Setelah rahasia terbongkar, laki-laki pengayuh sepeda dengan kokok ayam di keranjang belakang menghilang.Mungkin dia malu. Atau bisa jadi dia hanya bermaksud enak-enak tapi tak mau menjadi anak.
"Dia pasti kembali. Tunggu saja," kata seorang sesepuh yang sudah lebih dari delapan dasa warsa tinggal di wilayah ini. Bahkan sejak komplek perumahan ini masih menjadi desa asri.
"Dia meramal?" tanya Bu Tika.
"Bukan. Hanya ngemat. Karena Pak Sumanto tak pernah betah merantau bahkan sejak muda," jelas seorang ibu yang lebih berumur.
Kalau para Bapak berlomba membawa Pak Sumanto kembali. Gerakan solidaritas ibu-ibu fokus pada the depressed Mom dan debay.
Kemarin, aku membongkar kembali pakaian bayi Lala yang sudah lebih dari tiga tahun ku musiumkan ke gudang belakang. Rencananya akan ku cuci dan setrika kembali agar dapat digunakan. Tapi 'Yaaa Ampuuuuuuun' semuanya berantakan.
Aku hanya melongo memandangi karung yang sudah ku tuang isinya di kebun belakang. Baju-baju mungil itu sudah banyak yang berlubang bagian tengah ataupun pinggirannya. Hewan pengerat itu merusak hampir semuanya.
Aroma amoniak membuatku terpaksa menutup hidung. Aku sampai menyesal tak memasang masker sebelum membongkar gudang. Yang lebih parah lagi, cukup banyak makhluk mungil tanpa bulu meringkuk dengan mata terpejam.
Aku hanya mondar-mandir memikirkan cara memusnahkan mereka. Ada rasa tak tega memukul hewan tak berdaya itu. Tapi membiarkannya hidup dan berkembang biak tentu bukan keputusan baik.
Aku termasuk pemburu ulung yang tak pernah menyerah mengejar makhluk berbulu hitam dengan ekor panjang jika berani masuk rumah. Tapi ini?
"Kok melamun, Bunda?" Mas Arman tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.
"Bunda nggak tega bunuh bayi-bayi tikus itu, Yanda. Please, Yanda saja yang melakukannya ya." Aku memohon dengan wajah memelas.
"Terus baju-baju bayi itu?" Telunjuk Mas Arman mengarah ke tumpukan pakaian Lala.
"Tadinya mau aku sumbangkan untuk anak Mba Markonah. Tapi sudah tidak layak pakai," keluhku.
"Mau dibuang?"
Aku mengangguk. Mas Arman segera mengambil tindakan. Selang berukuran pendek dia hubungkan dengan tanky bensin di motornya untuk memindahkan sebagian ke botol air mineral.
Suamiku kembali ke halaman belakang dan mulai menyalakan perapian. Aku menjauh meski sebenarnya penasaran dengan nasib bayi-bayi yang terpanggang.
"Bekasnya disiram, Yanda. Musim kemarau. Bahaya," teriakku dari arah dapur.
Kubuatkan secangkir kopi ekspresso untuk Mas Arman. Kopi pahit kesukaannya. Kemudian ku suguhkan setelah Mas Arman mencuci tangan.
"Mas, enaknya aku nyumbangin apa ya?" tanyaku meminta pendapat.
"Peralatan bayi apa yang masih tersimpan?"
"Nggak ada. Baby Walker sudah Bunda kasih ke Wina."
Adik Mas Arman waktu itu datang untuk meminjam baby stroller, tapi sudah aku berikan pada Santi, adikku saat dia melahirkan anak ketiganya. Jadi aku tawarkan baby Walker itu ke Wina dan dia mau membawanya. Sementara botol-botol Susu, anak-anak sampai umur empat tahun masih suka minum susu dari dotnya.
"Terserah kamu mau sumbangin apa. Asal jangan daster kamu."
"Kenapa?" Dahiku sedikit berlipat-lipat. Jujur sempat terlintas dalam benak akan ku bagi pakaian-pakaian lama yang sudah tak terpakai.
"Takut Yanda salah peluk," jawabnya sambil tersenyum jahil.
"Yeeee, segitunya! Emang gak paham aroma istri sendiri?" Aku melempar bantal kursi dengan wajah cemberut. Tapi Mas Arman malah tertawa terpingkal-pingkal.
***
Setelah ashar, Para ibu berkumpul di rumah Bu Hana. Banyak yang membawa bingkisan untuk Markonah dan bayinya. Banyak juga yang mengumpulkan amplop. Termasuk aku, akhirnya memilih menyisihkan uang agar dapat dikelola teman-teman panitia."Kalau saya mau memberi voucher tiga kali perawatan deh sama Si Markonah."
Hadirin sedikit terkejut. Beberapa dari mereka alisnya terangkat. Dengan rasa penasaran Mba Tika bertanya.
"Emang gak takut, Jeng?"
"Ya nunggu dia normal kali ya?" jawab Jeng Ayu.
Yang lain mengangguk-angguk.
"Wah, aku nggak mau kalah sama Jeng Ayu. Aku juga ah. Kalau Mba Markonah jadi menikah, make up gratis dari salon Rengganis, deh."
Ucapan Dek Prilly, pemaes sekaligus owner salon Rengganis disambut tepuk tangan. Setelah itu acara pengajian dimulai. Dan kegiatan biasa ditutup dengan makan-makan. Kami semua baru pulang setelah membaca do'a penutup majlis.
Kami berjalan pulang menuju rumah masing-masing. Tetangga searah biasa ngobrol ngalor ngidul dan bercanda sambil berjalan.
"Eh, Jeng Linda." Bu Karti mencolek pundakku. "Kok ada mobil Polisi di depan rumah. Ada apa ya?" tanya Bu Karti sambil menunjuk sedan putih bercorak merah biru dengan sirine di atasnya.
Aku tertegun, dadaku berdegup lebih kencang. Jangan-jangan? Jangan-jangan? Berbagai hal buruk tiba-tiba melintas di kepala. Lalu aku memutuskan untuk segera sampai di rumah dan mengetahui duduk persoalannya.
"Mba, aku duluan ya," pamitku setengah berlari meninggalkan mereka.
Bersambung
#CerbungKBM
#STH
#An_Purbalien
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU TUKANG HIPNOTIS (Tamat)
Fiction généraleSUAMIKU TUKANG HIPNOTIS Oleh : An Purbalien Kejujuran memang kian mahal. Atau karena adanya stereotip bohong hitam dan bohong putih? Entahlah. Nyatanya kadang seseorang harus dipaksa agar mau bicara jujur, apa adanya tanpa ada apapun yang ditutup-tu...