Pria berambut abu-abu itu meregang dirinya setelah duduk hampir 2 jam lamanya di depan layar komputer besar itu. Dia menguap, beranjak ke pantri untuk mengambil secangkir teh. Belum sempat tangannya meraih gagang pintu, pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Menampakkan sesosok tubuh yang ceking. Orang itu mengatur nafas-nya yang mengah. Dia menunduk di depan pria hampir setengah abad itu.
Sang Pria mengernyit dahi.
"Tu-tuan...Felix menemukan sesuatu di lapangan penyelidikan..." lapor orang tersebut. Dia menyerahkan beberapa helai kertas.
"Menemukan sesuatu? Apa itu, Dean?" raut wajah pria itu berusaha dikontrol sedatar mungkin. Walhal matanya bersinar menandakan yang dia sedang tak sabar untuk mengetahui berita terbaru itu.
Dean meneguk ludah. Dia mengaruk belakang lehernya yang tidak gatal. " Felix menemukan sebuah benda aneh. Ia berterbangan ketika Felix membongkar tanah yang menimbus benda asing itu..."
Pria itu tertegun sejenak. Tidak pakai waktu lama, dia segera menyarungkan jas profesor kebanggaan-nya lalu bergegas pergi menuju ke lapangan penyelidikan. Meninggalkan Dean seorang diri di koridor bangunan.
Langkah kaki itu terburu. Pria itu berpacu dengan cepat, melewati kamar demi kamar hingga sampai di pintu keluar. Dia berhenti. Meletakkan jarinya di pengimbas, menunggu untuk pintu berwarna silver itu terbuka. Sang Pria menggigit bibir bawah.
NGINNNGGGG......
Perlahan, pintu tersebut menggeser ke kiri dan ke kanan. Sang Pria meluru keluar. Mendapatkan seorang remaja lelaki berambut ikal magenta acak-acak. Si Remaja berambut ikal berusaha menangkap cahaya yang terbang lincah kesana-kemari.
"Felix.."
Si Remaja berambut ikal mengadah.
"Ah, Tuan Andrew..." Felix membungkuk hormat. Bola cahaya yang menjadi atensi-nya sejak tadi dibiarkan sebentar.
Andrew menatap bola cahaya berwarna hijau yang mengapung-apung di udara. Pandangannya kembali ke arah Felix. "Kau sedang mencoba menangkap bola itu?"
Felix mengangguk. Baiklah, dia merutuki dirinya sekarang kerana lamban sekali untuk menangkap bola itu. Tapi, tak bisa dipungkiri, cahaya itu memang sangat gesit. Ke kiri, ke kanan, atas, belakang, malah membuat pola tarian tertentu.
Andrew tersenyum kecil. Dia menghela nafas. "Aku paling tidak suka dengan pelengahan,"
Andrew membalikkan badannya. Bergegas menuju satu tombol besar berwarna merah yang tersedia disamping pintu keluar. Dia membuka kaca yang melapisi tombol itu dengan imbasan mata. Setelah kaca itu terbuka, tangannya bergerak memencet benda merah tersebut.
Selang semenit kemudian, muncul sebuah persegi besar dari bawah tanah. Pintu besi yang menutup benda persegi layaknya garasi bawah tanah itu perlahan terbuka. Menampakkan sesosok benda liar biasa besar yang berdiri tegak.
Andrew berjalan angkuh di depan benda itu. Dia tersenyum megah sambil memegang kaki raksasa berwarna hitam tersebut. "Mungkin ini akan jadi pelatihan pertamanya,"
Felix menghela nafas. Dia menatap Raksana sekilas lalu kembali melihat Andrew. Andrew masih bangga dengan robot terbarunya yang baru saja selesai ditambah baik beberapa waktu lalu.
"Ya aku tidak terfikir sejauh itu Tuan. Lagipula, tuan berkata yang robot itu masih dalam tahap pelatihan dan hanya dapat di- aww..," Felix mengelus kepalanya yang diketuk oleh seseorang. Dia mengalihkan fokus dari Andrew ke orang yang berani-berani-nya memberikan rasa sakit. Belum pun membalas, mulut remaja itu tertutup rapat secara spontan.
Seorang gadis berambut abu-abu gelap bercekak pinggang. Mata pink-nya berkilat menahan amarah. Tampangnya judes, lengkap dengan lollipop yang sedang diemutnya. "Lancang sekali kau berkata seperti itu kepada papa... Dasar biadab!" Tukas Si Gadis berambut abu-abu gelap. Dia mengencangkan ikatan dua belah sisi rambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE
ActionBukankah semua orang mempunyai harapan tersendiri? Pertanyaan itu kerap muncul di benak Ryan. Bahkan umat manusia pun memiliki impian yang baik untuk masa depan mereka. Ryan Earen, untuk kali yang entah keberapa, dia masih tak tahu apa impiannya. Di...