BAB 29 : SAVE MY LITTLE BROTHER 2

219 33 1
                                    

Hanya dengan saling memahami cukup bagimu untuk tidak merasa sendiri

YOUR HOME

...

Matahari yang bersinar terang kini meredup dengan cepat. Angin senja berembus pelan, membuat orang-orang yang kelelahan dari aktivitasnya dapat merenggangkan diri sejenak setelah melewati rutinitas yang tidak habisnya.

Jika perpisahan hanya memberi kesedihan. Mungkin lebih baik kita tidak akan bertemu.

Dimas meneguk ludah seketika, diperhatikannya teks dari film yang tertera dari televisi besar itu seraya mengepalkan kedua tangan dengan erat.

Jangan ditanya dirinya sedang berada dimana. Di panti? Tentu saja tidak, sulit baginya untuk menonton televisi sepuas ini jika sedang berada di panti dan satu-satunya tempat yang memungkinkan hanyalah...

Rumah Dhei. Ya, sahabat terbaiknya.

"Dhei?" panggil Dimas setengah berteriak, berusaha mungkin menyaingi suara keran yang jelas terdengar jauh lebih kuat di kamar mandi.

Hening, tak ada jawaban dari Dhei. Dimas mengernyit namun secepat mungkin tubuh itu bergerak dengan sendirinya. Diletakkan komik yang berada di genggaman lalu menuju ruangan kecil dengan pintu berwarna cokelat muda tersebut.

"Dhei..."

Pintu kamar mandi diketuk. Dimas memejamkan mata sejenak begitu samar-samar mendengar ciri khas orang muntah di dalam sana. Seperti tertahan, tidak tahu harus mengeluarkan apa sementara rasa mual sekaligus perih pasti jelas menyiksa dalam tubuhnya.

"Enggak peduli, gue masuk pokoknya."

Dimas memutar kenop, sontak mata itu membulat lalu secepatnya merangkul sebelah lengan Dhei ke bahu begitu menyadari tubuh itu nyaris saja terjatuh di saat tidak kuat lagi menopangnya di dinding.

Dhei menarik napas terengah, memejamkan mata. "Keluar dulu Dim, gue belum selesai sama urusan gue."

"Ngebiarin lo pingsan di kamar mandi sendiri? Ogah," jawab Dimas cepat. Dibersihkannya westafel dengan air keran yang masih dihidupkan lalu setengah menekan belakang leher Dhei agar tidak terlalu kesulitan memuntahkan isi dalam perutnya.

"Udah?" tanya Dimas, menoleh. Dengan wajah yang memucat dan tubuh yang melemas, Dhei mengangguk pelan. "Cuci muka lo dulu, biar segar lagi."

Dengan mata terpejam, Dhei menapung air keran di sebelah telapak tangan lalu menuruti ucapan Dimas.

"Istirahat, pulihin tubuh lo sebentar," Dimas menuntun tubuh itu ke tempat tidur kembali, menarik selimut yang berada di bawah kaki, membiarkan film yang tadi dimainkan oleh Dhei berjalan entah si pemilik itu menontonnya atau tidak sungguh Dimas tidak tahu.

"Dim," Dimas yang baru saja membalikkan badan hendak keluar dari kamar kini menghentikan langkah. Dhei memiringkan tubuh. "Lo mau kemana?"

"Dapur, ambilin air buat lo sama makanan," jawab Dimas, tampak diam-diam di balik wajah pucat itu Dhei mengembus napas lega. Dimas menatap tajam. "Udah, lo istirahat aja. Enggak bakal gue tinggalin sendirian." 

Dan benar, mungkin merupakan suatu keberuntungan bagi Dhei dalam hidupnya untuk bertemu dengan orang seperti Dimas, meskipun cenderung kasar dan menyebalkan namun Dimas tidak meninggalkan, bertemu dengan seseorang, merasakan persahabatan yang tulus tanpa meminta balasan apapun sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Dhei di saat ini. 

Your Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang