BAB 13 : HAPPY BIRTHDAY

315 44 7
                                    

Gue enggak tahu apa-apa, apakah dia baik atau tidak malah menjadi pertanyaan yang tidak terjawab dalam kepala gue. Namun yang gue tahu hanyalah satu, setiap orang mempunyai masalah yang terpendam dan tidak dapat diceritakan untuk semua orang

Your Home

...

Suara deritan pintu terdengar pelan begitu juga dengan derap langkah seseorang yang berjalan memasuki rumah tanpa suara. Dimas, diam-diam cowok berambut pirang itu meletakkan helm di sudut ruang tamu sejenak begitu memerhatikan sekeliling ruangan panti. Sepi, tidak ada lagi suara anak-anak yang bermain ataupun belajar bersama di ruang tengah seraya mengerjakan tugas sekolah.

Semuanya sudah tidur. Bagus, berarti tidak ada masalah penambah lagi setelah dirinya bersusah payah untuk memendam rasa kecewa pada Sam yang ia jumpai beberapa jam tadi.

"Dimas."

Baru saja sebelah tangan itu ingin memutar kenop pintu kamar, suara seseorang kini memanggilnya. Seperti biasa, lembut namun memiliki kesan tegas, satu nada yang sebenarnya ia sukai tapi entah mulai sejak kapan dirinya mulai membenci suara itu. Perlahan Dimas menoleh belakang.

"Sudah berapa kali Ibun bilang jangan pulang terlalu malam."

Tanpa suara Dimas menatap tajam, dicengkramnya kenop pintu dengan erat berharap agar dirinya masih mampu menahan emosi yang meminta diledakkan. Tidak bisakah perempuan ini membiarkan dirinya sejenak? Ah, jika tidak bisa maka Dimas berharap agar dapat menggunakan kalimat yang jauh lebih enak didengar.

Bukan dengan perintah seperti 'jangan pulang terlalu malam', dirinya yang seperti ini sudah tahu benar resiko apa yang di hadapi di jalanan sana. Mungkin jika dirinya sedang berbaik hati dirinya akan mengerti bahwa Ibun benar-benar mencemaskannya begitu sangat. Tapi dibandingkan kata jangan apakah tidak ada ucapan yang jauh lebih baik lagi? Seperti bertanya kenapa dirinya pulang malam, apa yang terjadi di luar sana, atau lebih bagusnya bila ada pertanyaan apakah dirinya baik-baik saja?

Jika pertanyaan itu ada mungkin dengan tegas Dimas akan menjawab tidak. Dirinya sangat tidak baik-baik saja, ada begitu banyak kehilangan yang di hadapinya hingga membuatnya tidak dapat dan terus menganggap dirinya berada di sini hanya untuk merasakan kehilangan yang tiada habisnya.

Kecelakaan Papa dan Mama di waktu kecil, adik kandungnya, lalu sekarang Sam yang memutuskan hubungan kekeluargaan yang tidak memiliki ikatan darah dan nanti siapa lagi? Siapa lagi orang yang akan meninggalkannya?

Pasti ada, perlahan Dimas tersenyum sinis. Tidak perlu diberitahu siapa, yang pasti baik dirinya maupun orang itu tahu akan berakhir seperti apa.

"Aku mau istirahat dulu Bun," Lagi-lagi belum sempat dirinya menginjak kamar, bahu tegap ini ditahan oleh tangan lemah Ibun, perempuan paruh baya itu masih menatapnya dengan sorot mata cemas yang tersisa. "Ibun mau bicara apa?

"Tadi ada orang dari kota sebelah datang," gumam perempuan itu begitu mengingat malam telah larut dan tidak ingin mengganggu seluruh anak yang sudah berada di alam mimpinya. "Mau adopsi salah satu dari kalian."

"Lagi," Tanpa sadar Dimas ikut menggumam, pandangan mata yang tadinya tajam kontan membulat, suara sesakan napas jelas terdengar begitu juga dengan dada yang naik turun begitu cepat. Dimas menggepalkan tangan dengan erat, lagi-lagi kenangan yang susah payah ia pendam begitu dalam berhasil menguap melintasi pikirannya begitu cepat hanya dalam hitungan detik tanpa dapat ditahan lagi.

Adopsi, pergi, seorang adik. Hanya itu tiga kata yang begitu sensitif di telinganya dan demi apa dirinya tidak ingin mendengarkannya sekarang.

Dimas menelan ludah, berbicara menekankan. "Bun, aku mau istirahat. Aku benar-benar capek setelah pulang dari band."

Your Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang