Hilang Ingatan

1.4K 12 0
                                    


Warga komplek bernafas lega, akhirnya fajar muncul menjemput subuh. Seiring matahari yang mulai terbit, satu demi satu dari mereka membuka pintu rumah. Bahkan pergi ke luar halaman untuk ngobrol dengan siapa saja yang ditemuinya.

Ini tak biasa. Seringnya, ibu-ibu baru berkumpul saat Abang sayur datang. Bisa dipastikan keluarnya separuh warga komplek kali ini karena dipicu peristiwa semalam.

Hampir sepanjang malam, tepatnya saat dini hari, teror mencekam di lingkungan komplek. Suara-suara aneh terdengar di seluruh penjuru.

"Wah, fertigo saya kambuh. Hampir semalaman saya nggak bisa tidur," keluh Uni Maya tetangga yang berasal dari Padang.

"Aku juga rasanya masih merinding saja. Hiiii." Dewi menunjukkan lengannya. Bulu-bulu tangannya memang terlihat meremang. "Aku sampai mau kehabisan nafas sembunyi dibalik selimut terus."

"Kalau Bunda Lala bagaimana?" Pertanyaan Bu Kinan mengejutkanku.

"Saya eh, saya takut campur penasaran. Tapi nggak berani keluar soalnya Ayahnya anak-anak pergi ke luar kota."

Mereka mengangguk-angguk.

"Memang ada apa?" tanya Mak Ijah yang baru ikut bergabung.

"Apa Mak Ijah nggak dengar? Wah pulas banget tidurnya," sahut Uni Maya.

Mak Ijah menggeleng pelan. Wanita berumur tujuh puluhan itu memang akrab dengan semua warga. Baik orang tua, ibu-ibu, bapak-bapak bahkan anak-anak. Karena rata-rata warga komplek ini pernah berinteraksi dengannya. Dialah penjual gado-gado  berhati baik dan ramah. Yang lumayan tidak disukai warga adalah cerewetnya di atas rata-rata.

"Ya, Mak telat info!" tuding Dewi dengan tawa bercanda.

"Mak nggak jualan sih, jadi kudet info baru," tambah Bu Kinan yang disambut tawa bersamaan.

"Semalam ada orang menangis sepanjang jalan," terangku. Kasihan melihat Mak Ijah diliputi rasa penasaran.

"Bahkan dia merintih dan mengeluh, aduh sakiiiiiiiittttt, sakit aduuuuuuuhhhhh. Begitu Mak," tambah Uni Maya mencoba menirukan.

Mak Ijah hanya melongo. Sampai akhirnya Bu Kinan dengan bakat analisisnya mencoba menyimpulkan. "Kayaknya semua warga harus bergerak mencari tahu. Jangan-jangan ada mayat tergeletak di suatu tempat. Kalian terbayang enggak kalau itu korban pembunuhan?" pancing Bu Kinan yang ditanggapi serius kami semua.

Kami masih terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku pun mengiyakan jangan-jangan dugaan tetangga depan rumahku benar?

"Kalau di tempat Mak sih..." Mak Ijah menggantung kalimatnya. Kami semua menunggu dengan tak sabar.

"Apa Mak?" tanya Dewi.

"Namanya jelila."

"Apa je-li-la? buru Dewi.

"Jelila itu hantu. Dia menangis soalnya tahu bakal ada kejadian menyedihkan."

"Menyedihkan bagaimana?" tanyaku.

"Seperti ada orang meninggal tak wajar, bisa dibunuh atau kecelakaan," terang Wanita yang seluruh rambutnya sudah memutih itu.

"Jadi bakal ada yang mati? tanya Dewi. "Mak jangan nakut-nakutin dong. Mana saya belum punya suami dan sendirian di rumah. Ah, Emak!" protesnya.

Rasa penasaran, dugaan-dugaan sementara, sampai kebenaran fakta, belum terungkap. Namun semuanya membubarkan diri karena tak mau aktivitas paginya menjadi kacau. Yang punya anak tentunya tak ingin anaknya terlambat ke sekolah gara-gara sang ibu bergosip ria dengan tetangga.

SUAMIKU TUKANG HIPNOTIS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang