TERBONGKAR

613 10 0
                                    


Setelah satu minggu di luar kota, akhirnya Mas Arman pulang. Seperti biasa, setiap dia bepergian aku menyambutnya dengan secangkir teh kayu manis dan molen ubi. Itu salah satu makanan kesukaannya dan aku membuatkannya dengan suka cita.

"Bagaimana proyeknya, Yanda?"

"Alhamdulillah, mereka suka keorisinilan desain Yanda. Tapi Yanda tahu kok, semua kesuksesan Yanda karena selalu tersemat do'a Bunda dalam setiap karya Yanda," jawabnya sambil mengerlingkan mata.

Sebagai istri aku tersanjung. Nyatanya di dunia ini tetap ada laki-laki yang bisa menghargai perempuan.

Mas Arman menggeser duduknya agar lebih dekat denganku. Dia mulai menciumi rambutku yang tergerai.
Sebagai wanita yang lebih dari dua puluh tahun bersama, tentu aku paham sinyal yang diberikan. Aku pun menyambut pelukannya penuh kerinduan.

Kami menutup pintu kamar dan memadu kasih setelah sekian waktu tak bertemu.

"Yanda, orang stress yang hamil itu sudah lahiran, lho," kataku memberi tahu setelah semuanya usai dan rasa kantuk mulai meninabobokannya.

"Ohya?" sahutnya lirih.

Aku menceritakan peristiwa hari itu dengan semangat 45. Sesekali terdengar sahutan 'oh', 'terus?' 'hmm' sampai akhirnya tak ada lagi sahutan saat aku memberitahu orang-orang memintanya menghipnotis wanita itu.

Aku turun dari tempat tidur perlahan agar Mas Arman tak sampai terbangun. Aku melirik jarum jam dan segera bersiap menjemput Lala.

Sepertinya para ibu benar-benar mengusulkan wanita itu dihipnotis. Hingga malam hari Pak Lurah bertamu dan menyampaikan keinginan warga.

Aku tak tahu bagaimana keputusannya. Karena aku harus mengantar Damar membeli kertas origami untuk tugas ketrampilannya besok.

Sampai di depan gang aku terkejut melihat beberapa ibu berkerumun.

"Bagaimana, Bunda Lala. Pak Arman setuju kan?" Tarik Bu Mia.

Aku hanya menggeleng. "Enggak tahu, Bu. Tadi saya nggak ikut mendengarkan. Saya menemani anak belajar."

Terlihat raus kecewa di wajah mereka.

"Mari, Bu. Saya pulang duluan," pamitku saat kembali dari toko Bu Warni.

"Eh, jeng. Jangan lupa sampaikan aspirasi kita ya. Pakai saja jurus maut untuk merayu Pak Arman," teriak Bu Tika.

Aku tersenyum sendiri. Menurutku sedikit lucu. Tapi baiklah. Sebagai pejuang gender aku akan membantu semampuku. Tekadku sambil menarik tangan Damar agar berjalan lebih cepat.

Sayang, sampai di pintu aku melihat Pak Lurah menjabat tangan Mas Arman dan berpamitan pulang.

Setelah mengantar Damar ke kamar, menyelimutinya dan mengingatkan untuk berdo'a, aku mencari Mas Arman dan menginterogasinya.

"Yanda, hasilnya bagaimana?" selidikku.

"Hasil apa?"

"Jadi kapan mau dihipnotis?"

"Dih, sok tahu deh, Bunda," ledeknya.

Aku mulai gemas. "Jadi kan mencari tahu ayah biologis si bayi itu?" cecarku tak mau kalah.

"Jadi," jawab Mas Arman. Rasanya aku ingin bersorak 'yes!' "tapi ada syaratnya?" lanjut Suamiku.

Dahiku mengernyit. "Syaratnya apa?" tanyaku penasaran.

"Tunggu saja besok. Besok semua ibu-ibu di sini harus datang ke kelurahan."

Ada sejuta tanya bertebaran di benakku. Aku tak bisa menebak-nebak syaratnya apa.

SUAMIKU TUKANG HIPNOTIS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang