7. Stalking

261 6 0
                                        


Akhirnya kami tiba di Sanggaluri Park. Destinasi wisata yang menyediakan berbagai wahana permainan sekaligus edukasi.

"Bunda, tolong fotoin Yanda dulu," kata Mas Arman sambil menyerahkan ponselnya.

Aku sedikit manyun. Setahuku tadi Mas Arman lemas. Tapi begitu sampai di objek wisata ini, mengapa langsung semangat? Padahal yang biasanya moody kan aku? Tapi syukurlah, artinya dia sudah lewat masa kritis syoknya. Hehe.

"Pakai gaya candid ya, Bun," pintanya dengan senyum khas yang sulit ditolak.

Mas Arman menggendong Lala. Mereka membelakangi gerbang dan seolah berjalan maju menjauhinya. Aku berlari mengambil posisi yang pas agar gerbang besar berbentuk wayang itu terlihat sempurna. Foto ala candid memang terlihat natural. Seolah mereka sedang beraktivitas biasa dan dicuri fotonya. Jadi tak ada adegan menatap kamera. Padahal aslinya ya niat banget buat foto.

"Cek nih, perlu diulang enggak?"

Mas Arman menunjukkan foto itu pada Lala. Putri bungsu kami tersenyum manis sambil menatap sang ayah.

Gambar itu menunjukkan keakraban ayah dan anak perempuannya. Alami karena memang tak ada yang dibuat-buat. Mungkin itu ada efek dari proses kelahiran mereka. Ya, pada setiap persalinan anak-anak kami, Mas Arman selalu setia mendampingi. Di tengah rasa sakit, tak henti-hentinya dia menyemangati, menghibur, memijat, mengelus juga menggenggam tanganku. Selain bidan dan perawat, dia lah orang  pertama yang menatap jabang bayi dengan rasa bahagia. Dari mulut ayahnya juga mereka mendengar adzan pertama.

"Bunda, sini gantian bunda yang foto." Panggilan Mas Arman mengagetkanku yang tengah melamun. Dia menawarkan diri menjadi fotografer. Aku menggeleng. Selain kurang suka selfi-selfi, hasil bidikan suamiku kurang artistik. Kurasa itu saja satu-satunya kelemahannya.

"Yuk, cari tempat buat makan aja. Bunda lapar nih." Ucapanku disambut gelegar tawa Mas Arman dan Lala.

Namun mereka mengalah menuruti kemauanku. Mereka tahu betul, akan jadi bahaya kalau ibu suri sudah mulai ngambek.

Usai makan aku masih ngemil ini dan itu. Mas Arman sibuk upload foto di Instagramnya. Sementara Lala mulai rewel. Dia minta ke wahana permainan dan depan panggung di mana Mba Keke tampil.

"Nanti, La. Kamu yang sabar dong. Kan Bunda masih makan," bujukku.

"Bunda, kalau semua bekal dimakan ya kita ke sini nggak ngapa-ngapain dong?" protesnya dengan wajah cemberut.

"Puput like sama komen nih, Bun." Mas Arman menunjukkan ponselnya.

"Oh iya. Bunda sudah lama nggak stalking Ig dia. Cariin, Yanda."

"Yanda, ayolah. Lala mau ke sana." Tunjuk Lala ke wahana kereta mini.

"Nih, Bun. Yanda temani Lala dulu," pamitnya.

Mereka berdua membeli tiket kereta mini. Kerata mungil tersebut akan membawa mereka mengelilingi setiap sudut lokasi taman ini. Aku sudah pernah. Bersama anak kedua juga ketiga, dulu, saat mereka masih kecil.

Aku melihat-lihat postingannya. Dahiku mulai mengernyit. Foto sosok pemuda berambut gondrong lebih dari sepuluh jumlahnya. Ada sedikit rasa tak suka terselip di dada.

"Puput harus pulang," gumamku.

Aku segera mengemasi perbekalan dan tikar yang kami gelar. Sedikit repot memang, ketika memaksakan membawa semua barang-barang ini ke tempat pemberhentian kereta.

"Yanda," panggilku sambil melambaikan tangan saat kereta mereka berhenti.

Lala dan Mas Arman segera menghampiri.

"Yanda. Bunda nggak suka deh sama pacar baru Puput."

"Memangnya kenapa?"

"Gondrong. Mbok ya cari pacar yang baik-baik."

"Mungkin selera Puput yang bad boy."

Aku mencibir mendengar pembelaan Mas Arman. Ya, anak-anak memang lebih nyaman curhat sama ayahnya. Mungkin bagi mereka aku seperti nenek lampir yang cerewet. Tapi semoga mereka paham, seorang ibu selalu ingin yang terbaik buat anaknya.

"Terus mau Bunda apa?"

"Suruh pulang. Ajak pacarnya sekalian, nanti kita hipnotis dia!"

Mas Arman tersenyum.

"OK."

Mas Arman terlihat sedang mengetik sesuatu.

"Yanda. Satu lagi. Jangan boncengan. Pakai motor sendiri-sendiri!" kataku memberi ultimatum.

"Terus ngomongnya gemana?"

"Ya, terserah Yanda," jawabku cuek. Mas Arman sering gemas dengan jawaban semacam itu. Dia lebih suka A ya sebut A. B ya katakan B. Menurutnya jawaban seperti itu atau kata terserah, sangat membingungkan.

"Send. Tapi belum dibaca. Mungkin dia lagi kuliah."

Aku memberikan senyum termanis atas kerjasama yang baik ini.

"Yanda, Lala mau foto sama Mba Keke," rengek si kecil kembali setelah melihat kehebohanku reda.

"Ayo, putri Kiki." Mas Arman mengulurkan satu tangannya yang disambut Lala dengan gembira.

Ya, bahkan Mas Arman tahu idola si bungsu. Putri Kiki dalam film the rainbow Ruby.

Dengan setengah hati aku membuntuti sambil menyeret-nyeret beberapa barang.

"Yanda," panggilku.

Mas Arman menoleh.

"Ih, tega banget ya," rajukku. "Kan berat ini!"

"Ya ampun. Lupa, Bun!" Dia menepuk dahinya kemudian berbalik mengambil alih barang-barang yang kubawa.

Musik terdengar menghentak. Sound system' ukuran besar ditempatkan di beberapa sisi. Banyak orang yang sedang asyik berjoget di depan panggung. Lagu ambyar yang dinyanyikan Mba Keke memang lagi hit di mana-mana. Bahkan kabarnya orang perkantoran dan anak-anak kampus juga menyukainya.

"Yanda, sini saja deh," kataku, memilih tempat berteduh di bawah pohon yang cukup tinggi. Tak terlalu jauh dari panggung sehingga tetap leluasa melihat penampilan yang disajikan.

"Ayo, Yanda. Kita ke sana." Lala menarik tangan ayahnya. Untung barang-barang sudah diletakkan di dekat kakiku.

Aku hanya memperhatikan mereka. Mar Arman dan Lala semakin dekat dengan panggung saat Mba Keke mengakhiri lagunya.

Bersambung

#CerbungKBM
#STH
#AnPurbalien

SUAMIKU TUKANG HIPNOTIS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang