20 (Ending versi online)

5.1K 196 45
                                    

Medina tampak terkejut dengan kehadiranku. Pun Fatir. Lelaki itu membulatkan mata dengan wajah memerah. Namun, segera berdeham, seolah sedang menguasai diri.

"Kamu salah sangka, Zui ... yang dimaksud Medina bukan dia hamil, tapi kandungnya, rahimnya sehat."

Aku mengerutkan dahi, tak yakin dengan yang diucapkan Fatir. Benarkah yang dimaksud itu.

Mataku menatap tajam pada Medina yang meremas kedua tangan, gadis itu mengerjapkan mata indahnya dan menggigit bibir bawah. Kebiasaannya saat gugup dan menutupi sesuatu.

"Benarkah itu, Me?"

"I-iya, Zui ... apa kamu tidak percaya padaku?"

Meskipun hati kecil ini berteriak mereka sedang menyembunyikan sesuatu, tapi tak ada yang bisa kulakukan selain percaya. Karena kehadiranku saat ini untuk menarik kepercayaan Medina tentang pernikahanku pada Mas Adib.

Berkali-kali kucoba untuk mengajak Medina untuk membahas hal itu, tapi usahaku gagal. Medina sama sekali tidak mau mendengar keteranganku, menghindar percakapan tentang hubungan kami. Dia malah membahas rencana pernikahannya dengan Fatir yang tinggal di depan mata.

'Me ... aku merindukanmu. Mari kita bicara dari hati ke hati walaupun itu membuat kita terluka. Itu lebih baik bagiku daripada harus memendam rasa dan menyimpannya sebagai rahasia. Sakit, Me, sakit.'

Akhirnya akad nikah pun terlaksana. Pernikahan yang sama sekali tak pernah diimpikan Medina. Karena aku tahu bagaimana impian hari bersejarah gadis itu terwujud. Resepsi yang mewah, ribuan tamu undangan, aneka macam hidangan lezat, hiburan yang meriah, dan ini?

Pernikahan siri yang hanya dihadiri sanak famili, bahkan terkesan dadakan dan terlalu sederhana. Ada apa denganmu, Me? Aku yakin Om Rijal masih mampu membiayai pernikahan yang layak meski tak semewah saat bersama Mas Adib.

Menyadari kenyataan bahwa yang malah duduk di samping Mas Adib adalah aku, dada kembali sesak. Sekilas aku melirik lelaki berkemeja berwarna Navy senada dengan gaun yang kupakai, tengah duduk menatap lurus ke Medina yang bersimpuh di samping suaminya, Fatir.

"Lihat, Medina terlihat bahagia dengan Fatir. Kini giliranmu, Nduk," bisik Ibu yang duduk di sisi kiri membuatku sedikit tersentak.

Ibu sudah mengetahui niatku menceraikan Mas Adib sebelumnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, Ibu selalu bisa meluluhkan kerasnya hati dengan nasehatnya yang menyejukkan.

"Selain cerai itu hal yang paling dibenci Allah, pengantin bayangan itu pun tertakdir atas kehendak-Nya, Zui. Bukan semata-mata rencana yang salah. Allah pasti punya garis hidup dan menyiapkan hikmah yang besar dibalik ujian yang kalian hadapi. Jadi ... pertahankan pernikahanmu! Belajalah menerima Adib dengan hati tulus. Mencintainya dengan sepenuh hati. Ibu juga gak mau punya anak kok jadi janda kembang. Na'udzubillah minzdalik!" Ibu mencebik diakhir kalimat panjangnya yang sontak membuatku tersenyum kala itu.

"Kuatkan, Zui terus ya, Bu."

"Insyaallah."

***

Dalam perjalanan pulang, aku dan Ibu masih membahas tentang pernikahan Medina di mobil yang melaju perlahan. Mas Adib yang mengemudi hanya menyimak dan sama sekali tak ikut terlibat dalam percakapan kami di jok belakang.

"Bu, tadi Ibu lihat, kan, Medina beberapa kali menangis?" ucapku pada Ibu. Mengingat tadi beberapa kali Medina mengusap wajahnya yang basah.

"Mungkin itu tangis bahagia, karena akhirnya dia menemukan pendamping hidup seperti Nak Fatir. Fatir pria yang baik, bukan?" jawab Ibu. Seolah mengerti perasaan bersalah yang masih kurasakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pengantin Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang