3

132 25 1
                                    

Kamis, Februari 2009


Duduk di depan kanvas dengan kuas dan palet di kedua tanganku. Tanganku mulai menari atas kanvas putih polos, menggoreskannya dengan warna-warna favoritku. Untuk melukis sebuah maha karya Tuhan nan indah, senyumku tak pernah lepas.

"Sedang melukis apa?"

Kamu tiba-tiba datang dari arah pintu dan aku lantas menutup kanvasku dengan terkejut.

"Apollo," jawabku.

Keningmu mengernyit, pasti tak paham. Aku terkikik.

Dewa Apollo, jelasku dalam hati.



Matamu yang sipit, kalau tersenyum bola matanya tak kan terlihat.

Pernah melihat bulat sabit yang bersinar di malam hari? Indah? Begitulah kamu. 

Alis tebal yang meruncing ke atas bersinergi dengan tatapanmu yang selalu tajam. Mengintimidasi, galak dan membuat jatuh hati. Oh, bila caramu menatapku seperti itu terus, lalu kapan kamu bisa mengijinkan aku untuk bernapas dengan lega?

Bibir tipismu sering melontar kata-kata manis penuh rayuan. Meski pada kenyataannya akulah yang tenggelam dalam anganku.

Yang paling mahal adalah senyumanmu. Andai kamu tersenyum saja pada gadis-gadis yang kamu lewati, percayalah mereka pasti tak akan berkedip. Napas mereka akan menjadi sesak. Putus asa dalam menamba. 

Beruntunglah, hanya aku sering yang merasakan itu.


Sudah cukup, aku tak mau mendeskripsikanmu lagi. Aku takut orang lain akan jatuh cinta kepadamu.

r.i.n.a.i [J.J.P]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang