Bertemu Mantan

2.9K 20 0
                                    

Senyumku masih terkembang. Jujur, aku memang tipe orang yang sulit menyembunyikan perasaan. Bagaimanapun kondisi batin akan tampak jelas pada raut mukaku. Pun seperti hari ini. Aku bahagia. Sangat. Sudah lama aku terkungkung dalam hiruk pikuk urusan rumah tangga, meski sebetulnya aku yang introvert memang menyukainya. Tapi ternyata, sependiam-pendiamnya orang tetap sesekali butuh refreshing ya?

Kunyalakan lampu sens sebelah kiri dan segera ku tekan rem motor maticku. Sesaat kemudian kuda besi warna violet yang kutunggangi berhenti. Aku segera merogoh tas mungil bertali panjang yang tergantung di bahu kanan. Segera ku temukan benda persegi empat yang ku cari. Kugoreskan sebentuk garis yang merupakan sandi agar ponselku bisa terbuka. Ku cek kembali aplikasi WhatsApp dengan dada sedikit berdebar. Meski sebelum pulang aku sudah sempat clear chat, aku khawatir ada chat baru yang bisa membuat suamiku curiga.

Benar saja. Lastri mengirim sebuah pesan yang isinya; //Cie, nostalgia nih. Awas, virus CLBK!"//

Juga sebuah nomor tanpa nama yang sudah ku tahu siapa pengirimnya. //Bagai hujan semalam yang menghapus dahaga kemarau panjang. Rindu ini telah tuntas.//

Pipiku terasa panas. Kuperhatikan wajahku pada pantulan kaca spion. Beberapa garis halus sudah muncul di sana. Namun rona bahagia kali ini membuat wajahku terlihat lebih cantik dari biasanya.

Segera kubersihkan chat-chat yang bisa menjadi bumerang bagi rumah tanggaku. Kudekap ponsel kesayangan seraya berharap tak ada lagi chat baru yang mengungkap peristiwa hari ini. Biarlah semua kusimpan dan kukenang dalam lubuk hati. Kumasukkan kembali ponselku ke tas dan kubuanh semua rasa was-was. Ku stater lagi kendaraanku. Lima ratus meter lagi aku segera sampai di rumah. Matahari sudah hampir pulang ke peraduan. Hari sudah sore. Dan waktu seolah berjalan sangat cepat hari ini.

"Assalamu'alaikum," ucapku saat membuka pintu.

"Wa'alaikumussalaam. Asyik, Bunda pulang. Kok lama sekali Bunda? Lala khawatir lho, takut Bunda kenapa-napa," berondong putri keempatku.

Aku berjongkok seperti biasa saat berbicara dengan putriku agar kami bisa saling tatap dan merasakan kedekatan emosi. "Iya, Sayang. Maaf ya, Bunda tadi bertemu sama teman-teman waktu Bunda sekolah dulu."

"Wah sudah pulang? Aku kira bakal sampai malam. Dan positive thinking kamu makan malam bareng teman-teman. Jadi kami beli sate cuma tiga bungkus dan kamu nggak kebagian." Mas Arman tiba-tiba muncul dari dalam.

"Enggak papa, Yanda. Nanti Bunda bisa masak mie instan," jawabku dengan mencoba melempar senyum yang sewajarnya.

"Ayo Lala, kita bersiap ke mushola. Biar Bunda bersih-bersih badan dulu. Kasihan Bunda capek."

Dalam hitungan detik Lala sudah berada di punggung suamiku. Begitulah Mas Arman membujuk anak-anak kami yang masih kecil agar mau ke mushola belajar sholat dan mengaji.

Setelah Mas Arman, Lala dan Damar; anak lelaki ketigaku berangkat aku bersiap mandi. Setelah menutup tubuhku dengan handuk masih kusempatkan mengecek ponselku kembali. Sedikit terbersit kecewa saat tak kudapati sebuah pesan dari nomor tanpa nama. Namun juga ada perasaan lega. Tak khawatir jika sewaktu-waktu Mas Arman mengecek ponselku.

Aku mengunci pintu kamar mandi. Guyuran air hangat dari heater water membuat sendi-sendiku yang sebelumnya terasa kaku menjadi kembali relax. Wangi aroma terapi menguar dari busa sabun cair yang kuratakan dengan spon ke seluruh tubuh. Setelah kukeringkan tetesan air yang masih menempel di tubuh dengan sebuah handuk aku pun segera berwudhu. Sholat tiga raka'at ku jalankan meski dengan hati yang sedikit rusuh.

Setelah salam ku rebahkan tubuhku. Perpaduan lelah dan segarnya tubuh membuatku langsung terlelap dalam balutan mukena putih bermotif bordir bunga dari benang-benang warna ungu.

Entah berapa menit atau berapa jam aku terlelap. Aku terbangun saat suamiku mengguncang bahuku.

"Bunda, bangun. Sholat isya dulu. Ini mie instannya. Bunda belum jadi makan, kan?"

Sedikit tergeragap aku bangun. Dengan mata mengerjap kupelototi jam dinding yang angka-angkanya terlihat berbayang. Dan aku kecewa setelah menyadari jam itu sudah seminggu mati dan baterainya belum sempat diganti.

"Lala sama Damar mana?"

"Mereka sudah tidur."

"Lho, PRnya? Damar ada tugas prakarya bikin kolase lho. Kalau dikerjakan besok nggak akan selesai," protesku panik.

Mas Arman tersenyum. Dia mengusap kepalaku dan berkata, "tenang saja. Semua PR sudah beres. Yanda juga sudah mengecek hapalan mereka. Sekarang yang penting Bunda sholat dan segera makan."

Tiba-tiba aku merasa sangat malu karena abai pada tugasku. Meski Mas Arman tak pernah menganggap begitu. Dia sangat perhatian pada anak-anak.

"Aku mau nonton TV dulu ya," pamitnya meninggalkanku.

Kulirik mie instan yang sudah mulai membesar dengan telur, potongan sawi, kecap, saos dan beberapa cabai. Perutku tiba-tiba perih dan minta diisi. Kulahap mie buatan Mas Arman setelah membaca do'a. Nikmat sekali. Dalam sekejap mangkuk itu kosong karena aku memakannya hingga tetes kuah terakhir.

Setelah sholat kudekati Mas Arman. Tak boleh ada yang berubah pada sikapku. Termasuk bersikap manja padanya.

Mas Arman merangkulku seperti biasa.

"Bagaimana reuninya?"

"Ya, begitu deh."

"Kok lama banget. Memang acaranya apa saja?"

"Acaranya tadi molor. Masalahnya beberapa teman konfirmasi bakal datang dan minta ditunggu." Aku bernapas lega. Jawaban yang sudah kupersiapkan ternyata berguna.

"Terus, jadi datang?"

Aku mengangguk.

"Bunda pasti capek. Pijatan Yanda enak kan? Nah, rasakan relaksnya, makin relaks, makin nyaman dan Bunda bisa menceritakan apa saja sejujur-jujurnya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Kondisi ini akan membuat Bunda semakin ringan, semakin lega," ucap Suamiku dengan pijatan lembut di bahu yang ritmenya semakin melambat.

"Bunda, tadi senang reuninya?"

"Banget."

"Senengnya di mana?"

"Ya, ketemu teman-teman lama."

"Acaranya sebenarnya selesai jam berapa sih?"

"Selesainya sih dhuhur. Tapi abis itu pada ngajak jalan tuh mereka."

"Main ke mana?"

"Taman kota."

"Wah, Bunda main perosotan?"

"Ya enggak lah. Kan ada tempat duduknya juga. Pohon rindang. Cafe gerobak juga ada."

"Bunda ngobrol lama sama siapa?"

"Sama Alam."

"Bunda ngomong sendiri ke pemandangan di taman?"

"Bukan. Dia itu namanya Alamsyah."

"Memang Alamsyah itu siapa?"

"Mantan."

"Bunda, dengan pijatan Yanda dalam hitungan ketiga akan membuat Bunda terbangun dengan lebih sehat, lebih segar dari sebelumnya."

Aku mengerjap linglung. Kutatap Mas Arman yang meneguk kopi ekspresonya dengan mengulum senyum.

#cerbungKBM
#STH
#AnPurbalien

SUAMIKU TUKANG HIPNOTIS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang