18

3.2K 140 25
                                    

Tak ada yang lebih menyakitkan dari diabaikan seorang Medina

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak ada yang lebih menyakitkan dari diabaikan seorang Medina. Amarah dan tangisannya bak pedang yang menyayat hati. Perih dan sakit. Aku pun ingin meronta saat Medina menjauh, dia menolak untuk kudekati. Padahal sebelum kisah pengantin bayangan bermula, aku lah satu-satunya orang yang bisa meluluhkan hatinya, yang siap menjadi bahu untuknya bersandar. Namun kini, semua serasa benang kusut. Lingkaran setan yang tak bisa diperbaiki.

Andai aku bisa memilih antara menjadi istri Mas Adib atau menjadi sahabat Medina, pasti dekat dengan gadis manja dan egois itu pilihanku. 'Me ... andai kau tak memaksaku menjadi pengantin bayanganmu, mungkin saat ini kita tengah menikmati es kelapa muda di kafe langganan.'

Ya Allah ... ampuni aku yang masih saja mengeluh dengan semua takdir yang telah kau tulis, ampuni aku yang mengabai tiap nikmat yang harusnya lebih aku syukuri daripada berkeluh kesah. Ampuni aku, ya Robb ....

Sejak kepulangan dari rumah sakit tadi pagi, tangis tak henti-hentinya berderai. Sesak yang kurasakan mengacuhkan pinta maaf Mama karena telah berkata hal yang tak pantas pada Medina.

"Jangan minta maaf pada Zui, Ma ... Medina yang harusnya menerima itu."

"Iya, tapi gara-gara Mama kamu jadi sedih begini."

"Zui sedih bukan karena Mama, Zui sedih karena merasa tidak berguna bagi sahabat Zui yang sedang membutuhkan dukunganku. Aku yang mengkhianati Meme, aku yang membuat gadis itu terluka demikian parah." Tangisku pecah kembali. Bahu berguncang hingga aku harus menutup wajah untuk menyembunyikan wajah, rasanya ingin menenggelamkannya ke bumi.

"Jangan salahkan dirimu seperti itu, Zui." Mas Adib mengusap bahuku. Menepuk pelan punggung.

"Aku juga bersalah pada Medina. Seharusnya aku tidak ---"

"Sudah sudah. Cukup! Kalian ini kenapa, si? Menyalahkan diri sendiri. Apa kalian juga mau bilang semua gara-gara Mama memaksa kalian menikah?" Mama memekik, ia mendengkur kasar kemudian meninggalkan kami.

Aku masih sesenggukan, dada rasanya sesak. Sepertinya aku tidak bisa tinggal di rumah ini sekarang.

"Mas, aku mau ke rumah Ibu."

Mas Adib membuka tangan yang sejak tadi menutupi wajahnya. Wajahnya tak kalah berantakan dan kuyu.

"Apa tidak sebaiknya kamu di sini dulu sampai semua kembali tenang?"

Aku menggeleng. "Enggak, Mas. Semakin aku tinggal di sini semakin aku merasa bersalah pada Meme. Seenggaknya di rumah Ibu nanti aku akan sedikit tenang."

"Baiklah. Kamu siap-siap, nanti aku antar."

"Gak usah, Mas, aku naik gojek aja."

"Zui ... ini hampir malam. Aku takut kamu kenapa-napa di jalan."

Baiklah, aku menyerah. Meski saat ini menjauh dari Mas Adib adalah caraku meredam gejolak di dada, menuruti kemauannya juga bukan hal yang salah.

Kuantar kepergian lelaki itu dengan tatapan. 'Jika berpisah denganmu bisa melerai semua masalah, aku rela melakukan hal yang paling dibenci tapi mubah oleh Allah itu, Mas.'

Pengantin Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang