12. First Touch

2.7K 137 5
                                    


"Sorry, karena sudah kasar padamu." Adib sekali lagi minta maaf.

Tak seucap kata pun terlontar dari bibirku. Getir, itulah yang aku rasakan saat ini.

Hening. Kamar ini senyap dan dingin. Aku masih tak bergerak di pembaringan pura-pura tidur. Tak lama, Adib lalu bangkit dan berjalan menuju keluar kamar.

***
Sayup suara azan telah terdengar, kokok ayam pun saling bersahutan, memanggil mentari untuk segera bersinar. Aku menggeliat sesaat, dan tersentak saat tangan menyentuh sesuatu. Sepertinya Adib di sana. Di sampingku berbaring. Apa semalam dia tidur seranjang denganku? Segera aku meraba ke sekujur tubuh. Jilbab kaus dan bajuku masih sempurna melekat, itu tandanya Adib tidak melakukan apa-apa padaku.

Tubuh itu pun bergerak. Perlahan matanya terbuka dan kami saling bertatapan.

Pria itu tersenyum dan berkata, "selamat pagi, Zui." Suaranya serak, khas orang bangun tidur.

Seolah masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Dan hanya mengangguk menjawab sapaannya.

Pria itu bangkit dan menuju kamar mandi. Aku menunggu untuk bergantian kamar mandi dengan duduk di sofa membaca beberapa pesan singkat yang masuk semalam.

Setelah beberapa saat, Adib keluar dengan hanya handuk yang melilit pinggang, aroma shampo dan sabun menguar dari tubuh atletisnya.

Seketika aku memekik menutup mata melihatnya bertelanjang dada.

"Kenapa kamu terkejut seperti itu, Zui? Bikin kaget saja."

"Mas, kamu- kamu kenapa? Maksudku apa kamu gak bisa pake kimono dan gak seperti itu!"

Terdengar Adib mendesah kasar.

"Mulai sekarang, biasakan melihatku seperti ini. Masa' iya aku harus tutup aurat terus di kamar sendiri."

Setelah Adib melangkah ke depan almari, aku segera berlari menuju kamar mandi dan menguncinya rapat.

***

"Hari ini kalian mau ke rumah Medina lagi?" tanya Papa saat kami menikmati sarapan.

Adib memandangku sesaat, lalu berkata, "iya, Pak."

"Sampai kapan kamu mau pura-pura dengannya? Kenapa tidak jujur saja kalau kalian sudah menikah." Mama menimpali.

Tanganku berhenti menyuap mendengar ucapan Mama. Seketika mata memanas dan dada serasa sesak.

"Bagaimana pun, cepat atau lambat Medina akan tahu. Apa untungnya menutupinya sekarang." Lanjut wanita itu lagi.

"Kami menunggu sampai Medina benar-benar siap, Ma. Aku tidak ingin dia mengetahui hal itu saat kesehatannya belum benar-benar sembuh." Adib berkata, lalu pria itu menyesap segelas air putih di depannya.

"Dan selama itu juga kamu masih memperlakukannya layaknya seorang kekasih, bermesraan di depan istrimu." Tiba-tiba Mama berkata ketus pada Adib.

Sedangkan lelaki itu diam. Dari ekor mata dia melihatku sekilas.

"Apapun alasannya, Zui istri sahmu Adib. Kamu gak bisa berbuat seakan-akan kalian belum menikah. Jaga perasaannya, dong."

"Ma ...." selaku dengan suara bergetar.

"Zui, kamu juga. Bagaimana bisa kamu diam terus selama suamimu berduaan dengan temanmu sendiri. Ingat ya, Mama gak mau punya menantu dua."

"Ma!" Adib berkata datar, menekan ucapnya seraya menatap ibunya yang hanya melengos dan meninggal meja makan.

"Mamamu benar, Dib. Cepat selesaikan urusanmu. Jangan bairkan masalah kalian berlarut-larut gak jelas seperti ini." Papa pun ikut bicara dan menyusul Mama.

Pengantin Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang