BAB 54 : YOU'RE NOT ALONE

189 27 6
                                    

Hanya dengan merasa tidak sendiri, sesederhana itu membuat hidup terasa begitu berarti

YOUR HOME

...

"One, two, three!"

Suara drum dipukul dengan kuat lalu disambut dengan suara alunan musik lainnya. Radin bersama bass yang menggantung itu mendekati mic, sementara di samping ada Rein dengan gitar listriknya.

Percaya? Sungguh kadang ingin rasanya Radin tidak ingin memercayai tapi bagaimanapun juga fakta memintanya untuk memahami. Ya, jari lentik gadis itu bermain dengan lincah, mata bulat itu memandang senar gitar dengan tekun lalu tersenyum puas setelah bagian sulit pada instrument awal berhasil dimainkan.

Seperti sebuah bayangan...
Aku menangis di dalam gelapnya
Disaat rasa sepi hadir
Kenapa begitu sulit untuk bangkit?

Hari ini. Tepat sepulang simulasi terakhir ujian sekolah. Entah bagaimana bisa si pengganggu Dimas yang senantiasa di bangku depan lab komputer itu selalu menoleh belakang, meminta jawaban.

Dan tentu saja Radin yang baik hati ini tidak akan memberikan jawaban itu.

"Semangat woi! Semangat! Haha..."

Diam-diam Radin mendelik, begitu juga Dimas yang menyeringai, dan Rein yang mengangguk kecil. Suara seseorang yang terhubung dengan video call  dari hp Radin itu tertawa puas.

Wajah pucat oval yang memenuhi layar, pandangan yang berbinar namun siapapun yang mengenal akan mengatakan pandangan sayu itu  tidak jauh berbeda seperti Radin. Dhei? Ah, siapa lagi jika bukan si berisik itu.

"Yang benar elah Din nyanyinya! Sumbang aja  gue tendang lo dari sini!"

"Udah benar ini Jumiah!" teriak Radin dengan mic, jelas terdengar dari hp yang ditegakkan di meja depan pintu.

Pandanganku tidak dapat beralih
Suaraku tak kuat untuk merintih
Rasa sakit mulai menghampiri
Memeluk tubuh yang kini terasa dingin.

Suara drum dipukul dengan kuat, bersamaan dengan gitar listrik yang dimainkan dengan lincah. Reff dinyanyikan, Radin memejamkan mata, berteriak.

Kesepian terasa menyakitkan
Jika ku terus tenggelam padanya
Aku menjulurkan tangan
Namun apakah ada yang mau meraihnya?

Ah! Tidak!
Namun aku akan berharap dan terus berusaha
Berusaha menggapai cahaya di luar sana.
Ya, aku berharap.

"Hhh... hhh..."

Radin menarik napas terengah, bulir keringat yang menumpuk di dahi itu kini pada akhirnya membasahi wajahnya. Radin menelan ludah, memerhatikan seseorang dari layar hp yang mengenakan seragam pasiennya itu dengan tajam.

Dhei sialan, pikirnya.

Lagu yang penuh teriakan dan emosi, terlebih lagi lirik yang terasa begitu sensiitif selain lagu yang dulu ia ciptakan sendiri. Dhei, cowok itu mengetahui titik lemahnya. Bagaimana tidak? Bukankah dirinya dan Dhei adalah dua orang yang sama?

Dua orang yang susah payah melawan kesakitan yang hanya bisa dipendam sendirian. Untuk bercerita rasanya terlalu kelu, ingin mengungkapkan namun rasanya tidak mampu.

Menyesakkan. Untuk kesekian kali Radin mengatur napas, menelan ludah seraya memejamkan mata sejenak berusaha untuk meredakan emosinya.

Dimas memukul drum dengan kuat. Suara gitar yang tadinya memenuhi ruang musik kini berhenti perlahan, kembali mewaraskan indera pendengarannya.

Lagu selesai dimainkan. Diam-diam Radin mengembus napas lega, syukurlah.

"Keren woi!" Suara tepukan tangan dari seberang terdengar begitu meriah. Dengan kedua sudut bibir yang terangkat puas, Dhei mendekatkan dua jempolnya pada layar. "Siapa dulu yang buat lagunya, gue!"

"Kurang ajar lo," umpat Dimas bangkit.
Buru-buru Radin menahan tubuh tegap itu susah payah begitu ingin mengambil hp berwarna biru gelap di hadapannya. Alih-alih takut Dimas tanpa sadar menghempasnya akibat geram.

"Dimas hp gue woi!" teriak Radin menahan. Merebut hp itu dari genggaman Dimas sesekali meloncat.

Sementara Dhei? Ah ya, si pembuat masalah dari seberang itu tertawa kencang begitu juga dengan Rein yang menggeleng pelan melihat tingkah ketiga sahabatnya.

____

Panas yang tadinya terik kini meredup, begitu juga dengan embusan angin yang semakin senja semakin terasa kuat menyentuh setiap pori tubuh. Radin melangkah lebar, dengan setengah berdecak dirinya menyusuri jalanan koridor rumah sakit yang kental akan bau pahitnya obat.

Srakkk!!

"Bagus!! Lo yang bicara gue yang jadi tumbal! Untung hp gue enggak kenapa-napa!" decak Radin, menggeser pintu ruangan dengan cepat. Berhasil memandangi remang senja yang menyapu setiap sudut ruangan putih itu. Napas Radin tertahan seketika begitu melihat seseorang yang berada di dalam tersebut.

Dhei. Cowok itu...

"Dhei! Woi!" Radin mendekat, menepuk pipi seseorang yang sedang memejamkan mata itu dengan kuat. "Dhei! Jangan-"

"Gue belum mati, Bego," umpat Dhei dengan dua mata terpejamnya. Dengan decakan kesal, disambarnya kembali beberapa helai tisu yang  berada di tempat tidur lalu menekan ujung batang hidung dengan perlahan.

Mata Radin nyaris membulat begitu memerhatikan noda merah yang membekas pada lembaran tisu yang berada digenggaman tersebut.

Menyadari pandangan sahabatnya itu, sebelah alis Dhei terangkat, tersenyum meremehkan. "Baru pertama kali lihat ginian?"

Radin mengangguk pelan.

"Kalau gitu biasakan. Tapi lo tenang aja, gue enggak menyerah semudah itu," Beberapa menit kemudian, darah berhasil dihentikan. Perlahan sebelah sudut bibir Dhei terangkat kemenangan lalu membuang beberapa lembar tisu bekas ke  tempat sampah di dekatnya. "Ada masih banyak hal yang mau gue lihat, yang mau gue rasakan. Gue bukan kayak lo."

"Terserah," jawab Radin malas. Meletakkan tas ke sudut dinding lalu berdiri  memerhatikan pemandangan luar daei jendela rumah sakit. "Kenapa lo bisa melihat apa yang enggak bisa gue lihat?"

Dhei tersenyum sinis, ditegakkannya tubuh, membiarkan punggung itu bersandar dengan bantal  yang berada di belakangnya. "Demi apa, pertanyaan itu juga pengen gue ajuin ke lo."

Radin menoleh belakang, membuat Dhei tertawa hambar.

"Gue pikir kita bisa menemukan jawabannya sekarang."

_____

Thanks for reading! I hope you enjoy it! ^^
Up : 16.05.2020

Your Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang