dewi Tanjung masih berusaha bangkit berdiri. Pukulan Macan Gunung Sumbing yang telah menghantam dadanya, membuatnya jadi sukar bernapas. Dan selagi mencoba bangkit berdiri, darah segar termuntahkan dari mulutnya.
"Ha ha ha...!" Macan Gunung Sumbing tertawa terbahak-bahak.
"Setan...!" dengus Dewi Tanjung menggeram.
Cepat Bidadari Pencabut Nyawa itu menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, kemudian mencabut pedangnya.
Sret...!
Pedang berwarna hitam pekat itu telah tergenggam erat di tangan kanan, melintang di depan dada. Disekanya darah yang masih tersisa di mulut dengan punggung tangan kiri. Sepasang bola matanya menatap tajam penuh kemarahan.
"Ghraugh...!" tiba-tiba harimau yang sejak tadi mendekam diam, bangkit berdiri sambil menggerung keras.
"He he he.... Rupanya kau ingin mendapat bagian juga, Belang. Baiklah! Aku serahkan dia untukmu," ujar Macan Gunung Sumbing terkekeh.
"Phuih!" Dewi Tanjung menyemburkan ludahnya. Bidadari Pencabut Nyawa itu menggeser kakinya ke samping beberapa langkah. Sedangkan Macan Gunung Sumbing melangkah mundur, memberi kesempatan harimau peliharaannya untuk maju. Dari bibirnya yang tipis tertutup brewok, masih terdengar tawa terkekeh. Sementara Dewi Tanjung kembali menggeser kakinya. Pandangannya tajam tertuju pada binatang buas sebesar anak kerbau itu.
"Auuum...!" Harimau itu mengaum keras.
Dan belum lagi hilang suara aumannya, binatang buas itu sudah melompat cepat menerkam. Dewi Tanjung melompat ke samping sambil membabatkan pedangnya ke tubuh binatang mengerikan itu. Tapi sungguh di luar dugaan, ternyata binatang itu mampu berkelit dengan memutar tubuhnya di udara. Tebasan Dewi Tanjung hanya mengenai angin. Dan secepat itu pula, harimau belang itu berbalik. Langsung diterkamnya kembali tubuh ramping itu dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa.
"Haaait..!"
Dewi Tanjung melompat ke belakang seraya mengibaskan pedangnya. Tapi harimau itu tetap maju menerjang, dan....
Dug! "Heh...!"
"Ha ha ha...!"
Dewi Tanjung terkejut bukan main begitu pedangnya membabat bagian perut harimau sebesar anak kerbau itu. Rasanya seperti menghantam sekarung kapuk saja. Pedangnya terpental balik, sedangkan harimau itu tidak mengalami luka sedikit pun. Dewi Tanjung bergegas melompat mundur. Diperiksa mata pedangnya, ternyata tak ada yang gompal. Kemudian, dipandangi tajam-tajam harimau yang menggerung-gerung memamerkan taringnya.
"Gila! Binatang apa ini...?" dengus Dewi Tanjung. "Graugh...!" harimau itu menggeram.
Binatang itu merendahkan tubuhnya sedikit, dan tiba-tiba melompat hendak menerkam Dewi Tanjung. Sesaat, Bidadari Pencabut Nyawa itu terperangah, sehingga tidak sempat lagi menghindar. Namun pada saat yang sangat kritis, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat menghajar harimau itu.
"Grrraaaugh...!" harimau itu meraung keras.
Tubuh binatang itu terpental cukup jauh ke belakang, menghantam sebongkah batu hingga hancur berantakan. Sebelum ada yang sempat menyadari, bayangan putih itu sudah berkelebat lagi. Langsung saja disambarnya tubuh Dewi Tanjung, dan seketika itu juga lenyap tak berbekas.
"Setan keparat....!" geram Macan Gunung Sumbing begitu tersadar.
Tapi Dewi Tanjung sudah lenyap, bersama lenyapnya bayangan putih itu. Macan Gunung Sumbing menggerutu dan memaki-maki geram. Sedangkan harimau belang yang sangat besar itu menggerung-gerung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia melangkah menghampiri si Macan Gunung Sumbing, lalu mendekam di depan laki-laki berwajah kasar penuh brewok itu. Geramannya terdengar lirih, dan kepalanya terkulai rata dengan tanah.
"Bukan hanya kau yang kecewa, Belang. Huh! Siapa pun orangnya yang berani usil, akan kurobek-robek tubuhnya!" dengus Macan Gunung Sumbing geram.
"Grrr...!" Harimau itu menggerung pelan, seakan menyetujui ucapan majikannya.
"Ayo, Belang. Masih banyak yang harus dikerjakan," ajak Macan Gunung Sumbing.
Harimau itu bangkit berdiri dan melangkah lenggang mengikuti Macan Gunung Sumbing. Sepertinya mereka melangkah biasa saja, tapi kecepatannya melebihi orang berlari sekuat tenaga. Bahkan sebentar saja sudah lenyap tertelan lebatnya pepohonan di sekitar perbatasan utara Desa Weru.
Saat itu, tidak berapa jauh dari tempat pertarungan tadi, tampak Dewi Tanjung bergulir jatuh bergelimpangan di tanah. Tidak jauh darinya berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Baju rompi putihnya berkibar-kibar tertiup angin. Dewi Tanjung bergegas bangkit berdiri. Dikibaskan debu yang melekat di bajunya, kemudian dimasukkan pedangnya kembali ke dalam sarungnya di punggung. Tatapannya langsung tertuju pada pemuda tampan yang menolongnya dari maut.
"Huh! Kau lagi...!" rungut Dewi Tanjung begitu mengenali pemuda itu. Memang dewa penolongnya itu tidak lain dari Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa kau sampai bentrok dengan Macan Gunung Sumbing?" tanya Rangga tidak menghiraukan gerutuan gadis itu.
"Bukan urusanmu!" dengus Dewi Tanjung seraya melangkah ingin pergi.
"Hey...! Tunggu...!" Rangga melompat, dan tahu-tahu sudah berdiri menghadang.
"Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Dewi Tanjung ketus.
"Bukan itu yang kuinginkan," kata Rangga.
"O..., jadi kau meminta imbalan?" sinis sekali nada suara Dewi Tanjung.
Rangga mendengus kesal juga terhadap sikap ketus gadis ini, tapi masih bisa ditahan kekesalannya. Dia hanya ingin tahu, kenapa gadis ini bisa bentrok dengan Macan Gunung Sumbing. Sementara hampir seluruh penduduk Desa Weru sedang dicekam perasaan takut. Dan tidak jarang mereka menyebut-nyebut nama Macan Gunung Sumbing sebagai pelaku utama pembantaian di Desa Weru.
Bukannya ingin tahu urusan orang lain, tapi Rangga merasa perlu ikut campur. Apalagi dia pernah bentrok dengan Macan Gunung Sumbing. Rangga tahu betul kalau tokoh sakti itu sukar ditandingi. Terutama bina- tang peliharaannya yang sangat kebal dan kuat luar biasa. Sepertinya memang bukan harimau sungguhan.
Rangga juga sempat mendengar beberapa pembicaraan yang membuatnya harus berpikir keras mencari kebenaran. Kalau saja apa yang didengar dari beberapa penduduk Desa Weru itu benar, sudah menjadi kewajibannya untuk menghentikan sepak terjang Macan Gunung Sumbing. Dan tadi, Macan Gunung Sumbing hampir menewaskan seorang gadis yang ketus, angkuh, dan keras kepala.
"Tunggu apa lagi? Imbalan apa yang kau inginkan?" sinis nada suara Dewi Tanjung.
"Pergilah!" dengus Rangga jadi muak.
"Ha ha ha...!" Dewi Tanjung tertawa terbahak-bahak melihat wajah Pendekar Rajawali Sakti itu jadi bersemu merah.
Gadis itu memang sengaja membuka sedikit bagian atas dadanya, sehingga tampak sedikit dua bukit kembar yang putih dan mulus. Sambil memperdengarkan suara tawanya, gadis itu cepat melangkah pergi.
Rangga bersungut-sungut sendirian.
"Dasar...!"

***

28. Pendekar Rajawali Sakti : Macan Gunung SumbingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang