2. Zuyyina

8.1K 170 19
                                    


Suara jangkrik terdengar nyaring di telinga, di sambut nyayian burung malam dan binatang lain bersahutan. Kueratkan selimut menghalau dingin yang semakin menyusup. Penunjuk waktu di ponsel menunjukan angka 00.21 tapi netraku belum juga terpejam.

Menjadi pengantin bayangan adalah hal konyol yang pernah secara sadar akan kulakukan. Tapi, aku tidak bisa menolaknya karena Medina yang meminta.

Medina, si centil nan manja. How proud of you. Tak ada cacat secuil pun dari sosok gadis cantik dengan rambut lurus sebahu yang sering digerai itu. Parasnya bak titisan bidadari, mampu menyihir tiap lelaki yang memandang, adalah gambar dari kepribadiannya yang santun dan ayu.

Cerdas, ringan tangan pada siapapun yang membutuhkan, membuat kecantikannya sempurna lahir dan batin. Jika dia punya cela mungkin hanya sifat manja dan pemaksanya.

Menjadi pengantin bayangan dalam tradisi keluarga Adibramantya sangat tak masuk akal. Tapi, apalah daya Medina, gadis modern yang terjebak dalam tradisi mitos kuno. Aku pun ikut prihatin dan hanya berharap apa yang kulakukan nanti bisa meringankan beban wanita kedua yang kusayangi di dunia ini setelah ibuku. Teringat kembali obrolan dengan Medina kemarin.

"Zuiku, cintaku, cantikku, sayangku, my honey bunny sweetie bolo-bolo, mau bantu aku, gak?" rajuk Meme Aku bisa mencium gelagat gadis cantik ini saat ada maunya.

Sudah kebiasaan Medina akan merajuk seperti itu sebelum minta tolong, dan yang pasti permintaan yang tidak biasa.

"Hm, apa?" jawabku sekenanya sembari menyesap minuman yang kupesan.

"Jadi, seminggu lagi, 'kan aku nikah. Nah, adat di keluarga mas Adib itu harus pake pengantin bayangan buat jaga-jaga kalau-kalau pengantin asli gak tepat waktu, gitu." Medina menjeda ucapan. Aku sepertinya bisa menebak ke mana arah pembicaraannya.

"Trus?" Kunaikan satu alis menatapnya tajam, menunggu Medina melanjutkan ucapan, sedang tangan sibuk mengaduk es kelapa muda dengan pipet panjang.

"Kamu mau 'kan, jadi pengantin bayangannya." Manik indah itu mengerjap beberapa kali. Menjadikan bulu matanya yang lentik tampak indah dan menggemaskan.

"Gak!" Membuang muka dari pandangannya, kupasang wajah protes tidak setuju. Dari ekor mata, kutahu Meme mengerutkan bibirnya yang tipis. Memasang muka melas seperti kucing minta susu.

"Zui, please ....!"

Akhirnya aku menyerah setelah perdebatan panjang. Sesuatu yang berat dan sulit untuk berkata tidak pada Meme, entahlah. Rasa sayang padanya begitu besar. Mengingat betapa baik dan banyaknya pengorbanan Medina dalam hidupku selama ini.

Dari Zuyyina bocah yatim burik yang hampir putus sekolah, hingga kini menjadi gadis berstatus guru honorer matematika. Semua itu berkat Medina dan orang tuanya -- Om Rijal dan tante Rosmaini. Bahkan sejak saat itu, namaku tertera di kartu keluarga milik mereka. Tanpa mereka mungkin saat ini nasibku akan sama seperti Dinar, teman SMA-ku yang menjadi babu di kota.

Persahabatan kami di mulai saat kelas tiga SMP, kemudian berlanjut ke SMA, di universitas hingga kini. Kami berbagi kamar, makanan dan segala macamnya. Layaknya perangko dan amplop, aku dan Medina menempel satu sama lain. Bahkan, ada yang mengira kami penyuka sejenis. Na'udzubillah minzdalik!

Sebenarnya, aku dan Meme memiliki karakter yang berbeda. Medina yang pemberani menghadapi tantangan, sedang Zui yang selalu ragu dalam mengambil langkah. Zuyyina yang kalem dalam menghadapi masalah, Medina yang selalu menggebu-gebu. Mungkin itulah yang membuat kami bak sepasang sepatu, walaupun berbeda tapi saling melengkapi.

Jika kau tanya Medina seperti apa perumpamaan kami berdua, dia akan menjawab, "Zui itu BH dan aku CDnya. Berbeda tapi selalu bersama dalam fungsi dan kegunaan." Yah! Dia memang semesum itu.

Pengantin Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang