14. Almost

2.7K 142 22
                                    


"Siang, Bu Zui ....," sapa seorang murid yang melintas di depanku seraya sedikit menundukkan badan.

"Siang."

Kuulas senyum di bibir, berjalan menuju gerbang. Jam pelajaran sudah usai sejak pukul 14.00 tadi dan sekitar lima menit lalu Mas Adib baru mengirim pesan jika dia tidak bisa menjemput hari ini.

[Sorry, aku ada rapat dadakan. Mungkin besok aja kita jenguk Medina.]

[Iya, Mas]

[Aku pulang sore] dia mengakhiri pesan.

Kini, kami memang tak sesering dulu mengunjungi Medina, selain karena Mama yang selalu protes usai kami mengunjunginya, juga keadaan Meme sudah jauh lebih baik saat ini.

"Lo, tumben Bu Zui gak dijemput suaminya." Ibu Endah berucap dari balik mobil hitamnya.

Wanita berseragam sama denganku itu tersenyum miring, seolah mencibir keberadaanku di trotoar yang menunggu sendirian.

"Aku duluan, ya ...." Wanita itu melambaikan tangan.

Aku hanya mengangguk mengiringi laju mobilnya.

Beginilah aku setelah menjadi istri Adibramantya. Pandangan merendahkan dan sindiran kerap kuterima.

Menikah dengan Mas Adib tak hanya membawa kepedihan dalam langkah yang terayun tiap hari. Pasalnya di tempat kerja pun aku menjadi gunjingan. Gelar penghianat tersemat di diriku. Seorang wanita yang berdansa dengan kekasih sahabatnya,  menari di atas air mata belahan jiwa Medina.

"Duh, gak nyangka ya, Bu Zui yang kelihatannya begitu baik dan akrab dengan Bu Dina ternyata menusuk temannya dari belakang." Tak sengaja kudengar obrolan Ibu Endah dan beberapa guru saat jam istirahat.

"Iya, padahal mereka kan deket banget."

"Tapi, Pak Adib kok mau juga ya?"

"Bu Dina juga salah si, pake milih Bu Zui sebagai pengantin bayangannya."

"Dengar-dengar, mereka dipaksa Bu Brata, tahu sendiri kan Bu Brata gimana."

"Pak Adibnya juga kelewat nurut sama ibunya."

"Iya, meski gimana pun Bu Zui tetep aja salah. Kan bisa dia kabur kek pura-pura sakit atau apalah. Gak harus nyakitin hati Ibu Dina."

"Ada, ya, udah semodern ini masih percaya begituan."

"Alah sudahlah, itu urusan mereka. Toh, mau bagaimana pun gaji mereka lebih besar dari gaji kita."

"Ye ... itu udah pasti."

"Hust hust Bu Zui datang."

Begitulah hari-hariku, menjadi bahan gosip hangat di sekolah. Tentu saja, selain Mas Adib juga tidak asing bagi mereka, Mama dan Papa pun orang yang diperhitungkan di lingkungan kerja kami. Sedikit saja aib yang mereka lakukan langsung menjadi bahan perbincangan yang panas.

Mereka pikir mungkin aku bahagia dan sengaja menabur garam di luka Medina. Ah, apa pun itu. Manusia tidak bisa merubah pandangan orang lain atas penilaian mereka. Tak ada guna membela diri, pun tiada arti aku klarifikasi. Mereka tetap akan melihat buruk kepadaku.

Sebuah taksi online yang kupesan beberapa saat lalu berhenti dan segera melaju membelah jalanan yang ramai setelah kuberada di dalamnya.

[Cantik, Mama dan Papa pulang kerja ke rumah saudara di Tegineneng, nanti Nala juga nyusul habis pulang kuliah. Jadi kamu jaga rumah ya. Kita balik besok pagi.] Sebuah pesan dari Mama.

[Iya, Ma. Salam untuk keluarga di sana.]

[Oke, selamat bermalam pertama.]

Ah, Mama. Candaannya tak pernah berubah.

Pengantin Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang