10. Benang Kusut

2.5K 128 9
                                    

Saat kumembuka mata, ada Fatir yang entah sejak kapan tiba. Dia segera memegang pergelangan tanganku, layaknya seorang dokter memeriksa pasien.

Setelah itu kami menyusul Adib ke rumah sakit dan keterkejutanku bertambah saat mengetahui bahwa Fatir adalah seorang dokter yang juga menangani Medina. Ternyata dia mengetahui semua dari Ibu yang juga mengalami luka ringan. Kedatangannya diharapkan bisa menghentikan pernikahanku dan Adib, tapi semua gagal.

Entahlah, rangkaian takdir seolah bak benang kusut saat ini. Tiba-tiba Adib menjadi suamiku dan Fatir dokter yang menangani Medina.

Aku beringsut saat Fatir dan beberapa suster tiba, lelaki berseragam putih itu menanyakan keadaan Meme yang jelas tampak tidak baik. Medina mengalami patah tulang dan butuh waktu yang cukup lama untuk sembuh.

Tak percaya rasanya, Memeku harus mengalami kecelakaan separah ini. Pasti hatinya semakin hancur jika mengetahui pernikahan antara aku dan kekasihnya. Walaupun semua sepakat untuk menutupinya, tapi sampai kapan? Bangkai itu pasti akan tercium.

Lagi, sebulir bening menetes di pipi saat Medina merintih kesakitan. Matanya terpejam dengan lelehan buliran bening di sudut mata.

Kugenggam tangan lemahnya erat, berharap bisa menyalurkan kekuatan untuk gadis dengan perban di sebagian wajah. Tak tega hati ini melihatnya berbaring tak berdaya selama berhari-hari.

Mengingat tawa dan senyumnya seperti tak pantas gadis cantik ini dengan selang-selang di beberapa bagain tubuhnya.

"Me ... bangun, Sayang ...." rintihku.

"Kamu lupa, akan menceritakan betapa serunya malam pertamamu? Gadis mesum sepertimu tak layak terbaring seperti ini."

Aku tergugu dalam tangis. Mengabaikan tatapan Adib dan Tante Ros yang duduk di sofa. Namun, mata itu masih juga tak terbuka. Mengatup rapat.

***

Aku duduk terpaku di sisi ranjang penuh dengan bunga harum menyeruak indra penciuman. Dekorasi kamar pengantin yang indah, didominasi warna biru, warna kesukaan Medina.

Ya. Memang, tak seharusnya aku di sini. Masuk bahkan duduk menikmati ranjang empuk dengan sprei warna biru muda yang menjuntai hingga ke lantai.

Kupukul dada yang terasa sesak, berharap bisa melonggarkan beban yang mendesak. Air mata sudah tak lagi bisa dibendung.

Terdengar derap langkah mendekat. Adib sudah selesai mandi rupanya. Rambutnya basah dengan kimono melekat di tubuh.

"Jangan salah sangka, aku melakukan semua ini demi Mama. Bahkan sekamar denganmu seperti ini pun bukan kemauanku." Lelaki itu berkata tanpa melihat ke arahku.

"Aku tahu." Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Berharap guyuran air bisa merilekskan tubuh setelah seharian di rumah sakit.

Saat selesai membersihkan diri, tak kulihat Adib di kamar. Mungkin dia memilih untuk tidur di luar. Kulirik jam di dinding, sudah pukul sembilan malam.

Aku hanya terpaku memandangi ranjang berukuran besar itu. Menyentuh dengan ujung jari lalu melangkah menuju sofa panjang dan mengeyakkan tubuh di sana.

***

"Apakah ini alasanmu tidak menerima lamaranku?" tanya Pria itu.

"Maaf, Fatir, maaf." Hanya itu yang keluar dari mulutku.

Kami masih berada di koridor rumah sakit saat ini. Mengabaikan beberapa tatapan yang melihat kami dengan berbisik. Sebenarnya aku sedikit terganggu, tapi selalu gagal menolak kemauan lelaki ini.

"Jangan minta maaf, Zui, aku, akan tetap menunggumu sampai kapan pun."

Mata ini terbelalak mendengar ucapan lelaki di depanku. Tatapannya nanar menatap, seperti ada kesungguhan dalam kata-katanya.

Pengantin Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang