"Assalaamu 'alaikum," ucapku saat memasuki pintu.Dua orang berseragam polisi menoleh dan mengangguk ke arahku dengan seulas senyum. Satu orang berkumis dengan tahi lalat di sudut bibir atasnya dan satu lagi berwajah bulat semringah bak purnama.
"Ada apa ya, Pak?" tanyaku ingin tahu.
Aku segera duduk di kursi panjang bersebelahan dengan Mas Arman.
"Kami mau minta tolong ke Pak Arman, Bu."
Dahiku mengernyit. Aku memandang ekspresi Mas Arman yang datar. Ku genggam jemarinya dan memberi isyarat tanya dengan menggerakkan dagu. Namun dia sama sekali tak memberi kode apa-apa.
"Maksudnya minta tolong bagaimana?"
"Mas Arman kan punya kemampuan hipnotis. Ini Mba Keke baru saja kemalingan. Tapi malingnya kaya paham banget isi rumah itu. Malingnya pintar sampai nyaris tidak meninggalkan jejak."
Pak polisi berkumis dengan nama dada Pramono Aji itu menjelaskan panjang lebar. Dalam ingatanku terbayang Mba Keke penyanyi organ tunggal yang tengah naik daun. Album perdananya wara-wiri muncul di TV lokal.
Tapi berbagai kekhawatiran tiba-tiba menghantui dan meracuni isi kepalaku. Bagaimana kalau ini oknum polisi palsu? Bukankah Mas Arman juga mulai terkenal? Dia selebgram dengan nominal sekian dolar masuk ke rekeningnya setiap bulan.
"Jadi, Mba tidur saja yang nyenyak. Nggak usah nunggu Mas Arman kembali. Takutnya lama," ucap Polisi muda berwajah purnama.
Aku langsung berpikir keras.
"Siapapun sampeyan, saya nggak setuju sampeyan bawa suami saya malam-malam," jawabku tegas.
"Lho, kenapa? Mas Wi ini memang suka bercanda, Bu. Jelas nanti Mas Arman pulang."
Rupanya polisi senior itu bisa meraba kegamanganku.
"Terserah Bapak mau ngomong apa. Tentang saya, tentang suami saya. Yang jelas, saya tidak mengizinkan dia keluar malam ini.
"Kenapa Bu?"
"Jujur saya ragu Bapak polisi sungguhan atau polisi gadungan," jawabku tanpa ada yang ditutup-tutupi.
"Bunda," tegur Mas Arman lembut.
Kedua polisi itu terkejut. Masing-masing mengeluarkan tanda pengenal dari dompetnya.
"Maaf Pak. Saya juga awam tentang hal ini. Saya tidak bisa membedakan pengenal sungguhan atau yang aspal."
Aku sendiri cukup kaget dengan kata-kata yang barusan ku lontarkan. Tapi kadang perempuan harus menghargai anugerah berupa naluri yang cukup tajam, bukan?
Tampang si Purnama tiba-tiba menjadi keruh. Mungkin dia tersinggung. Berbeda dengan Pak Aji yang lebih senior. Mungkin tempaan tugas membuat kadar kesabarannya lebih tebal.
"Saya suka gaya ibu membentengi, Mas Arman."
Dan entah mengapa, pujian itu justru meluluhkan hatiku. Tapi aku tetap berusaha dalam kondisi sadar. Bukankah pangku dalam tulisan Jawa berfungsi mematikan? Itu mengandung filosofi bahwa pujian juga berpotensi membinasakan.
"Kalau memang tenaga suami saya dibutuhkan, besok Mas Arman bisa ke kantor. Iya kan, Yanda?" ucapku minta persetujuan.
Untunglah Mas Arman segera mengangguk.
Tak lama, kedua polisi itu pamit pulang. Aku dan Mas Arman mengantar dari halaman.
Mas Arman merangkul dan mencium keningku.
"Tumben Bunda ngotot banget?"
"Bunda tahu Yanda lelah. Tapi Yanda kan orangnya enggak enakan. Padahal sekali-kali tetap harus berani katakan tidak."
Mas Arman berdehem. "Jadi bukan karena curiga?"
"Ya, sedikit sih," jawabku tersipu.
"Itu artinya Bunda cinta Yanda. Bunda gengsian sih jadi nggak pernah ngakui itu."
Sontak aku berontak dan melepaskan diri dari rangkulan Mas Arman. Dia memang suka menggodaku begitu.
***
Jarak rumahku ke Polres cukup jauh. Jadi pagi-pagi kami sudah bersiap. Aku dan Lala menyiapkan berbagai bekal agar saat Suamiku sibuk kami bisa makan-makan.Kalau Damar tidak mau ikut. Dia memilih mengisi liburannya dengan mancing ria bersama teman-temannya di sungai.
Beda dengan Lala yang sangat antusias. Dia ingin bertemu sang biduan. Dia juga berniat berfoto bersama yang akan dia tunjukkan pada teman-teman sepermainannya.
Sampai di kantor polisi Mas Arman segera memarkir mobilnya. Dia turun sementara kami tetap di dalam.
"Bunda, kok Yanda lama?" tanya Lala mulai gelisah.
Aku lihat kontak wa Mas Arman. Terlihat last seen satu jam yang lalu.
"Lala mau makan dulu?" tanyaku menghibur.
Dia menggeleng. "Atau mau lihat you tube?"
Putri bungsuku langsung mengangguk dengan mata berbinar-binar. Dengan berat hati akhirnya ku serahkan benda gepeng persegi empat itu.
Padahal tadi aku juga sedang mengusir kebosanan dengan membalas chat dan melihat-lihat Instagram. Tapi, sudahlah. Toh aku setiap hari bisa pakai hp. Sementara kedua anakku yang di rumah dibatasi hanya Sabtu dan Minggu boleh bermain ponsel.
Aku melempar pandangan ke berbagai sudut. Menjadi pengamat dadakan sampai ku dapati kelebat Mas Arman.
Tapi mengapa dia terlihat gontai? Apa ini ada kaitannya dengan kekeras kepalaanku semalam?
"Bagaimana, Yanda?" todongku saat dia membuka pintu.
Mas Arman menghempaskan tubuhnya di belakang kemudi. Dengan mata lekat dia menatapku.
"Tidak ada polisi yang namanya Bunda sebut semalam."
"Lalu?"
Mas Arman hanya mengerdikkan bahu. Ah, tiba-tiba berbagai kekhawatiran itu muncul kembali dalam ingatanku.
"Alhamdulillah, Yanda masih selamat dari penipuan. Terima kasih ya, Bunda," ucapnya sambil menepuk pundakku.
"Iya, kalau dipikir lagi aneh juga semalam ya, Yanda," ucapanku terhenti untuk memberi jeda. "Mereka itu kan tenaga profesional. Tentu kemampuan mereka sudah lebih dari cukup untuk melakukan penyidikan. Mengapa harus minta tolong Yanda? Kecuali Yanda detektif mungkin bisa jadi partner kerja mereka."
Mas Arman hanya tersenyum.
"Jadi Lala batal foto sama artis, Yanda?"
"Foto sama Yanda saja. Kan seleb juga," sambarku spontan.
Lala mencibir dan memasang mimik kesal.
"Buat gantinya, kita piknik saja. Kita ke Sanggaluri. Katanya idola kamu tampil di sana."
"Yeeeeee!!!!!!" teriak Lala bersemangat.
Bersambung.
#CerbungKBM
#STH
#AnPurbalien
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU TUKANG HIPNOTIS (Tamat)
General FictionSUAMIKU TUKANG HIPNOTIS Oleh : An Purbalien Kejujuran memang kian mahal. Atau karena adanya stereotip bohong hitam dan bohong putih? Entahlah. Nyatanya kadang seseorang harus dipaksa agar mau bicara jujur, apa adanya tanpa ada apapun yang ditutup-tu...